Laman

Jumat, 24 Februari 2017

SEJARAH PEMERINTAHAN DI DESA HARIANG (REVISI)

Pengantar
Tulisan ini merupakan yang kedua tentang sejarah pemerintahan desa Hariang. Pada awalnya hanya berjudul Sejarah Desa Hariang. Jadi tulisan ini meneruskan tulisan sebelumnya, yang dirasa perlu untuk terus menerus memperbaikinya.

Yang menjadi motivasi dari tulisan tulisan ini adalah meneruskan sejarah tradisi orang hariang,  yang sangat menjaga kesinambungan dalam menjaga kelestarian sejarah. Meskipun dalam menyampaikan sejarah banyak yang diungkapkan secara lisan. Tetapi yang mengagumkan lagi adalah ternyata nenek moyang Hariang juga mengembangkan budaya tulis menulis dalam penulisan sejarah dan silsilah masyarakat Hariang. Tradisi ini memang langka dan jarang dimiliki oleh masyarakat sunda  lainnya. 

Konon dari 3 langkah untuk menjadi bangsa yang berperadaban,  sebenarnya orang Hariang telah mempunyai 2 langkah yang mungkin bisa dikembangkan, yaitu: kesinambungan sejarah dan yang kedua adalah tradisi tulis menulis. Dan hanya tinggal satu langkah lagi yaitu pemamfaatan ilmu pengetahuan dan tekhnologi untuk kehidupan.

Dalam tulisan tentang Sejarah Pemerintahan di Desa Hariang, kita akan mendapati evolusi ketika Hariang diresmikan sebagai pemerintahan di tingkat desa. Secara perlahan tetapi pasti kita mengetahui sejarah perkembangan desa dan masyarakatnya. Kita nantinya akan mendapati kapan sebenarnya ada sekolah di desa Hariang. Kapan perpajakan pertama kali dilaksanakan di desa Hariang. Dan juga kita akan mendapati tentang evolusi persawahan di hariang, yang awalnya "ngahuma" ke "sawah".


Tiada gading yang tidak retak. Tulisan ini mungkin banyak kekuarangannya. Tetapi dari kekurangan inilah kita mulai berpijak. Dan tulisan ini kebanyakan dikutip dalam buku Sejarah Desa Hariang, yang disusun oleh Bapak E. Sona yang disusun kembali oleh Bapak Atnawi, dan dibukukan di era Kuwu Uda Wijaya. Dan sumber lain di Internet dan wawancara dengan berbagai tokoh Hariang, seperti Bapak Emut Muchtar, Abah Olin, Sekdes Ganda dan lain lain


SEJARAH PEMERINTAHAN DI DESA HARIANG

A.. Letak Desa Hariang

Desa Hariang merupakan suatu desa yang ada di kecamatan Buahdua Kabupaten Sumedang.

Desa Hariang berada di sebelah utara kabupaten Sumedang. Dan berada di kecamatan Buahdua sebelah barat. Desa Hariang ini sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Tanjung kerta dan kecamatan Tanjungmedar. Sedang sebalah utara berbatasan dengan dengan kecamatan Surian. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cikurubuk dan Kecamatan Tanjungkerta. Sedang di timur berbatasan dengan desa Mekarmukti dan desa Citaleus.

Hariang merupakan desa terluas di kecamatan Buahdua setelah Desa Cilangkap. Hariang juga mempunyai posisi yang strategis, karena di lalui oleh jalan Kabupaten yang menghubungkan antar kecamatan (Tanjungkerta dan Buahdua). Disamping itu juga di Hariang terdapat jalan menuju kecamatan Surian (Desa Wanajaya) dan juga ke arah desa Mekarmukti.


Gbr. Lokasi Kabupaten Sumedang


Gbr. Kecamatan Yang Ada di Wilayah Kabupaten Sumedang

Gbr. Peta Desa Hariang


B.. Sejarah Hariang Menjadi Suatu Wilayah Desa 

Dalam buku Sejarah Desa Hariang dikatakan bahwa Hariang telah didirikan pada tanggal 20 Mei 1665 (Rabiul Akhir 1085 H) oleh Raden Wangsawijaya dan istrinya, Nyi Mas Bayun, bangsawan dari Sumedang Larang.

Dan  Hariang menjadi suatu desa didirikan pada tanggal 12 April 1843 Masehi, pada masa Sumedang dipimpin oleh Bupati  Pangeran Surya Kusuma Adinata. Dan yang diangkat menjadi kepala desa atau "kuwu" pertama adalah Ungkas Wangsa Wijaya. Setelah Ungkas berhenti kemudian diganti oleh Sarwian, dan seterusnya.  

Sejak berdirinya pada tanggal 12 April 1843, hingga tahun 2017 (dalam kurun waktu 174 tahun) desa Hariang telah mengalami pergantian kepemimpinan sebanyak 20 kali yaitu 16 kepala desa  definitif dan  4 penjabat kepala desa. 

Kepala desa atau Kuwu yang telah memerintah desa Hariang sebagai berikut:

1.  Ungkas Wangsa Wijaya (mp. 1843-1869)
2. Sarwian (mp. 1869-1877 M)
3. Ahi Asta Praja (1877-1894 M)
4. Wira Praja (1894- 1899)
5. Jaya Praja (1899- 1909)
6. Mulyani Wangsa Praja (1909-1914)
7. Adi Wijaya (1914- 1928)
8. Astra Praja (1928- 1945)
9. Enja (1945- 1947)
10. Astra Praja II (1947- 1948)
11. Ato Wiharja (ORTD) (1949) 
12. E.Sona (1949- 1969)
13. Sukarya (Pj) (1969- 1970)
14. S.Endih (1970- 1980)
15. Engkos Kosim (Pj) (1980-1981)
16. Koko.S (1981- 1989)
17. Engkan Kuswara (1989- 1990)
18. Danu.K (1990- 1998)
19. Uda Wijaya (1998- 2006)
20. T. Rustandi (2006- 2012); Sekarang T Rustandi untukmasa jabatan yang kedua kalinya (2012- 2018).


C.. Sejarah Kepemimpinan Kepala Desa (Kuwu) Hariang dan Perannya 

1.  Ungkas Wangsa Wijaya (mp. 1843-1869)

Ungkas merupakan kepala desa atau kuwu Hariang pertama, yang diangkat pada masa upati Sumedang diperintah oleh Pangeran Surya Kusuma Adinata.

 Ia adalah anak dari uyut Mudaran. Ia merupakan anak pertama dari 6 bersaudara. Dalam silsilah Ungkas termasuk generasi ke-7 dari silsilah urang Hariang, dengan silsilah sebagai berikut: Ungkas bin Mudaran bin Mukram bin Soma bin Akung bin Wangsa Dirana bin Taruna diwangsa bin Wangsa Wijaya. 

Ia memerintah desa hariang selama 25 tahun. Ia berhenti jadi kuwu (kepala desa) karena diangkat menjadi Petinggi (perwakilan camat) di lingkungan desa hariang ke barat. Dan pada tahun 1877 tingkat patinggi dibubarkan, sehingga setelah itu ia berhenti di pemerintahan. Pada tahun itu juga  kuwu sarwian berhenti juga.

