Judul tersebut diatas mungkin akan timbul dari
seseorang penggiat sejarah. Dan judul ini juga mungkin ada relevansinya dengan
pertanyaan dari tulisan sebelumnya yang mempertanyakan pertemuan Wangsa Wijaya
dengan Embah Guriang. “ Kapan Wangsa Wijaya bertemu pertama kali dengan Embah
Guriang?”.
Mengapa Wangsa Wijaya mendirikan leumbur / pemukiman
di Hariang? Apakah sebelumnya dia pernah ke daerah ini ? Karena tidak mungkin
orang memutuskan untuk mendiami suatu tempat jika tidak ada ketertarikan
sebelumnya.
Dalam buku Sejarah Desa Hariang yang disusun pertama
kali oleh Bapak. E. Sona dan juga disusun kembali oleh bapak Atnawi, tidak
menceritakan latar belakang hal tersebut.
Ada hal menarik bahwa jawaban tersebut justru didapat
dari kisah kisah yang diceritakan oleh
Abah Olin. Abah Olin telah menerima kisah ini dari orang tuanya Ojo bin
Marhasib dan seterusnya. Kisah ini juga diungkapkan oleh adiknya, Bapak Emut
Muchtar, seorang intelektual asal Hariang yang tinggal di Jakarta, tetapi
mempunyai komitmen terhadap daerahnya.
Kisah yang diungkapkan oleh Abah Olin ini juga
nantinya mungkin akan menjadi awal pengkajian untuk para sejarawan di daerah
sekitarnya. Karena kisah ini sangat erat dengan kisah berdirinya kampung kampung (leumbur) yang ada di Conggeang,
Narimbang, Malanang (Buahdua), Citaleus, Hariang Tongoh, Cihayam dan lain
sebagainya. Dan hal ini nanti diceritakan secara khusus dalam judul yang lain.
Dalam kisahnya, Abah Olin menceritakan bahwa dulunya
daerah yang termasuk Conggeang, Buahdua dan juga Hariang dan sekitarnya
merupakan hutan belantara, tempat berburu atau moro banteng. Meskipun juga di
prediksi ada beberapa pelarian bekas pejabat Pajajaran yang masih beragama
bukan Islam yang bermukim di hutan sekitar daerah ini. Dalam istilah Islamisasi waktu itu, para Penguasa Sumedang
waktu itu memerintahkan para bawahannya
untuk mapagkeun (suatu istilah menjemput dengan sopan) kepada siapa saja yang
belum Islam diajak ke istana untuk diislamkan dengan sukarela. Karena itu
proses moro atau berburu salah satunya disamping tradisi juga untuk mengetahui
daerah daerah yang masih memeluk agama selain Islam..
Diceritakan bahwa kisah ini di mulai ketika Sang
Pangeran, penguasa Sumedang waktu itu, akan melakukan perayaan. Karena itu
perlu persediaaan daging yang lebih, maka Sang Pangeran kemudian memerintahkan
para bangsawan untuk memimpin acara moro (berburu) banteng. Tujuan utamanya
adalah hutan di sekitar daerah Conggeang, Buah dua dan Hariang sekarang, yang
waktu itu masih hutan belantara.
Abah
Olin tidak menyebut nama untuk penguasa Sumedang tersebut, dan hanya menyebut
dengan nama Pangeran. Tidak dijelaskan siapa sang Pangeran penguasa Sumedang
waktu itu. Sehingga sangat sulit untuk mengetahui kira kira tahun berapa atau
rentang tahun berapa peristiwaa moro banteng terssebut. Disnilah letak
kelemahan cerita lisan dan kisah kisah yang diungkapkan secara turun temurun
tetapi tidak dicatat, sulit membedakan dizaman kapan peristiwa itu terjadi.
Karena nara sumber nantinya hanya menyebut penguasa Sumedang dengan gelarnya
saja, sang Pangeran.
Diantara
yang diutus untuk berburu tersebut
adalah Wangsawijaya (pendiri kampung / karuhun
Hariang), Karuhun Narimbang, Karuhun Conggeang, Karuhun Malanang, Mbah
Buyut Dipamanggala dan banyak yang lainnya.
Perburuan
pertama di lakukan disekitar kecamatan Conggeang sekarang (waktu itu kampung
Conggeang belum ada). Tempat ngaso pertama kali (berhenti) untuk menyusun
strategi berburu adalah di kampung Narimang sekarang (dulu kampung ini belum
ada). Dinamakan Narimang (Narimbang), karena waktu itu para pemburu utusan
Pangeran tersebut menimbang nimbang ke arah mana akan berburu. Dan dalam suatu
diskusi itu ada yang berkata bahwa tempat ini sangat cocok untuk dibuat
kampung. Dan setelah proses berburu, Karuhun Narimbang kemudian membuat kampung
ditempat ini.
