Laman

Senin, 02 Juni 2014

HARIANG 349 TAHUN YANG LALU

Sebenarnya saya belum pernah membaca buku yang ditulis oleh nenek moyang urang Hariang yang menjadi pedoman sehingga dapat menentukan bahwa “Hariang” dimana sekarang nama sebuah desa, telah berumur 349 tahun. Saya mencoba menganalis tentang sejarah tanah sunda sekitar 349 tahun yang lalu. Saya mungkin kurang beruntung karena belum membaca buku yang ditulis ratusan tahun tersebut secara turun temurun. Tetapi mungkin juga suatu keuntungan besar, bahwa saya sebagai penulis akan mencoba mebahas sejarah sunda 349 tahun yang lalu.

Jika bulan Mei dijadikan sebagai medal hariang, maka berarti medal hariang terjadi pada bulan mei tahun 2014 dikurangi 349 tahun, berarti jatuh pada bulan Mei tahun 1665 M. Dimana kekuasaan Sumedang waktu itu di perintah oleh Pangeran Rangga Gempol 3 atau terkenal juga dengan nama Pangeran Panembahan, yang berkuasa di tanah sumedang dari tahun  1656 hingga tahun 1706 M.

A. Peralihan dari Kerajaan Sumedang Larang ke Pengaruh Mataram

Seperti diketahui bahwa setelah meninggalnya Prabu Geusan Ulun pada tahun 1603 M, yang merupakan raja terbesar Sumedang Larang, yang mewarisi tahta sunda bekas kekuasaan seluruh tanah Pajajaran yang tidak dikuasai oleh banten dan Cirebon. Kemudian digantikan oleh Raden Suriadiwangsa I yang dikenal juga dengan nama Rangga Gempol I. Ia berkuasa dari tahun  1608 hingga 1625 Masehi.

Pada tahun 1595 M, Panembahan Senopati dari Mataram, yang berkuasa dari tahun 1586 hingga 1601 M, mencoba memperluas wilayah kekuasaanya  ke wilayah barat sehingga berhasil menaklukan Cirebon beserta bawahannya, meskipun kesultanan Cirebon dibiarkan berkuasa. Sumedang Larang waktu itu dikuasai oleh Prabu geusan Ulun, masih merupakan saingan dari kerajaan Mataram. Untuk mempererat hubungan Mataram–Cirebon, Senopati  menikahkan salah seorang keluarganya  yang bernama Ratu Harisbaya dengan penguasa Cirebon waktu itu, Panembahan Ratu (mp. 1570-1649 M). Tetapi kemudian Ratu Harisbaya melarikan diri  dan ikut dengan Prabu Geusan Ulun dari Sumedang Larang, yang menjadikan koplik antara Cirebon-Sumedang.

Dalam konflik yang ditengahi oleh Mataram, disepakati bahwa Harisbaya tetap menjadi istri Prabu Geusan Ulun, dengan syarat memberikan wilayah Majalengka dari kadipaten ke timur diserahkan ke Cirebon. Maka saat itulah wilayah Majalengka menjadi wilayah Cirebon.

Dan setelah Prabu Geusan Ulun meninggal pada tahun 1603 M, ia kemudian digantikan oleh anak tirinya dari Harisbaya, yang bernama Rangga Gempol 1. Karena disisi utara ke timur terdesak oleh Cirebon, sedang disebelah barat dan utara mendapat pengaruh kuat dari Banten, dan karena kedekatan kekerabatan dengan Harisbaya, maka Rangga Gempol 1 kemudian mengaku kedaulatan Mataram, sehingga bentuk kerajaan berubah menjadi bawahan Mataram. Suatu kesalahan besar dari rangga Gempol 1, karena dengan mengabdi ke Mataram, ia harus menuruti perintah Raja Mataram untuk memimpin dan mengirim pasukan Sumedang untuk menaklukan Madura. Karena sang penguasa dan pasukannya ke Madura, maka kekuasaan jatuh ke adiknya yang bernama Rangga Gede. Karena dianggap akan memberontak ke Mataram dengan bekerja sama dengan Banten, maka Rangga gede kemudian ditahan di Mataram. Kekuasaan Sumedang jatuh ke adik ipar dari Rangga Gede yang bernama Adipati Ukur.

B. Setelah Pemberontakan Adipati Ukur

     Dipati Ukur  atau lengkapnya Dipati Ukur Wangsanata, merupakan penguasa wilayah ukur (daerah bandung sekarang), dibawah kekuasaan Sumedang Larang. Ia menikah dengan putri dari Prabu Geusan Ulun, yang terkenal dengan nama Nyi Mas Dipati Ukur.

      Setelah Pangeran Ranggagede dipenjara oleh kerajaan Mataram, karena dianggap  ain mata  dengan banten untuk memberontak terhadap mataram maka jabatan bupati wedana priangan diberikan kepadanya.

     Ketika dipati ukur  menjadi bupati wedana, pada tahun 1628 /1629 M, ia mendapat perintah dari Sultan Agung untuk menyerang Batavia (Jakarta sekarang), yang waktu itu dikuasai Belanda, bersama-sama pasukan Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso.
       
Karena kekalahannya dalam membantu mataram melawan Belanda di Batavia (jakarta). Dari 4000 pasukan yang dibawa menyisakan sekitar 400 pasukan yang tersisa, maka sang dipati Ukur pun berkata: “Cadu ngawula ka jawa”, dan setelah itu Adipati Ukur pun kemudian memberontak terhadap Mataram. 

       Adipati Ukur membawa 9 umbul (pimpinan daerah) dalam penyerangan ke Batavia tersebut. Dari ke-9 umbul tersebut, 3 umbul kemudian menghianatinya dan menjadi antek-antek mataram, yaitu Umbul Sukakerta Ki Wirawangsa, Umbul Cihurbeuti Ki Astamanggala, dan umbul Sindangkasih, Ki Somahita. yang menyebabkan adipati Ukur di eksekusi di Mataram.

     Setelah gerakan pembebasan (pemberontakan versi mataram) dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung (dari mataram) menyerahkan kembali jabatan bupati wedana  priangan kepada  Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya. Tetapi Rangga Gede Hanya berkuasa sebentar hingga meninggal pada tahun 1633 M, yang kemudian diganti oleh Pangeran rangga Gempol II , yang berkuasa dari tahun 1633 hingga tahun 1656 M. Setelah rangga Gempol meninggal kemudian digantikan oleh Rangga Gempol 3 atau  Pangeran Panembahan yang berkuasa dari tahun 1656 hingga 1706 M)

   Selain itu  karena ketakutan mataram terhadap pemberontakan,, maka dilakukan reorganisasi  pemerintahan Sumedang Larang yang kala itu telah diganti menjadi   priangan. Daerah priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi 3 kabupaten, yaitu kabupaten Bandung, Kabupaten Parakan Muncang dan kabupaten Sukapura, dengan cara mengangkat 3 kepala daerah  dari priangan  yang dianggap telah berjasa  menumpas gerakan pembebasan (pemberontakan versi Mataram) dipati ukur. Ketiga orang tersebut, adalah:
  •  Ki Astamanggala, Umbul Cihaurbeuti diangkat menjadi  mantri Agung (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wirangun angun.
  •   Tanubaya sebagai bupati Parakan Muncang
  • Ngabehi Wirawangsa menjadi  bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha.
   
C. Kekuasaan Tanah Sunda di sekiar tahun 1665 M.

     Setelah membaca sejarah tersebut diatas sangat jelaslah bahwa Hariang yang berdiri tahun 1665 M, kekuasaan Sumedang berada di tangan Bupati Wedana Rangga Gempol 3 atau  Pangeran Panembahan yang berkuasa dari tahun 1656 hingga 1706 M), yang meruapakan putra dari Rangga gempol II, yang meninggal pada tahun 1656 M. Rangga Gempol III / Paangeran paembahan dikenal sebagai bupati wedana yang cerdas, lincah dan gagah berani.
Pada masa pemerintahan Pangeran Panembahan ini, merupakan masa transisi, dengan berakhirnya pengaruh Mataram dan mulai masuknya pengaruh VOC di Sumedang, Pangeran Panembahan memanfaatkan kecerdikannya untuk menjadikan sumedang menguaai kembali wilayah wilayah seperti yang dikuasai oleh Prabu Geusan Ulun.  Ia kemudian mendapat hak penuh terhadap wilayah antara sungai cipunagara dengan sungai ci tarum, sehingga bandung, parakan muncang, sukapura, karawang dan juga Idramayu dapat dipersatukan kembali dibawah pimpinan Rangga Gempol III.

Di Bandung yang menjadi bupati waktu itu adalah Ki Astamanggala, yang bergelar Tumenggung Wirangun angun. Yang berkuasa dari tahun 1632 s/d 1681 m.. Sedang di Sukapura di kuasai oleh Raden Ngabehi Wirawangsa, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha 1, dipanggil Dalem Pasir Beganjing, berkedudukan  di  Leuwi Loa Sukaraja (1641-1674).

Jadi sangat jelas bahwa Hariang berdiri tahun 1665 m ketika Sumedang dipimpin oleh Pangeran Panembahan atau pangeran Rangga Gempol 3. Dan tidak jauh beda dengan berdirinya kabupaten Bandung yang didirikan tahun 1632, atau sukapura (tasikmalaya), di tahun-tahun itu juga.

(By Adeng Lukmantara dari berbagai sumber)