Ungkas terkenal akan pengaruhnya yang cukup menonjol. Ia sendiri seorang yang kuat, gagah, sakti dan ahli dalam menggunakan senjata (ngabedil). enurut cerita ia hanya perlu 1 kali tembakan untuk menembak (ngabedil) badak yang cukup kuat. Padahal konon orang lain yang menembak badak tersebut, meskipun menembak lebih dari 2 atau 3 kali badak tersebut masih tetap bisa lari.

2. Sarwian (mp. 1869-1877 M)

Sarwian diangkat menjadi kuwu yang kedua (lurah manten), Ia tinggal di Tonjong. dalam silsilah ia tidak termasuk turunan Urang Hariang, tetapi ia menikah dengan Nyi Etet putra Asikin. Istrinya masih merupakan turunan Urang Hariang.  Pasangan suami istri ini termasuk orang yang paling kaya di desanya. Konon ia kalau menghitung uang dari pagi hingga  sore.

Ia memerintah hariang selama delapan tahun, dari tahun 1869 hingga 1877 Masehi, dan digantikan oleh Ahi Asta Praja.

3. Ahi Asta Praja (1877-1894 M)

Ahi Asta Praja merupakan kuwu (kepala desa) ke-3, yang memerintah selama 17 tahun  dari tahun 1877 hingga 1894 Masehi. Ia merupakan putra dari Uyut Enas, dan ia  menikah dengan Nyi Uti.

Diceritakan bahwa Ki asta adalah seorang yang gagah dan sakti. Terkenal kuat, sehingga ia bisa mencabut pohon beringin. Konon kekuatannya menyamai Uyut Siluman generasi sebelumnya, dan kadang terlalu dibesar-besarkan katanya bisa terbang juga. Konon karena ingin bisa terang Ki Asta bertapa ke Gunung geulis. Bersamaan dengannya juga ikut seorang yang bernama Kalsim, yang mempunyai tujuan yang sama. Ki Asta bertapa hampir dipuncak disela-sela batu besar, sedang Kalsim lebih bawahnya.

Pada masa Ahi asta Praja Desa Hariang waktu itu terdiri dari: Kampung Hariang aya 72 suhunan (rumah), Kampung Waregu ada 9 suhunan (rumah) dan Kampung Tonjong ada 27 suhunan (rumah). Jumlah penduduknya tidak diceritakan berapa jumlahnya.

Konon pada masa Ahi Asta praja ini, antar kampung tidak aman, bahkan kadang saling mengancam. Terutama kalau ada yang menyenangi wanita kampung yang lainnya, maka pemuda itu akan dikejar-kejar. jika pemuda itu pemberani maka akan terjadi perkelahian, dan jika tidak berani maka mereka kadang melarikan diri.

4. Wira Praja (1894- 1899)

Wirapraja adalah menantu dari Ungkas Wangsawijaya. Ia aslinya orang Tanjungkerta. Ia pada awalnya menikah dengan orang Tanjungkerta Nyi Empik, tetapi kemudian menikah dengan Nyi Enong putra dari Ungkas (kepala desa pertama).

Pada zaman Wirapraja ini di wilayah sumedang dan sekitarnya terjadi suatu peristiwa pemberontakan yang dipimpin oleh Ibu Tewang. Ibu tewang adalah orang keturunan Cirebon, yang membangun pusat pemberontakannya di pinggir Mata air Cieurih di hutan sebalh timur kampung Sanca. Ibu tewang mempunyai pasukan dengan senjata gada, tumbak, panah, bandring bahkan senjata (bedil) totog. Panglima pasukan Ibu Tewang disebut Elang. Ealang itu disamping memimpin pasukan juga mempunyai tugas sebagai penerang dan juga mendidik rakyat, urusan negara dan agama. Mereka membuat gara gara supaya masyarakat kampung yang dilaluinya menjadi pengikutnya dan juga merubah agamanya, sesuai dengan ajarannya. Ada dua elang yang terkenal dimasa itu, yaitu Elang Asma dan Elang Daspa.

Karena perkembangannya pesat, kemudian ia membangun markas baru di blok Cicadas yang disebut Metawati (nama ini sampai sekarang). Ibu Tewang ini kemudian memasuki wilayah Sumedang. Dan mereka memasuki daerah Hariang melalui jalan desa Wanasari, untuk mempengaruhi masyarakat Hariang.

Konon Elang Asma dan Ealang Daspa datang ke Hariang.  Tetapi masyarakat Hariang kebanyakan meninggalkan kampung, dan tinggal di kebun kebunnya, karena mereka tidak mau mengabdi ke elang elang etrsebut.

Dan hal ini terdengar hingga Sumedang, karena itu pemerintah Sumedang kemudian melakukan tindakan penangkapan penangkapan pengikut Ibu Tewang tersebut, termasuk elang elangnya. Banyak pengikutnya yang dihukum bahkan hingga seumur hidup. Kepala Desa Wirapraja juga ditangkap, karena dianggap berkomplot (karena tidak melaporkan keberadaan elang pengikut Ibu Tewang yang memasuki Hariang).

Wirapraka mendapat hukuman selama 5 tahun dan di penjara di Medan Sumatra Utara.

5. Jaya Praja (1899- 1909)

Jaya Praja menjadi kepala desa 10 tahun.  Pada awalnya ia menikah dengan Nyi Omoh kakanya dari Isad. Tetapi kemudian ia menikah lagi dengan Nyi Ulti putri Ungkas (kepala desa pertama).

Pada zamannya tidak ada peristiwa keributan, aman tentram. Pada zamannya ia mulai membangkitkan lagi pemahaman terhadap agama Islam, yang telah dikotori oleh paham elang elang Ibu Tewang. Pada zamannya mesjid seolah penuh oleh orang yang menunaikan solat berjamaah, dan juga tabligh. Sehingga konon mereka pulang dari mesjid rata rata sekitar jam 11-an malam. Pada zamannya anak anak begitu antusias belajar mengaji kita b Al Qur’an.

Pada zamannya juga mulai ada perubahan perilaku menanam padi, dari ngahuma ke model sawah. Perubahan itu karena ada instruksi dari pemerintah Sumedang. Pada awalnya katanya mereka selalu merugi atau gagal panen. Hingga akhirnya datang bupati Sumedang yang bernama Pangeran Kusuma Adinata ke Hariang. Sang bupati juga langsung mengajari dan mempraktekan penanaman pohon buah buahan di sisi jalan desa seperti buah Randu, Jambe, Asem dan lainnya.

Pada waktu itu kepala desa dari Surian, Wanasari, Citaleus, Cikurubuj, Boros dan juga Hariang kumpul selama seminggu di Hariang untuk belajar aturan mengenai gerakan menanam biji buah buahan di tiap tiap desa, yang harus ditanam dipinggir jalan desa.

Sang Pangeran mememrintahkan penghijauan di tiap desa untuk menanam berbagai pohon buah buahan di pinggitr jalan, di tanah tanah pangangonan (tempat mengembala), tanah milik yang miring, hal itu untuk mencegah longsor.

6. Mulyani Wangsa Praja (1909-1914)

Pada awalnya ia menikah dengan Ny Timoh, kemudian menikah dengan Nyi Ugi putri dari Latip.

Mata pencaharian masyarakat Hariang waktu itu bertani, tetapi masih model ngahuma. Karena model nyawah masih belum untung alias selalu rugi.