Di
Narimang kemudian mereka berangkat ke arah pupudunan (jalan turun) atau dalam
bahasa sunda disebut cungging. Dan salah
seorang dari mereka berkata bahwa daerah tersebut sangat cocok untuk dibuat
kampung. Kampung itu kemudian dinamakan Conggeang. Dan Karuhun Conggeang
setelah berburu kemudian menetap dan membuat kampung di daerah ini.
Di
daerah Conggeang ini mereka tidak menemukan Banteng, maka mereka terus berjalan
hingga Buahdua sekarang atau daerah malanang (yang waktu itu juga masih hutan
belantara) dan akhirnya hingga hulu sungai Cimamut sekarang. Hulu sungai
cimamut berada di daerah Pangkalan, yang waktu itu juga belum ada kampung.
Kemungkinan nama Pangkalan juga karena mereka membuat tempat untuk mengingat
ingat. Terus mereka menyusuri sungai
(walungan) tersebut. Karena tidak mendapatkan buruan, maka mereka juga berhenti
sambil mengingat ngingat harus kemana harus meneruskan pemburuan tersebut.
Mengingat ingat dalam bahasa sunda adalah ngemut ngemut. Maka sungai tersebut
kemudian dinamakan sungai Cimamut yang artinya sungai tempat ngemut ngemut atau
mengingat ingat.
Setelah
itu kemudian mereka memutuskan untuk melakukan perburuan dengan menyususri
sungai Cimamut ini hingga ujung (muara). Tetapi di suatu tempat ada bekas
gorehan (urut ngoreh ngoreh jeuleuma) buat sodetan. Mereka berujar bahwa pasti
ada orang di sekitar sini. Di Sungai
Cimamut di sekitar yang dinamakan pasir
jariang sekarang, ada tambak untuk mengaliri ke suatu tempat (susukan) di
sekitar gunung Hariang sekarang.
Mereka
kemudian menyusuri susukan (parit) tersebut, hingga di dapati ada seorang yang
sudah sepuh, dengan pakaian hanya disekitar kemaluan saja dengan memakai tutup
pakaian yang terbuat dari kulit pohon (talapok). Dan seorang tua tersebut
melarang mendekatinya, karena aurat katanya, hingga salah seorang dari rombongan
tersebut memberikan pakaian terhadap laki laki yang dikemudian hari dikenal
dengan nama Mbah Guriang. Setelah mendapat pakaian, Mbah Guriang kemudian
mempersilakan rombongan menemuinya.
Mbah
Guriang adalah tokoh yang dikagumi oleh Wangsawijaya, pendiri kampung Hariang
di kemudian hari. Mbah Guriang ini diyakini merupakan bekas pembesar dari
kerajaan Pajajaran. Abah Olin menyebutnya bekas Patih Pajajaran. Entah benar atau salah, tetapi diyakini bahwa
Mbah Guriang merupakan salah seorang bekas bangsawan penting di Pajajaran, yang
harus menyingkirkan diri, karena ibukota Pajajaran, Pakuan jatuh. Mbah Guriang
kemudian menyingkir ke daerah Gunung Hariang sekarang. Gunung Hariang adalah
suatu istilah tentang gundukan sebidang
tanah tempat tilemnya Mbah Guriang yang ada di desa hariang bagian timur.
Untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya, Mbah
Guriang bertani (ngahuma) dengan menanam
berbagai umbi umbian (talas dan lainnya).
Untuk kebutuhan airnya (termasuk untuk pertanian) ia membuat selokan (nyusuk)
yang berasal dari sungai cimamut, lurus ke gunung hariang sekarang. Dan selokan
ini yang menjadi awal pertemuan para pemburu kerajaan dengan Mbah Guriang.
Setelah
dipersilahkan untuk menemui Mbah Guriang, rombongan pemburu tersebut menceritakan
bahwa ia diutus berburu oleh sang Pangeran, tetapi tidak menemukan banteng
seekorpun, karena itu para rombongan pemburu tersebut meminta nasehat ke arah
mana untuk berburu.
Mbah
Guriang kemudian menunjukan ke suatu lokasi yang ada pohon Kiara. Kata Mbah
Guriang itu di pohon kiara ada banteng sedang menggesek gesekan tanduknya di
pohon Kiara. Karena itu kemudian para pemburu tersebut menembaknya (ngabeudil),
hingga banteng dapat ditangkap.
Setelah
disembelih, Banteng itu kemudian diracah (dipotong potong), kemudian di bagi
bagi. Setelah orang lain sudah membawa (nanggung) daging banteng, ada seornag
yang tidak kebagian, yaitu Karuhun Malanang. Karena itu ketika mau diangkat
maka daging daging banteng itu menghilang.
