Laman

Senin, 06 Februari 2017

KAPAN PROSES BERBURU (MORO) BANTENG PARA BANGSAWAN SUMEDANG ITU TERJADI?


Pengantar

Kata orang bijak, kalau suatu permasalahan atau sutu peristiwa itu ditulis, maka akan timbul pertanyaan berikutnya, yang mungkin perlu ditulis dan ditelusuri.

Tulisan ini merupakan rangkaian dari tulisan terdahulu tentang sejarah hariang, yang implikasina bisa menjadi bahan kajian dari sejarah mengenai desa sekitarnya. Penulis mungkin akan mengatakan istilah ini dengan nama Istilah “Hariang efek” (mungkin salah dalam penulisan). Karena tulisan ini akan membangkitkan pengkajian terhadap daerah daerah yang berkaitan dengan sejarah desa Hariang ini. Mungkin mereka bisa memprediksi sejak kapan kampung atau leumbur yang mereka diami itu didirikan.

Bapak Emut Muchtar dulu sebelum timbul ide tentang suatu acara yang dinamakan “Medal Hariang”. Ia sangat sulit untuk mencari momen yang pas kapan bisa membuat suatu acara yang dapat membangkitkan semangat para warganya, sehingga dapat membangkitkan berbagai hal baik perekonomian dan juga nantinya kesejahteraaan. Karena itu dicarilah suatu momen yang berkaitan dengan lahirnya leumbur atau kampung itu sendiri,. Maka lahirlah suatu acara pertama yang dinamakan “Medal Hariang”. Bapak Emut Muchtar sangat percaya pada suatu kata kata bijak  jika identitas seseorang tergugah maka mereka akan berusaha untuk bangkit.

Kembali lagi ke judul tulisan ini, sebenarnya kapan proses berburu (moro Banteng) itu terjadi? Jika momen atau peristiwa ini terungkap maka akan dengan mudah kita bisa memprediksi sebenarnya kapan suatu daerah yang dikaitkan dengan sejarah Hariang itu berdiri. Mungkin nantinya para penggiat sejarah di daerahnya akan mencari, menyelidiki dan sebagainya daerahnya tersebut. Jadi disinilah sebanarnya hebatnya yang dikatakan dengan istilah Hariang Efek tersebut.


MORO (BERBURU) BANTENG PARA BANGSAWAN SUMEDANG

Dikisahkan bahwa Sang Pangeran Sumedang, karena akan mengadakan suatu perayaan, ia kemudian  menyuruh para bangsawan dan juga mungkin diukuti oleh sebagian tentaranya untuk berburu (moro) banteng di daerah Conggeang, Buahdua dan Hariang sekarang, yang konon waktu itu merupakan hutan belantara.

Diceritakan sebelumnya bahwa dalam menyusun strategi berburu mereka berkumpul ditempat yang sekarang dinamakan desa Narimbang. Karena ditempat ini mereka menimbang nimbang mau ke arah mana mereka berburu. Kemudian mereka menuruni daerah yang kontur tanahnya menurun yang dalam bahasa sunda disebut cungging. Maka daerah inipun disebut Conggeang. Kemudian mereka ke sekitar buahdua sekarang yang dinamakan Malanang, kemudian mereka mangkal di suatu mata air suatu sungai  yang sekarang disebut Pangkalan. Karena tidak mendapat hasil buruan meereka kemudian mereka mengingat ingat (emut emut) kearah mana mereka akan melakukan perburuan. Dan mereka memutuskan untuk menelusuri sungai dari hulu ke hilir. Sungai tempat ngemut ngemut  ini kemudian dinamakan sungai Cimamut. Hingga perjalanan terhenti di suatu tempat yang dinamakan leumbur Hariang sekarang.

Kapan Peristiwa Moro Terjadi?

Tentang kapan terjadinya peristiwa moro dan pada zaman pemerintahan siapa peristiwa ini terjadi. Untuk menjawab hal tersebut ada pendekatan jawaban yang mungkin relatif bisa dipertanggung jawabkan yaitu dengan menggunakan silsilah dari istana Sumedang dan peristiwa peristiwa dari daerah yang berkaiatan dengan sejarah berdirinya Leumbur Hariang.

Seperti kita ketahui Hariang didirikan oleh Raden Wangsawijaya. Wangsawiajaya mempunyai istri yang bernama Nyi Mas Bayun, putri dari istana Sumedang. Dalam silsilah yang ada di museum Sumedang Nyi Mas Bayun merupakan putri dari Pangeran Rangga Gede, putra dari Prabu Geusan Ulun.

Jadi jika menilik kepada sejarah Sumedang. Waktu perintah berburu, kemungkinan masih di era Pangeran Rangga Gede berkuasa atau pada masa putranya (Pangeran Rangga Gempol II), dan tidak mungkin di era Rangga Gempol III atau Pangeran Panembahan.

Rangga Gede adalah mertua dari Wangsa Wijaya. Jadi sangat mungkin perintah berburu di masa mertuanya. Atau mungkin juga perintah berburu di era Rangga Gempol II atau Pangeran Bagus Weruh, yang merupakan saudara iparnya. Dan jikapun terjadi di era Rangga Gempol III atau Pangeran Panembahan, yang merupakan keponakannya,  kemungkinan besar di era awal kekuasaannya. Tetapi jika pun pendapat yang ketiga ini benar berarti umur Wangsa Wijaya sudah mulai sepuh, dan tidak mungkin.

Dalam tradisi lisan sering kesulitan dalam menentukan urutan tahun. Karena itu sejarah sering tumpang tindih. Dalam cerita lisan juga sangat sulit di era siapa sebenarnya proses berburu tersebut. Karena bagi orang desa yang dia tahu bahwa penguasa sumedang itu adalah gelarnya saja atau sebutannya saja, yaitu pangeran. Rangga gempol I, Rangga gede, Rangga Gempol II, Rangga Gempol III dan seterusnya selalu disebut dengan nama Pangeran.

Jadi dalam sejarah ada kemungkinan bahwa proses berburu terjadi di era Pangeran Rangga Gede berkuasa, karena Buyut Malanang yang sezaman dengan Wangsawijaya dikaitkan dengan penyambutan tentara Mataram dalam rangka penyerangn Mataram ke Batavia yang bertahun 1625 hingga 1630 M. Zaman itu berada di peralihan Rangga gede ke Dipati Ukur. Jadi jika di Malanang waktu berburu belum ada kampung, dan mulai ada kampung di era setelah berburu. Jadi kemungkinan besar bahwa proses berburu jusru terjadi di era Pangeran Rangga Gede berkuasa atau malah sebelum tahun 1625 M.

Dan setelah Wangsawijaya bermukim di Hariang, maka kekuasaan itu beralih ke anak Rangga Gede, yang bernama Bagus Weruh atau Pangeran Rangga Gempol II. Dan kemungkinan Wangsa Wijaya meninggalkan Hariang sudah di era Sumedang dipeintah oleh Rangga Gempol III atau Pangeran Panembahan.
(lanjut.............)

By Adeng Lukmantara bin Abah Olin
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Kab, Sumedang






MENGAPA WANGSA WIJAYA BEGITU TERTARIK DENGAN DAERAH HARIANG?

Judul tersebut diatas mungkin akan timbul dari seseorang penggiat sejarah. Dan judul ini juga mungkin ada relevansinya dengan pertanyaan dari tulisan sebelumnya yang mempertanyakan pertemuan Wangsa Wijaya dengan Embah Guriang. “ Kapan Wangsa Wijaya bertemu pertama kali dengan Embah Guriang?”.

Mengapa Wangsa Wijaya mendirikan leumbur / pemukiman di Hariang? Apakah sebelumnya dia pernah ke daerah ini ? Karena tidak mungkin orang memutuskan untuk mendiami suatu tempat jika tidak ada ketertarikan sebelumnya.

Dalam buku Sejarah Desa Hariang yang disusun pertama kali oleh Bapak. E. Sona dan juga disusun kembali oleh bapak Atnawi, tidak menceritakan latar belakang hal tersebut.

Ada hal menarik bahwa jawaban tersebut justru didapat dari kisah kisah yang diceritakan oleh  Abah Olin. Abah Olin telah menerima kisah ini dari orang tuanya Ojo bin Marhasib dan seterusnya. Kisah ini juga diungkapkan oleh adiknya, Bapak Emut Muchtar, seorang intelektual asal Hariang yang tinggal di Jakarta, tetapi mempunyai komitmen terhadap daerahnya.

Kisah yang diungkapkan oleh Abah Olin ini juga nantinya mungkin akan menjadi awal pengkajian untuk para sejarawan di daerah sekitarnya. Karena kisah ini sangat erat dengan kisah berdirinya kampung  kampung (leumbur) yang ada di Conggeang, Narimbang, Malanang (Buahdua), Citaleus, Hariang Tongoh, Cihayam dan lain sebagainya. Dan hal ini nanti diceritakan secara khusus dalam judul yang lain.

Dalam kisahnya, Abah Olin menceritakan bahwa dulunya daerah yang termasuk Conggeang, Buahdua dan juga Hariang dan sekitarnya merupakan hutan belantara, tempat berburu atau moro banteng. Meskipun juga di prediksi ada beberapa pelarian bekas pejabat Pajajaran yang masih beragama bukan Islam yang bermukim di hutan sekitar daerah ini. Dalam istilah  Islamisasi waktu itu, para Penguasa Sumedang waktu itu memerintahkan para  bawahannya untuk mapagkeun (suatu istilah menjemput dengan sopan) kepada siapa saja yang belum Islam diajak ke istana untuk diislamkan dengan sukarela. Karena itu proses moro atau berburu salah satunya disamping tradisi juga untuk mengetahui daerah daerah yang masih memeluk agama selain Islam..

Diceritakan bahwa kisah ini di mulai ketika Sang Pangeran, penguasa Sumedang waktu itu, akan melakukan perayaan. Karena itu perlu persediaaan daging yang lebih, maka Sang Pangeran kemudian memerintahkan para bangsawan untuk memimpin acara moro (berburu) banteng. Tujuan utamanya adalah hutan di sekitar daerah Conggeang, Buah dua dan Hariang sekarang, yang waktu itu masih hutan belantara.

Abah Olin tidak menyebut nama untuk penguasa Sumedang tersebut, dan hanya menyebut dengan nama Pangeran. Tidak dijelaskan siapa sang Pangeran penguasa Sumedang waktu itu. Sehingga sangat sulit untuk mengetahui kira kira tahun berapa atau rentang tahun berapa peristiwaa moro banteng terssebut. Disnilah letak kelemahan cerita lisan dan kisah kisah yang diungkapkan secara turun temurun tetapi tidak dicatat, sulit membedakan dizaman kapan peristiwa itu terjadi. Karena nara sumber nantinya hanya menyebut penguasa Sumedang dengan gelarnya saja, sang Pangeran.

Diantara yang diutus untuk berburu  tersebut adalah Wangsawijaya (pendiri kampung / karuhun  Hariang), Karuhun Narimbang, Karuhun Conggeang, Karuhun Malanang, Mbah Buyut Dipamanggala dan banyak yang lainnya.

Perburuan pertama di lakukan disekitar kecamatan Conggeang sekarang (waktu itu kampung Conggeang belum ada). Tempat ngaso pertama kali (berhenti) untuk menyusun strategi berburu adalah di kampung Narimang sekarang (dulu kampung ini belum ada). Dinamakan Narimang (Narimbang), karena waktu itu para pemburu utusan Pangeran tersebut menimbang nimbang ke arah mana akan berburu. Dan dalam suatu diskusi itu ada yang berkata bahwa tempat ini sangat cocok untuk dibuat kampung. Dan setelah proses berburu, Karuhun Narimbang kemudian membuat kampung ditempat ini.

Di Narimang kemudian mereka berangkat ke arah pupudunan (jalan turun) atau dalam bahasa sunda disebut  cungging. Dan salah seorang dari mereka berkata bahwa daerah tersebut sangat cocok untuk dibuat kampung. Kampung itu kemudian dinamakan Conggeang. Dan Karuhun Conggeang setelah berburu kemudian menetap dan membuat kampung di daerah ini.

Di daerah Conggeang ini mereka tidak menemukan Banteng, maka mereka terus berjalan hingga Buahdua sekarang atau daerah malanang (yang waktu itu juga masih hutan belantara) dan akhirnya hingga hulu sungai Cimamut sekarang. Hulu sungai cimamut berada di daerah Pangkalan, yang waktu itu juga belum ada kampung. Kemungkinan nama Pangkalan juga karena mereka membuat tempat untuk mengingat ingat. Terus mereka menyusuri  sungai (walungan) tersebut. Karena tidak mendapatkan buruan, maka mereka juga berhenti sambil mengingat ngingat harus kemana harus meneruskan pemburuan tersebut. Mengingat ingat dalam bahasa sunda adalah ngemut ngemut. Maka sungai tersebut kemudian dinamakan sungai Cimamut yang artinya sungai tempat ngemut ngemut atau mengingat ingat.

Setelah itu kemudian mereka memutuskan untuk melakukan perburuan dengan menyususri sungai Cimamut ini hingga ujung (muara). Tetapi di suatu tempat ada bekas gorehan (urut ngoreh ngoreh jeuleuma) buat sodetan. Mereka berujar bahwa pasti ada orang di sekitar sini.  Di Sungai Cimamut di sekitar yang dinamakan  pasir jariang sekarang, ada tambak untuk mengaliri ke suatu tempat (susukan) di sekitar gunung Hariang sekarang.

Mereka kemudian menyusuri susukan (parit)  tersebut, hingga di dapati ada seorang yang sudah sepuh, dengan pakaian hanya disekitar kemaluan saja dengan memakai tutup pakaian yang terbuat dari kulit pohon (talapok). Dan seorang tua tersebut melarang mendekatinya, karena aurat katanya, hingga salah seorang dari rombongan tersebut memberikan pakaian terhadap laki laki yang dikemudian hari dikenal dengan nama Mbah Guriang. Setelah mendapat pakaian, Mbah Guriang kemudian mempersilakan rombongan menemuinya.

Mbah Guriang adalah tokoh yang dikagumi oleh Wangsawijaya, pendiri kampung Hariang di kemudian hari. Mbah Guriang ini diyakini merupakan bekas pembesar dari kerajaan Pajajaran. Abah Olin menyebutnya bekas Patih Pajajaran.  Entah benar atau salah, tetapi diyakini bahwa Mbah Guriang merupakan salah seorang bekas bangsawan penting di Pajajaran, yang harus menyingkirkan diri, karena ibukota Pajajaran, Pakuan jatuh. Mbah Guriang kemudian menyingkir ke daerah Gunung Hariang sekarang. Gunung Hariang adalah suatu istilah tentang gundukan  sebidang tanah tempat tilemnya Mbah Guriang yang ada di desa hariang bagian timur.  

Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya,  Mbah Guriang  bertani (ngahuma) dengan menanam berbagai  umbi umbian (talas dan lainnya). Untuk kebutuhan airnya (termasuk untuk pertanian) ia membuat selokan (nyusuk) yang berasal dari sungai cimamut, lurus ke gunung hariang sekarang. Dan selokan ini yang menjadi awal pertemuan para pemburu kerajaan dengan Mbah Guriang.

Setelah dipersilahkan untuk menemui Mbah Guriang, rombongan pemburu tersebut menceritakan bahwa ia diutus berburu oleh sang Pangeran, tetapi tidak menemukan banteng seekorpun, karena itu para rombongan pemburu tersebut meminta nasehat ke arah mana untuk berburu. 

Mbah Guriang kemudian menunjukan ke suatu lokasi yang ada pohon Kiara. Kata Mbah Guriang itu di pohon kiara ada banteng sedang menggesek gesekan tanduknya di pohon Kiara. Karena itu kemudian para pemburu tersebut menembaknya (ngabeudil), hingga  banteng dapat ditangkap.

Setelah disembelih, Banteng itu kemudian diracah (dipotong potong), kemudian di bagi bagi. Setelah orang lain sudah membawa (nanggung) daging banteng, ada seornag yang tidak kebagian, yaitu Karuhun Malanang. Karena itu ketika mau diangkat maka daging daging banteng itu menghilang.

Karena itu para rombongan pemburu tersebut kembali lagi menemui Mbah Guriang. Mereka bilang bahwa hasil buruannya hilang tanpa sebab. Mbah Guriang berkata, bahwa salah seorang rombongan ada yang tidak terbagi, karena itu Mbah Guriang menyarankan agar Karuhun Malanang yang membagi supaya adil. Dan Karuhun Malanang ini dikemudian hari dikenal sebagai pembagi yang adil.  Karuhun Malanang ini setelah berburu dan menemui Pangeran, ia kemudian menetap di Malanang. Suatu desa dekat Buahdua. Desa Malanang ini mempunyai ciri khas yang sama dengan kampung naga di Tasikmalaya, atau Baduy di Banten. Di desa malanang mewajibkan penduduknya hanya 40 KK.  Karena itu jika lebih maka harus  keluar dari kampungnya tersebut.

Setelah pembagian merata mereka pamit ke  Mbah Guriang untuk pergi ke ibukota Sumedang menemui sang Pangeran. Dan setelah bertemu dengan penguasa Sumedang tersebut, para rombongan bercerita tentang adanya orang tua yang sakti di sekitar Hariang sekarang.  Setelah selesai acara perayaan, kemudian rombongan  diperintah supaya menemui orang tua tersebut, untuk di “papag” (dijemput) agar mereka masuk Islam. Karena dalam tradisi Sumedang waktu itu jika ada yang belum masuk Islam harus dipapag atau dijemput / diajak ke ibukota untuk menemui sang Pangeran. Dan akhirnya rombongan tersebut kembalike daerah Hariang sekarang, untuk mapagkeun Mbah Guriang. Tetapi mbah Guriang dengan sopannya menolak untuk permintaan tersebut, Dan mempersilahkan rombongan untuk kembali ke ibukota. Dan dalan kisah Mbah Guriang hilang  / tilem di sekitar gunung Haraing sekarang. Dan merekapun kembali ke ibukota.

Wangsawijaya, merupakan salah seorang dari rombongan pemburu merasa senang terhadap lokasi yang disebut daerah Hariang sekarang. Karena itu, ia setelah kembali ke ibukota, ia kembali ke  Hariang dan membangun pemukiman disana.

Dengan demikian sejarah berdirinya kampung Hariang bersamaan dengan lahirnya kampung kampung Conggeang, Narimang, Malanang dan lainnya.Tetapi karena keberadaan Mbah Guriang yang merupakan pelarian pejabat Pajajaran di era keruntuhannya,   menjadikan Hariang dianggap lebih tua dari kampung kampung tersebut.
Keterkaitan bahwa leumbur Hariang berbarengan dengan leumbur leumbur lainnya disekitarnya,  hal ini akan diceritakan dalam tulisan tersendiri.


By Adeng Lukmantara bin Abah Olin
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Kab. Sumedang

Sumber: 
  • E. Sona dan Atnawi, Sejarah Desa Hariang 
  • Sumber Lisan: Abah Olin dan Drs. Emut Muchtar
  • Wikipedia dan lainnya
Sekilas Nara Sumber

Disini yang akan dibahas Nara Sumber Abah Olin dan adiknya Bp. Emut Muchtar, yang secara silsilah dipihak ayah: Aki Ojo bin Marhasib bin Sapdi bin Aspin bin Askin bin Uyut Oler. Dari pihak ibu Nyi Jioh binti Kamsani (silsilah ke atasnya belum terdeteksi). Marhasib mempunyai istri yang bernama Karten binti Muhalim bin Sarwian. 
Uyut Muhalim  merupakan orang yang pertama naratas Cadas Pangeran. Duluu dalam pengerjaan jalan Cadas Pangeran ketika banyak orang yang meninggal sebelum pengerjaan, maka Pangeran Kornel kemudian mengundang para jago jawara dan ulama untuk membuka jalan cadas Pangera. Tetapi semua tidak sanggup. Maka tampilah Uyut Muhalim sebagai orang yang pertama naratas. Dan kemudian dikuti oleh yang lainnya. Muhalim merupakan anak Sarwian dan ibunya Nyi Etet/
Sarwian adalah kepala desa kedua di Hariang. Meskipun ia asli orang Tonjong tetapi ia menikah dengan orang Hariang yaitu Nyi Etet. Sarwian dengan Nyi Etet ini terkenal sebagai orang kaya, yang konon kalau menghitung uang dari pagi hingga sore belum selesai. Nyi Etet merupakan anak dari Askin dan saudara dari Aspin, yang merupakan ayah dari Sapdi atau kakeknya Marhasib.
Yang banyak dikutip perktaannya oleh Abah Olin adalah Ki Lebe Kamsu yang merupakan adik dari Uyut Karten, istri Uyut Marhasib.
Jadi disinilah kemungkinan Abah Olin atau Aki Ojo mendapat kisah. Dan yang paling berpengaruh adalah kisah kisah yang katanya dari Aki Lebe Kamsu, salah seorang intelektual dan tokoh keagamaan dimasanya.