Pada zamannya pendidikan umum  mulai dibuka. Pada masanya ada perintah dari pemerintah Sumedang supaya rakyat bisa membaca dan menulis huruf latin yang waktu itu sering disebut huruf Walanda (belanda). Pemerintah waktu itu memberikan uang yang disebarkan ke desa desa agar dibelikan tanah untuk membangun sekolah. Sekolahnya terdiri dari 3 sekat, karena waktu sekolah hanya sampai kelas 3 (3 tahun), yang kemudian dikenal dengan sekolah desa, yang komplit dengan gurunya.

Sekolah di Hariang pertama kali selesai dibangun pada  tanggal 27 Februari 2012.  Bayaran sekolah tiap murid adalah 10 sen tiap bulan. Buku dan alat tulis disediakan di sekolah. Dan batasan anak sekolah berumur 12 tahun.  Jadi umur diatas 12 tahun tidak boleh sekolah.

Masyarakat Hariang adalah 100 persen orang islam. Karena itu di generasiny asebelum ada sekolah masyarakat waktu itu bisa menulis memakai bahasa arab.
Hingga Mulyani Wangsa Praja maslaha kebudayaan dan juga kesenian dari zaman Wangsawijaya hingga zamannya tetap dipertahankan dan masih rame dipertunjukan seperti: Calung rentet, Angklung, Terbang, Celempung, Suling, Karinding dan seterusnya.

7. Adi Wijaya (1914- 1928)


Ia merupakan kepala desa Hariang yang ke-7, yang berkuasa selama 14 tahun. Ia menikah dengan Nyi Pioh putri dari Ny Jumisah.

Pada masanya mulai ada pemungutan pajak tanah milik rakyat. Demikian juga pajak usaha bagi para pedagang. Hal ini mulai dilaksanakan pada tahun 1927.

Dan peristiwa penting dizamannya adalah terjadinya kebakaran besar pada tahun 1914, tidak lama setelah ia diangkat jadi kepala desa. Kebakaran itu melalap 18 rumah dan juga Leuit (rumah penyimpanan beras). Kebakaran ini merupaka yang terbesar dan pertama.

Pada tahun itu juga ada berita terjadinya perang dunia I. Masyarakat mengetahui hal itu karena ada pengumuman dari negara ke desa desa.

Ia dikatakan sebagai orang yang tangkas. Kampung kampung yang ada di bawah desa Hariang sangat bersih. Jalan jalan desa bagus dan sisi jalan tidak boleh ada pohon yang menutupi jalan (ngaroyom). Jadi keleihatan bersih dan tampak jelas dari kejauahan (ngemplong). Dan meskipun hujan jalannya juga tidak becek. Permusuhan antar kampung mulai berkurang.

Karena prestasinya ini, Hariang begitu terkenal, sehingga Sang Pangeran Sumedang sering ke Hariang. Terutama ketika mendidik kepala kepala desa di 7 desa (termasuk Hariang), dalam rangka mengajar menanam tanaman, dan sawah (melak nandur). Kegiatan ini selalu diadakan di hariang.

Bupati Sumedang waktu itu bergelar Pangeran terakhir, yaitu Pangeran Surya Atmaja. Pangeran Surya Atmaja berkuasa dari tahun 1883 hingga 1919.  Ketikz berkata di depan 7 kepala desa yang mengikuti pertemuan dengan Sang Pangera, yang dilaksanakan di Hariang. Sang Pangeran berkata bahwa setelahnya tidaka akan ada bupati bergelar pangeran lagi, dan menurutnya bahwa dialah bupati bergelar Pangeran terakhir. Karena itu katanya mumpung ada disini di Hariang “kaula hakan ku sarerea sing beak”. Maksudnya menurutnya bahwa ilmu yang ia miliki tentang pertanian yang dipelajarinya di Belanda agar bisa diserap dan dipelajari semuanya.

Dalam hal pertanian terutama menanam padi (nyawah) ada 3 mangsa (periode), yaitu mangsa kapat tebarna (menanam) harus tangga 1 Oktober.  Kalau mansa katiga (halodo/ kemarau) harus tebar (menanam) tanggal 1 juni sampai 15 Juni. Dan jika sawah sawah yang dekat dengan sungai yang kemungkinan terancam banjir, maka menanamnya (tebarnya bisa dimajukan pada tanggal 20 mei. Dan terakhir yaitu mangsa rendeng (musim hujan), tebarnya (menanam padi) tanggal 10 Desember sampai 20 Desember. Kalau jenis padi huma (ngahuma) dianjurkan sudah ngasek (menanam) pada bulan November.

Sang Pangeran sampai menekankan dan menginngatkan kepada kepala kepala desa agar jangan sekali kali merubah waktu tersebut, “Supaya Seuweu putu kaula sareubeuh dahar.”

Pada tahun 1919 Kanjenga Pangeran Surya Atmaja meninggal dan digantikan oleh Adipati Arya Kusuma Dilaga yang berkuasa dari tahun 1919 hingga 1937, ataukemudian dikenal dengan sebutan Daleum Bentang.

Pada tahun 1922 -1923 rakyat di Kabupaten Sumedang diharuskan berjaga jaga di jalan luaran kampung setiap malam, karaean di kota Sumedang ada keributan kecilyang disebut Sarikat Rakyat (SR). Semua kampung harus berjaga jaga agar golongan ini agar tidak memasuki kampung. Hal ini berlangsung selama 3 bulan. Dan seterusnya desa aman tentram.

8. Astra Praja (1928- 1945)

Astra Praja pada awalanya adalah jurutulis desa. Ia menjadi kepala desa Hariang dari tahun 1928 hingga 1945 (17 tahun).  Ia menikah dengan Nyi Enah putri Aki Elas.

Pada zamannya jumlah penduduk ada 924 orang, dan  231 rumah. Luas bawahan desa hariang lebih dari 390 hektar (sedang tahun 1915 bawahan desa Hariang 470 hektar)

Pada zamannya, tahun 1928 mulai diadakan pengukuran pengukuran tanah milik raktyat, tanah milik pemerintah desa (parabon) 

9. Enja (1945- 1947)

10. Astra Praja II (1947- 1948)

11. Ato Wiharja (ORTD) (1949) 

12. E.Sona (1949- 1969)

13. Sukarya (Pj) (1969- 1970)

14. S.Endih (1970- 1980)

15. Engkos Kosim (Pj) (1980-1981)

16. Koko.S (1981- 1989)

17. Engkan Kuswara (1989- 1990)

18. Danu.K (1990- 1998)

19. Uda Wijaya (1998- 2006)

20. T. Rustandi (2006- 2012); Sekarang T Rustandi untukmasa jabatan yang kedua kalinya (2012- 2018).

(lanjut....)

By: Adeng Lukmantara bin Abah Olin
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang kabupaten Sumedang

Sumber:
E.Sona dan Atnawi, Sejarah Desa Hariang, 2004

Internet:
Wikipedia
Dll

Senin, 06 Februari 2017

KAPAN PROSES BERBURU (MORO) BANTENG PARA BANGSAWAN SUMEDANG ITU TERJADI?


Pengantar

Kata orang bijak, kalau suatu permasalahan atau sutu peristiwa itu ditulis, maka akan timbul pertanyaan berikutnya, yang mungkin perlu ditulis dan ditelusuri.

Tulisan ini merupakan rangkaian dari tulisan terdahulu tentang sejarah hariang, yang implikasina bisa menjadi bahan kajian dari sejarah mengenai desa sekitarnya. Penulis mungkin akan mengatakan istilah ini dengan nama Istilah “Hariang efek” (mungkin salah dalam penulisan). Karena tulisan ini akan membangkitkan pengkajian terhadap daerah daerah yang berkaitan dengan sejarah desa Hariang ini. Mungkin mereka bisa memprediksi sejak kapan kampung atau leumbur yang mereka diami itu didirikan.

Bapak Emut Muchtar dulu sebelum timbul ide tentang suatu acara yang dinamakan “Medal Hariang”. Ia sangat sulit untuk mencari momen yang pas kapan bisa membuat suatu acara yang dapat membangkitkan semangat para warganya, sehingga dapat membangkitkan berbagai hal baik perekonomian dan juga nantinya kesejahteraaan. Karena itu dicarilah suatu momen yang berkaitan dengan lahirnya leumbur atau kampung itu sendiri,. Maka lahirlah suatu acara pertama yang dinamakan “Medal Hariang”. Bapak Emut Muchtar sangat percaya pada suatu kata kata bijak  jika identitas seseorang tergugah maka mereka akan berusaha untuk bangkit.

Kembali lagi ke judul tulisan ini, sebenarnya kapan proses berburu (moro Banteng) itu terjadi? Jika momen atau peristiwa ini terungkap maka akan dengan mudah kita bisa memprediksi sebenarnya kapan suatu daerah yang dikaitkan dengan sejarah Hariang itu berdiri. Mungkin nantinya para penggiat sejarah di daerahnya akan mencari, menyelidiki dan sebagainya daerahnya tersebut. Jadi disinilah sebanarnya hebatnya yang dikatakan dengan istilah Hariang Efek tersebut.


MORO (BERBURU) BANTENG PARA BANGSAWAN SUMEDANG

Dikisahkan bahwa Sang Pangeran Sumedang, karena akan mengadakan suatu perayaan, ia kemudian  menyuruh para bangsawan dan juga mungkin diukuti oleh sebagian tentaranya untuk berburu (moro) banteng di daerah Conggeang, Buahdua dan Hariang sekarang, yang konon waktu itu merupakan hutan belantara.

Diceritakan sebelumnya bahwa dalam menyusun strategi berburu mereka berkumpul ditempat yang sekarang dinamakan desa Narimbang. Karena ditempat ini mereka menimbang nimbang mau ke arah mana mereka berburu. Kemudian mereka menuruni daerah yang kontur tanahnya menurun yang dalam bahasa sunda disebut cungging. Maka daerah inipun disebut Conggeang. Kemudian mereka ke sekitar buahdua sekarang yang dinamakan Malanang, kemudian mereka mangkal di suatu mata air suatu sungai  yang sekarang disebut Pangkalan. Karena tidak mendapat hasil buruan meereka kemudian mereka mengingat ingat (emut emut) kearah mana mereka akan melakukan perburuan. Dan mereka memutuskan untuk menelusuri sungai dari hulu ke hilir. Sungai tempat ngemut ngemut  ini kemudian dinamakan sungai Cimamut. Hingga perjalanan terhenti di suatu tempat yang dinamakan leumbur Hariang sekarang.

Kapan Peristiwa Moro Terjadi?

Tentang kapan terjadinya peristiwa moro dan pada zaman pemerintahan siapa peristiwa ini terjadi. Untuk menjawab hal tersebut ada pendekatan jawaban yang mungkin relatif bisa dipertanggung jawabkan yaitu dengan menggunakan silsilah dari istana Sumedang dan peristiwa peristiwa dari daerah yang berkaiatan dengan sejarah berdirinya Leumbur Hariang.

Seperti kita ketahui Hariang didirikan oleh Raden Wangsawijaya. Wangsawiajaya mempunyai istri yang bernama Nyi Mas Bayun, putri dari istana Sumedang. Dalam silsilah yang ada di museum Sumedang Nyi Mas Bayun merupakan putri dari Pangeran Rangga Gede, putra dari Prabu Geusan Ulun.

Jadi jika menilik kepada sejarah Sumedang. Waktu perintah berburu, kemungkinan masih di era Pangeran Rangga Gede berkuasa atau pada masa putranya (Pangeran Rangga Gempol II), dan tidak mungkin di era Rangga Gempol III atau Pangeran Panembahan.

Rangga Gede adalah mertua dari Wangsa Wijaya. Jadi sangat mungkin perintah berburu di masa mertuanya. Atau mungkin juga perintah berburu di era Rangga Gempol II atau Pangeran Bagus Weruh, yang merupakan saudara iparnya. Dan jikapun terjadi di era Rangga Gempol III atau Pangeran Panembahan, yang merupakan keponakannya,  kemungkinan besar di era awal kekuasaannya. Tetapi jika pun pendapat yang ketiga ini benar berarti umur Wangsa Wijaya sudah mulai sepuh, dan tidak mungkin.

Dalam tradisi lisan sering kesulitan dalam menentukan urutan tahun. Karena itu sejarah sering tumpang tindih. Dalam cerita lisan juga sangat sulit di era siapa sebenarnya proses berburu tersebut. Karena bagi orang desa yang dia tahu bahwa penguasa sumedang itu adalah gelarnya saja atau sebutannya saja, yaitu pangeran. Rangga gempol I, Rangga gede, Rangga Gempol II, Rangga Gempol III dan seterusnya selalu disebut dengan nama Pangeran.

Jadi dalam sejarah ada kemungkinan bahwa proses berburu terjadi di era Pangeran Rangga Gede berkuasa, karena Buyut Malanang yang sezaman dengan Wangsawijaya dikaitkan dengan penyambutan tentara Mataram dalam rangka penyerangn Mataram ke Batavia yang bertahun 1625 hingga 1630 M. Zaman itu berada di peralihan Rangga gede ke Dipati Ukur. Jadi jika di Malanang waktu berburu belum ada kampung, dan mulai ada kampung di era setelah berburu. Jadi kemungkinan besar bahwa proses berburu jusru terjadi di era Pangeran Rangga Gede berkuasa atau malah sebelum tahun 1625 M.

Dan setelah Wangsawijaya bermukim di Hariang, maka kekuasaan itu beralih ke anak Rangga Gede, yang bernama Bagus Weruh atau Pangeran Rangga Gempol II. Dan kemungkinan Wangsa Wijaya meninggalkan Hariang sudah di era Sumedang dipeintah oleh Rangga Gempol III atau Pangeran Panembahan.
(lanjut.............)

By Adeng Lukmantara bin Abah Olin
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Kab, Sumedang






MENGAPA WANGSA WIJAYA BEGITU TERTARIK DENGAN DAERAH HARIANG?

Judul tersebut diatas mungkin akan timbul dari seseorang penggiat sejarah. Dan judul ini juga mungkin ada relevansinya dengan pertanyaan dari tulisan sebelumnya yang mempertanyakan pertemuan Wangsa Wijaya dengan Embah Guriang. “ Kapan Wangsa Wijaya bertemu pertama kali dengan Embah Guriang?”.

Mengapa Wangsa Wijaya mendirikan leumbur / pemukiman di Hariang? Apakah sebelumnya dia pernah ke daerah ini ? Karena tidak mungkin orang memutuskan untuk mendiami suatu tempat jika tidak ada ketertarikan sebelumnya.

Dalam buku Sejarah Desa Hariang yang disusun pertama kali oleh Bapak. E. Sona dan juga disusun kembali oleh bapak Atnawi, tidak menceritakan latar belakang hal tersebut.

Ada hal menarik bahwa jawaban tersebut justru didapat dari kisah kisah yang diceritakan oleh  Abah Olin. Abah Olin telah menerima kisah ini dari orang tuanya Ojo bin Marhasib dan seterusnya. Kisah ini juga diungkapkan oleh adiknya, Bapak Emut Muchtar, seorang intelektual asal Hariang yang tinggal di Jakarta, tetapi mempunyai komitmen terhadap daerahnya.

Kisah yang diungkapkan oleh Abah Olin ini juga nantinya mungkin akan menjadi awal pengkajian untuk para sejarawan di daerah sekitarnya. Karena kisah ini sangat erat dengan kisah berdirinya kampung  kampung (leumbur) yang ada di Conggeang, Narimbang, Malanang (Buahdua), Citaleus, Hariang Tongoh, Cihayam dan lain sebagainya. Dan hal ini nanti diceritakan secara khusus dalam judul yang lain.

Dalam kisahnya, Abah Olin menceritakan bahwa dulunya daerah yang termasuk Conggeang, Buahdua dan juga Hariang dan sekitarnya merupakan hutan belantara, tempat berburu atau moro banteng. Meskipun juga di prediksi ada beberapa pelarian bekas pejabat Pajajaran yang masih beragama bukan Islam yang bermukim di hutan sekitar daerah ini. Dalam istilah  Islamisasi waktu itu, para Penguasa Sumedang waktu itu memerintahkan para  bawahannya untuk mapagkeun (suatu istilah menjemput dengan sopan) kepada siapa saja yang belum Islam diajak ke istana untuk diislamkan dengan sukarela. Karena itu proses moro atau berburu salah satunya disamping tradisi juga untuk mengetahui daerah daerah yang masih memeluk agama selain Islam..

Diceritakan bahwa kisah ini di mulai ketika Sang Pangeran, penguasa Sumedang waktu itu, akan melakukan perayaan. Karena itu perlu persediaaan daging yang lebih, maka Sang Pangeran kemudian memerintahkan para bangsawan untuk memimpin acara moro (berburu) banteng. Tujuan utamanya adalah hutan di sekitar daerah Conggeang, Buah dua dan Hariang sekarang, yang waktu itu masih hutan belantara.

Abah Olin tidak menyebut nama untuk penguasa Sumedang tersebut, dan hanya menyebut dengan nama Pangeran. Tidak dijelaskan siapa sang Pangeran penguasa Sumedang waktu itu. Sehingga sangat sulit untuk mengetahui kira kira tahun berapa atau rentang tahun berapa peristiwaa moro banteng terssebut. Disnilah letak kelemahan cerita lisan dan kisah kisah yang diungkapkan secara turun temurun tetapi tidak dicatat, sulit membedakan dizaman kapan peristiwa itu terjadi. Karena nara sumber nantinya hanya menyebut penguasa Sumedang dengan gelarnya saja, sang Pangeran.

Diantara yang diutus untuk berburu  tersebut adalah Wangsawijaya (pendiri kampung / karuhun  Hariang), Karuhun Narimbang, Karuhun Conggeang, Karuhun Malanang, Mbah Buyut Dipamanggala dan banyak yang lainnya.

Perburuan pertama di lakukan disekitar kecamatan Conggeang sekarang (waktu itu kampung Conggeang belum ada). Tempat ngaso pertama kali (berhenti) untuk menyusun strategi berburu adalah di kampung Narimang sekarang (dulu kampung ini belum ada). Dinamakan Narimang (Narimbang), karena waktu itu para pemburu utusan Pangeran tersebut menimbang nimbang ke arah mana akan berburu. Dan dalam suatu diskusi itu ada yang berkata bahwa tempat ini sangat cocok untuk dibuat kampung. Dan setelah proses berburu, Karuhun Narimbang kemudian membuat kampung ditempat ini.

Di Narimang kemudian mereka berangkat ke arah pupudunan (jalan turun) atau dalam bahasa sunda disebut  cungging. Dan salah seorang dari mereka berkata bahwa daerah tersebut sangat cocok untuk dibuat kampung. Kampung itu kemudian dinamakan Conggeang. Dan Karuhun Conggeang setelah berburu kemudian menetap dan membuat kampung di daerah ini.

Di daerah Conggeang ini mereka tidak menemukan Banteng, maka mereka terus berjalan hingga Buahdua sekarang atau daerah malanang (yang waktu itu juga masih hutan belantara) dan akhirnya hingga hulu sungai Cimamut sekarang. Hulu sungai cimamut berada di daerah Pangkalan, yang waktu itu juga belum ada kampung. Kemungkinan nama Pangkalan juga karena mereka membuat tempat untuk mengingat ingat. Terus mereka menyusuri  sungai (walungan) tersebut. Karena tidak mendapatkan buruan, maka mereka juga berhenti sambil mengingat ngingat harus kemana harus meneruskan pemburuan tersebut. Mengingat ingat dalam bahasa sunda adalah ngemut ngemut. Maka sungai tersebut kemudian dinamakan sungai Cimamut yang artinya sungai tempat ngemut ngemut atau mengingat ingat.

Setelah itu kemudian mereka memutuskan untuk melakukan perburuan dengan menyususri sungai Cimamut ini hingga ujung (muara). Tetapi di suatu tempat ada bekas gorehan (urut ngoreh ngoreh jeuleuma) buat sodetan. Mereka berujar bahwa pasti ada orang di sekitar sini.  Di Sungai Cimamut di sekitar yang dinamakan  pasir jariang sekarang, ada tambak untuk mengaliri ke suatu tempat (susukan) di sekitar gunung Hariang sekarang.

Mereka kemudian menyusuri susukan (parit)  tersebut, hingga di dapati ada seorang yang sudah sepuh, dengan pakaian hanya disekitar kemaluan saja dengan memakai tutup pakaian yang terbuat dari kulit pohon (talapok). Dan seorang tua tersebut melarang mendekatinya, karena aurat katanya, hingga salah seorang dari rombongan tersebut memberikan pakaian terhadap laki laki yang dikemudian hari dikenal dengan nama Mbah Guriang. Setelah mendapat pakaian, Mbah Guriang kemudian mempersilakan rombongan menemuinya.

Mbah Guriang adalah tokoh yang dikagumi oleh Wangsawijaya, pendiri kampung Hariang di kemudian hari. Mbah Guriang ini diyakini merupakan bekas pembesar dari kerajaan Pajajaran. Abah Olin menyebutnya bekas Patih Pajajaran.  Entah benar atau salah, tetapi diyakini bahwa Mbah Guriang merupakan salah seorang bekas bangsawan penting di Pajajaran, yang harus menyingkirkan diri, karena ibukota Pajajaran, Pakuan jatuh. Mbah Guriang kemudian menyingkir ke daerah Gunung Hariang sekarang. Gunung Hariang adalah suatu istilah tentang gundukan  sebidang tanah tempat tilemnya Mbah Guriang yang ada di desa hariang bagian timur.  

Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya,  Mbah Guriang  bertani (ngahuma) dengan menanam berbagai  umbi umbian (talas dan lainnya). Untuk kebutuhan airnya (termasuk untuk pertanian) ia membuat selokan (nyusuk) yang berasal dari sungai cimamut, lurus ke gunung hariang sekarang. Dan selokan ini yang menjadi awal pertemuan para pemburu kerajaan dengan Mbah Guriang.

Setelah dipersilahkan untuk menemui Mbah Guriang, rombongan pemburu tersebut menceritakan bahwa ia diutus berburu oleh sang Pangeran, tetapi tidak menemukan banteng seekorpun, karena itu para rombongan pemburu tersebut meminta nasehat ke arah mana untuk berburu. 

Mbah Guriang kemudian menunjukan ke suatu lokasi yang ada pohon Kiara. Kata Mbah Guriang itu di pohon kiara ada banteng sedang menggesek gesekan tanduknya di pohon Kiara. Karena itu kemudian para pemburu tersebut menembaknya (ngabeudil), hingga  banteng dapat ditangkap.

Setelah disembelih, Banteng itu kemudian diracah (dipotong potong), kemudian di bagi bagi. Setelah orang lain sudah membawa (nanggung) daging banteng, ada seornag yang tidak kebagian, yaitu Karuhun Malanang. Karena itu ketika mau diangkat maka daging daging banteng itu menghilang.

Karena itu para rombongan pemburu tersebut kembali lagi menemui Mbah Guriang. Mereka bilang bahwa hasil buruannya hilang tanpa sebab. Mbah Guriang berkata, bahwa salah seorang rombongan ada yang tidak terbagi, karena itu Mbah Guriang menyarankan agar Karuhun Malanang yang membagi supaya adil. Dan Karuhun Malanang ini dikemudian hari dikenal sebagai pembagi yang adil.  Karuhun Malanang ini setelah berburu dan menemui Pangeran, ia kemudian menetap di Malanang. Suatu desa dekat Buahdua. Desa Malanang ini mempunyai ciri khas yang sama dengan kampung naga di Tasikmalaya, atau Baduy di Banten. Di desa malanang mewajibkan penduduknya hanya 40 KK.  Karena itu jika lebih maka harus  keluar dari kampungnya tersebut.

Setelah pembagian merata mereka pamit ke  Mbah Guriang untuk pergi ke ibukota Sumedang menemui sang Pangeran. Dan setelah bertemu dengan penguasa Sumedang tersebut, para rombongan bercerita tentang adanya orang tua yang sakti di sekitar Hariang sekarang.  Setelah selesai acara perayaan, kemudian rombongan  diperintah supaya menemui orang tua tersebut, untuk di “papag” (dijemput) agar mereka masuk Islam. Karena dalam tradisi Sumedang waktu itu jika ada yang belum masuk Islam harus dipapag atau dijemput / diajak ke ibukota untuk menemui sang Pangeran. Dan akhirnya rombongan tersebut kembalike daerah Hariang sekarang, untuk mapagkeun Mbah Guriang. Tetapi mbah Guriang dengan sopannya menolak untuk permintaan tersebut, Dan mempersilahkan rombongan untuk kembali ke ibukota. Dan dalan kisah Mbah Guriang hilang  / tilem di sekitar gunung Haraing sekarang. Dan merekapun kembali ke ibukota.

Wangsawijaya, merupakan salah seorang dari rombongan pemburu merasa senang terhadap lokasi yang disebut daerah Hariang sekarang. Karena itu, ia setelah kembali ke ibukota, ia kembali ke  Hariang dan membangun pemukiman disana.

Dengan demikian sejarah berdirinya kampung Hariang bersamaan dengan lahirnya kampung kampung Conggeang, Narimang, Malanang dan lainnya.Tetapi karena keberadaan Mbah Guriang yang merupakan pelarian pejabat Pajajaran di era keruntuhannya,   menjadikan Hariang dianggap lebih tua dari kampung kampung tersebut.
Keterkaitan bahwa leumbur Hariang berbarengan dengan leumbur leumbur lainnya disekitarnya,  hal ini akan diceritakan dalam tulisan tersendiri.


By Adeng Lukmantara bin Abah Olin
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Kab. Sumedang

Sumber: 
  • E. Sona dan Atnawi, Sejarah Desa Hariang 
  • Sumber Lisan: Abah Olin dan Drs. Emut Muchtar
  • Wikipedia dan lainnya
Sekilas Nara Sumber

Disini yang akan dibahas Nara Sumber Abah Olin dan adiknya Bp. Emut Muchtar, yang secara silsilah dipihak ayah: Aki Ojo bin Marhasib bin Sapdi bin Aspin bin Askin bin Uyut Oler. Dari pihak ibu Nyi Jioh binti Kamsani (silsilah ke atasnya belum terdeteksi). Marhasib mempunyai istri yang bernama Karten binti Muhalim bin Sarwian. 
Uyut Muhalim  merupakan orang yang pertama naratas Cadas Pangeran. Duluu dalam pengerjaan jalan Cadas Pangeran ketika banyak orang yang meninggal sebelum pengerjaan, maka Pangeran Kornel kemudian mengundang para jago jawara dan ulama untuk membuka jalan cadas Pangera. Tetapi semua tidak sanggup. Maka tampilah Uyut Muhalim sebagai orang yang pertama naratas. Dan kemudian dikuti oleh yang lainnya. Muhalim merupakan anak Sarwian dan ibunya Nyi Etet/
Sarwian adalah kepala desa kedua di Hariang. Meskipun ia asli orang Tonjong tetapi ia menikah dengan orang Hariang yaitu Nyi Etet. Sarwian dengan Nyi Etet ini terkenal sebagai orang kaya, yang konon kalau menghitung uang dari pagi hingga sore belum selesai. Nyi Etet merupakan anak dari Askin dan saudara dari Aspin, yang merupakan ayah dari Sapdi atau kakeknya Marhasib.
Yang banyak dikutip perktaannya oleh Abah Olin adalah Ki Lebe Kamsu yang merupakan adik dari Uyut Karten, istri Uyut Marhasib.
Jadi disinilah kemungkinan Abah Olin atau Aki Ojo mendapat kisah. Dan yang paling berpengaruh adalah kisah kisah yang katanya dari Aki Lebe Kamsu, salah seorang intelektual dan tokoh keagamaan dimasanya.






















Minggu, 05 Februari 2017

MENGENAL TOKOH WANGSA WIJAYA DAN NYI MAS BAYUN PENDIRI LEUMBUR / DESA HARIANG

Dalam buku Sejarah Desa Hariang diungkapkan bahwa pendiri pemukiman yang sekarang dikenal dengan nama Desa Hariang adalah Wangsawijaya. Wangsa Wijaya mempunyai istri yang bernama Nyi Mas Bayun.

Wangsawijaya menurut buku tersebut diatas merupakan putra  dari bupati Bandung pertama yang bernama Tumenggung Wira Angun Angun. Wangsa Wijaya menikah dengan Nyi Mas Bayun putri bupati Sumedang.

Tentang Nyi Mas Bayun dalam buku Sejarah Desa Hariang dikatakan sebagai anak dari Dalem Panembahan atau Rangga Gempol III. Sedang dalam silsilahyang ada di Museum Sumedang dikatakan bahwa Nyi Mas Bayun merupakan putri dari Pangeran Rangga Gede, yang notabene merupakan kakek dari Pangeran Rangga Gempol III atau Pangeran (Dalem) Panembahan.

Dalam silsilah Museum Sumedang nama Wangsawijaya bergelar Raden, sedang istrinya bergelar Nyi Mas. Dari pernikahan Wangsa wijaya dengan Nyi Mas Bayun menurut  silsilah dari museum  Sumedang  mempunyai 4 orang anak, yaitu Mas Tarunadiwangsa, Nyi Mas Mayar, Nyi Mas Puna, dan Nyi Mas Bungsu. Dan dalam silsilah museum Sumedang ditulis sebagai berikut:

1.1.1.21  NM. Bajoen . 
1.1.1.21 x Rd. Wangsawidjaja Hariang .
1.1.1.21.1 Mas Taroenadiwangsa . 
1.1.1.21.2 NM. Majar . 
1.1.1.21.3 NM. Poena . 
1.1.1.21.4 NM. Boengsoe . 

A.. Wangsa Wijaya

Wangsa Wijaya merupakan pendiri desa Hariang yang sebenarnya.  Dia merasa terpesona oleh daerah ini setelah diutus menjadi salah seorang pemburu oleh Pangeran di Sumedang.
Seperti sudah ditulis diatas, menurut buku sejarah desa Hariang, bahwa Wangsa Wijaya merupakan putra dari bupati bandung pertama yang bernama Tumenggung Wira Angun Angun atau dalam buku diatas disebut dengan Dalem Gajah. Tumenggung Wirangun angun nama aslinya adalah Ki Astamanggala (mp. 1632-1681 M). Tentang benar dan salahnya tentang silsilah tersebut, karena itu perlu penyelidikan yang lebih jauh. Karena belum menemukan pendapat yang menguatkan yang berkaitan dengan Wangsawijaya ini dengan bupati Bandung pertama. Yang menguatkan tentang Wangsawijaya ini ada dalam sejarah silsilah Museum Sumedang.

Hal ini berbeda dengan istrinya, Nyi Mas Bayun. Silsilahnya ada di museum Sumedang sebagai turunan bangsawan Sumedang.

Wangsa wijaya meskipun turunan dari bangsawan (gelar Raden), ia konon tidak menyukai kebangsawanan. Ia sangat merakyat. Ada suatu peribahasa “agul ku payung butut” merupakan istilah dari gelar para bangsawan, yang bangga hanya ada gelar di depan namanya.  Dengan demikian Wangsa Wijaya tidak mau gelar kebangsawanannya menghalangi dirinya bergaul dengan masyarakat biasa.

B.. Nyi Mas Bayun

Nyi Mas Bayun merupakan istri dari Raden Wangsawijaya. Menurut buku Sejarah Desa Hariang, Nyi Mas Bayun merupakan putri dari Dalem Panembahan Sumedang atau Rangga Gempol III. Tetapi menurut silsilah dari keraton Sumedang, Nyi Mas Bayun ini merupakan putri dari Pangeran Rangga Gede (mp. 1620-1624 M), penguasa Sumedang setelah Rangga gempol I atau kakek dari Pangeran Rangga Gempol III.

Setelah Prabu Geusan Ulun meninggal, raja Sumedang Larang jatuh kepada putranya dari Harisbaya yang bernama Pangeran Kusumah Dinata III atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Rangga Gempol I. Setelah Pangeran Rangga Gempol I ikut dalam menyerang madura, dan tidak pernah kembali. Kekuasaan di Sumedang kemudian diserahkan kepada Pangeran Rangga Gede, adik Rangga Gempol lain ibu.

Berikut dibawah ini Sumedang Larang di era kabupatian atau setelah era  Pangeran Geusan Ulun (mp. 1578-1601 M): 
  1. Pangeran Rangga Gempol-I (mp. 1601-1625 M)
  2. Pangeran Rangga Gede (mp. 1625-1633 M)
  3. Pangeran Bagus Weruh ( Rangga Gempol-II)  (mp. 1633-1656 M)
  4. Pangeran Panembahan/Pangeran Rangga Gempol-III(mp. 1656-1706 M)
  5. Dalem Adipati Tanoemadja : 1706-1709
  6. Raden Tumenggung Koesoemahdinata-VII (Pangeran Rangga Gempol-IV/Pangeran Karuhun) : 1709-         1744
  7. Dalem Istri Radjaningrat : 1744-1759
  8. Dalem Adipati Koesoemahdinata-VIII (Dalem Anom) : 1759-1761
  9. Dalem Adipati Soerianagara-II : 1761-1765
  10. Dalem Adipati Soerialaga : 1765-1773
  11. Dalem Adipati Partakoesoemah (Tusschen Bestur Parakanmuncang) : 1773-1789
  12. Dalem Aria Satjapati-III : 1789-1791
  13. Raden Tumenggung Soerianagara (Pangeran Koesoemahdinata-IX/Pangeran Kornel) : 1791-1828
  14. Dalem Adipati Koesoemahjoeda (Dalem Ageung) : 1828-1833
  15. Dalem Adipati Koesoemahdinata (Dalem Alit) : 1833-1834
  16. Raden Tumenggung Soeriadilaga : 1834-1836
  17. Pangeran Soeria Koesoemah Adinata (Pangeran Sugih) : 1836-1882
  18. Pangeran Aria Soeriaatmadja (Pangeran Mekkah) : 1882-1919
  19. Adipati Aria Koesoemadilaga : 1919-1937
  20. Tumenggung Aria Soeria Koesoema Adinata : 1937-1946

 1.. Turunan Prabu Geusan Ulun (mp. 1579-1601 M)

Prabu Geusan Ulun adalah raja Sumedang yan terbesar dan terakhir.  Ia berkuasa dar tahun 1579 hingga tahun 1601 M. Ia merupakan  anak dari Pangeran Santri (Pangeran Kusumah Dinata) dengan Ratu Setyasih atau Ratu Inten Dewata atau terkenal juga dengan sebutan Ratu Pucuk Umun.  Pangeran santri merupakan cicit dari ulama besar Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurul Jati., yang silsilahnya hingga Rasulullah. Sedang Ratu Pucuk Umun atau Ratu Setyasih Ratu Inten Dewata merupakan turunan raja raja sumedang.

Prabu Geusan ulun diawal keuasaannya mewarisi mahkota sang binoksih kerajaan Pajajaran, yang dibawa oleh 4 kandaga lante yang terkenal, yaitu:  Jaya perkosa (Sanghiyang Hawu ), Batara Adipati Wiradijaya (Nangganan), Sanghiyang Kondanghapa dan Batara Pencar Buang (Embah Terong peot). Karena itu Prabu Geusan Ulun mewarisi seluruh wilayah Pajajaran yang tidak dikuasai oleh Banten dan Cirebon.
Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Kusumah Dinata II  memiliki 3 orang istri. Yang pertama bernama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada. Yang kedua adalah Putri Harisbaya, yang berasal dari Pajang / Demak. Dan yang ketiga adalah Nyi Mas Pasarean.

Anak dari Istrinya Nyi Mas Cukang Gedeng Waru
  1. Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang.
  2. Raden  Aria Wiraraja 1
  3. Kiai Kadu Rangga Gede
  4. Kiai Rangga Patra kalana di Cunduk kayu
  5. Kiai Aria Rangga Pati di Haur koneng
  6. Kiai Ngabehi Watang
  7. Nyi Mas Demang Cipaku
  8. Nyi Mas Ngabehi Martayuda di Ciawi
  9. Nyi Mas RanggaWiratama di Cibeureum
  10. Raden Rangga Nitinagara di Pagaden dan Pamanukan
  11. Nyi Mas Rangga pamade
  12. Nyi Mas Dipati Ukur di Bandung
  13. Pangeran Tumenggung Tegal Kalong
  14. Kiai Demang Cipaku di dayeuh Luhur

Putra Geusan Ulun dari Istrinya ratu Harisbaya 
  1. Rangga Gempol 1 (Pangeran Kusumah Dinata III)

Putra Geusan Ulun dari Istrinya Nyi Mas Pasarean.
  1. Raden Kartajiwa.
  2. Raden  Mangunrana
  3. Raden Tampangkil
  4. Nyi raden Sumalintang
  5. Nyi Raden Nustawiya

 2.. Turunan Pangeran Rangga Gede (mp.1625-1633 M)

Pangeran Rangga Gede menjadi bupati wedana Sumedang dari tahun 1625 hingga 1633 M. Ia berkuasa setelah Rangga Gempol I pada tahun 1625 M  ikut penyerangan terhadap Madura.

Rangga Gede dianggap sebagai cikal bakal bupati Sumedang. Karena seluruh bupati Sumedang merupakan turunannya. Rangga gede mempunyai 29 anak, diantaranya ada yang bernama Nyi Mas Bayun. 

Berikut adalah putra dan putri Pangeran  Rangga Gede:
  1. Dalem Arya Bandayuda
  2. Dalem Jayuda
  3. Dalem Wargaita
  4. Dalem Wanngsasubaya
  5. Bagus Weruh / Dalem Rangga Gempol II
  6. Dalem Lurah
  7. Raden Singamanggala
  8. Ki Wangsaparamaja
  9. Ki Wiratama
  10. Ki Wangsaparaja
  11. Ki Jasinga
  12. Ki Wangsasabadra
  13. Kiai Anggatanu
  14. Ki Martabaya
  15. Nyi Mas Anggadasta
  16. Nyi Masa nataparana
  17. Nyi Mas Arya Pawenang
  18. Nyi Mas Martarana
  19. Nyi Mas Jagasatru
  20. Nyi Mas Wargakarti
  21. Nyi Mas Bayun
  22. Nyi Mas wangsapatra
  23. Nyi Mas Warga Komara
  24. Nyi Mas Yundakala
  25. Nyi Mas Tuan Sukadana
  26. Nyi Mas Utama
  27. Nyi Mas Kawangsa
  28. Nyi Mas Wirakarti
  29. Nyi Raden  Nalawangsa.

 Dalam silsilah Sumedang bahwa Ny Mas Bayun merupakan anak ke 21 Rangga Gede.

3.. Pangeran Bagus Weruh /Dalem Rangga Gempol II (mp. 1633-1656 M)

Setelah Rangga Gede kekuasaan eks Sumedang Larang jatuh ke adik iparnya, Adipati Ukur. Tetapi untuk kabupatian Sumedang jatuh ke anaknya  Pangeran Bagus Weruh atau dikenal juga dengan Rangga Gempol II.

Dan setelah Rangga Gempol II, bupati selanjutnya anaknya dari Sang bupati yang bernama Pangeran Panembahan (Rangga Gempol III) (mp. 1656-1706 M).

4. Silsilah Nenek Moyang Nyi Mas Bayun

Ny Mas Bayun merupakan anak dari Pangeran Rangga Gede , yang merupakan bupati  wedana atau bupati Sumedang dan  turunan raja raja Sumedang dan juga turunan ulama besar Syekh Datuk Kahfi. Pangeran Rangga Gede merupakan putra dari Prabu Geusan Ulun, Raja Sumedang terakhir  Yang berarti bahwa kakek Nyi Mas Bayun, adalah seorang raja.

Prabu Geusan ulun dari pihak ibu(ratu Setyasih/ Ratu Inten Dewata / Ratu Pucuk Umun) merupakan turunan raja raja Sumedang klasik, sedang ayahnya (Pangeran Santri) merupakan turunan Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurjati, ulama besar masih keturunan Nabi Muhammad SAW.

Pangeran Santri atau Pangeran Kusumah Dinata I merupakan turunan dari ulama, putra dari Pangeran Maulana Muhammad (Pangeran Palakaran), cucu  dari Syekh Maulana Abdurrahman (Sunan Panjunan), cicit dari Syekh Datuk Kahfi (Syekh Nurjati).
Silislah Pangeran Santri:
  1. Nabi Muhammad SAW
  2. Fatimah Az Zahra
  3. Sayyid Husein
  4. Sayyid Ali Zainal Abidin
  5. Sayyid Muhammad Al Baqir
  6. Sayyid Ja’far as Shadiq
  7. Sayyid Ali Al Uraidhi
  8. Sayyid Muhammad an Naqib
  9. Sayyid ‘Isa Naqib ar Rumi
  10. Sayyid Ahmad al Muhajir
  11. Sayyid al imam ‘Ubaidillah
  12. Sayyid Alawi Awwal
  13. Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah
  14. Sayyid Alawi Ats Tsani
  15. Sayyid Ali Kholi’ Qosim
  16. Sayyid Muhammad Sohib Mirbath
  17. Sayyid Alawi Ammil Faqih
  18. Sayyid Amir Abdul malik al Muhazir azmatkhan
  19. Sayyid Abdullah Azmatkhan
  20. Abdul Kadir
  21. Maulana Isa
  22. Datuk Ahmad
  23. Syekh Datuk Kahfi / Syekh Nurjati / Syekh Nurul Jati
  24. Syekh Maulana Abdurrahman (Sunan Panjunan)
  25. Maulanan Muhammad (Pangeran Pamelekaran)
  26. Pangeran Santri (Pangeran Kusumahdinata)
  27. Prabu Geusan Ulun
  28. Pangeran Rangga Gede
  29. Nyi Mas Bayun

 Silsilah Ratu Setyasih (Ratu Inten Dewata / Ratu Pucuk Umun), turunan Raja Raja Sumedang Larang.
  1. Batara Prabu Aji Putih
  2. Prabu Tajimalela (Batara Tuntang Buana)
  3. Prabu Lembu Agung (Prabu Jayabrata/ Prabu Lembu Peteng Aji)
  4. Prabu gajah Agung (Prabu Atmabrata)
  5. Prabu Pagulingan (Prabu Wirajaya Jagabaya)
  6. Sunan Guling ( Prabu Mertalaya)
  7. Sunan Tuakan (Prabu Tirta Kusuma)
  8. Ratu Sintawati (Nyi Mas Patuakan)  menikah dengan Sunan Corenda dari Talaga
  9. Ratu Satyasih (Ratu Inten Dewata / bergelar Ratu Pucuk Umun), menikah dengan Pangeran Santri dari Cirebon.
  10. Prabu Geusan Ulun
  11. Pangeran Rangga Gede
  12. Nyi Mas Bayun

Adeng Lukmantara  bin Abah Olin
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang - Kab. Sumedang

(Sumber: Dari berbagai Sumber)