Karena
itu para rombongan pemburu tersebut kembali lagi menemui Mbah Guriang. Mereka
bilang bahwa hasil buruannya hilang tanpa sebab. Mbah Guriang berkata, bahwa
salah seorang rombongan ada yang tidak terbagi, karena itu Mbah Guriang
menyarankan agar Karuhun Malanang yang membagi supaya adil. Dan Karuhun
Malanang ini dikemudian hari dikenal sebagai pembagi yang adil. Karuhun Malanang ini setelah berburu dan
menemui Pangeran, ia kemudian menetap di Malanang. Suatu desa dekat Buahdua.
Desa Malanang ini mempunyai ciri khas yang sama dengan kampung naga di
Tasikmalaya, atau Baduy di Banten. Di desa malanang mewajibkan penduduknya
hanya 40 KK. Karena itu jika lebih maka
harus keluar dari kampungnya tersebut.
Setelah
pembagian merata mereka pamit ke Mbah
Guriang untuk pergi ke ibukota Sumedang menemui sang Pangeran. Dan setelah
bertemu dengan penguasa Sumedang tersebut, para rombongan bercerita tentang
adanya orang tua yang sakti di sekitar Hariang sekarang. Setelah selesai acara perayaan, kemudian
rombongan diperintah supaya menemui
orang tua tersebut, untuk di “papag” (dijemput) agar mereka masuk Islam. Karena
dalam tradisi Sumedang waktu itu jika ada yang belum masuk Islam harus dipapag
atau dijemput / diajak ke ibukota untuk menemui sang Pangeran. Dan akhirnya
rombongan tersebut kembalike daerah Hariang sekarang, untuk mapagkeun Mbah
Guriang. Tetapi mbah Guriang dengan sopannya menolak untuk permintaan tersebut,
Dan mempersilahkan rombongan untuk kembali ke ibukota. Dan dalan kisah Mbah
Guriang hilang / tilem di sekitar gunung
Haraing sekarang. Dan merekapun kembali ke ibukota.
Wangsawijaya,
merupakan salah seorang dari rombongan pemburu merasa senang terhadap lokasi
yang disebut daerah Hariang sekarang. Karena itu, ia setelah kembali ke ibukota,
ia kembali ke Hariang dan membangun
pemukiman disana.
Dengan
demikian sejarah berdirinya kampung Hariang bersamaan dengan lahirnya kampung
kampung Conggeang, Narimang, Malanang dan lainnya.Tetapi karena keberadaan Mbah
Guriang yang merupakan pelarian pejabat Pajajaran di era keruntuhannya, menjadikan
Hariang dianggap lebih tua dari kampung kampung tersebut.
Keterkaitan
bahwa leumbur Hariang berbarengan dengan leumbur leumbur lainnya disekitarnya, hal ini akan diceritakan dalam tulisan
tersendiri.
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Kab. Sumedang
Sumber:
- E. Sona dan Atnawi, Sejarah Desa Hariang
- Sumber Lisan: Abah Olin dan Drs. Emut Muchtar
- Wikipedia dan lainnya
Disini yang akan dibahas Nara Sumber Abah Olin dan adiknya Bp. Emut Muchtar, yang secara silsilah dipihak ayah: Aki Ojo bin Marhasib bin Sapdi bin Aspin bin Askin bin Uyut Oler. Dari pihak ibu Nyi Jioh binti Kamsani (silsilah ke atasnya belum terdeteksi). Marhasib mempunyai istri yang bernama Karten binti Muhalim bin Sarwian.
Uyut Muhalim merupakan orang yang pertama naratas Cadas Pangeran. Duluu dalam pengerjaan jalan Cadas Pangeran ketika banyak orang yang meninggal sebelum pengerjaan, maka Pangeran Kornel kemudian mengundang para jago jawara dan ulama untuk membuka jalan cadas Pangera. Tetapi semua tidak sanggup. Maka tampilah Uyut Muhalim sebagai orang yang pertama naratas. Dan kemudian dikuti oleh yang lainnya. Muhalim merupakan anak Sarwian dan ibunya Nyi Etet/
Sarwian adalah kepala desa kedua di Hariang. Meskipun ia asli orang Tonjong tetapi ia menikah dengan orang Hariang yaitu Nyi Etet. Sarwian dengan Nyi Etet ini terkenal sebagai orang kaya, yang konon kalau menghitung uang dari pagi hingga sore belum selesai. Nyi Etet merupakan anak dari Askin dan saudara dari Aspin, yang merupakan ayah dari Sapdi atau kakeknya Marhasib.
Yang banyak dikutip perktaannya oleh Abah Olin adalah Ki Lebe Kamsu yang merupakan adik dari Uyut Karten, istri Uyut Marhasib.
Jadi disinilah kemungkinan Abah Olin atau Aki Ojo mendapat kisah. Dan yang paling berpengaruh adalah kisah kisah yang katanya dari Aki Lebe Kamsu, salah seorang intelektual dan tokoh keagamaan dimasanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar