Laman

Minggu, 07 September 2014

SENI TRADISIONAL GEMYUNG (TERBANG UYUT) DI HARIANG



Dalam sejarahnya, kesenian di daerah Hariang telah berkembang sejak era berdirinya leumbur (daerah) tersebut. Seperti kita ketahui bahwa Hariang  didiirikan oleh  Raden Wangsa Wijaya menjadi suatu perkampungan pada abad ke-17 M. Dalam buku sejarah Desa Hariang yang disusun pertama kali oleh Kuwu E. Sona yang disusun kembali oleh Bapak Atnawi dikatakan bahwa Hariang didirikan pada tahun 1665 M (1085 H), meskipun sebenarnya kemungkinan lebih tua dari tahun tersebut.

Pada saat Raden Wangsa Wijaya memutuskan untuk tinggal di Hariang, karena ia termasuk bangsawan dari keluarga para bupati Sumedang waktu itu. Maka berdatangan pula lah orang yang mengikuti beliau untuk ikut serta dalam membangun leumbur Hariang. Diantaranya ada ahli seni yang bernama Ki Raksa Mayu.  Entah kesenian apa yang dikembangkan oleh Raksa Mayu dalam mengembangkan kesenianya, tetapi ia sangat dikenal sebagai seorang ahli tabuh-tabuhan, yang bisa membuat  terlena orang yang mendengarnya.

Salah satu kesenian yang  hingga kini masih ada  dan merupakan warisan dari nenek moyang hariang adalah seni Gemyung atau dalam istilah masyarakat disebut juga dengan nama terbang uyut. Jadi kemungkinan seni gemyung ini merupakan salah satu warisan dari Ki Raksa Mayu di era generasi Hariang pertama.

A.. Sejarah Seni Gemyung (Terbang)

Di masyarakat desa Hariang kesenian terbang disebut juga dengan seni Gemyung. Tetapi dalam masyarakat Hariang, karena kesenian ini ada yang bersifat magic, jadi istilahnya biasanya juga dinamakan seni terbang uyut. Uyut merupakan suatu istilah yang berkaitan dengan leluhur.  Dalam istilah sunda, uyut itu adalah generasi diatas kakek (aki). Jadi istilah uyut hal ini identik dengan nama leluhur.

Buku tentang terbang ini telah ditulis oleh Maman Suharya yang berjudul “Seni Terbang” atau Riwayat Seni Terbang”. Yang ditulis pada tahun 2006 di Banceuy Bandung. Tetapi sejarahnya seolah masih mengawang. Tetapi intinya bahwa Gemyung itu sangat erat kaitannya dengan Syekh Nurjati atau dikenal juga dengan nama Syekh Datuk Kahfi.

Konon bahwa seni gemyung ini berasal dari Baghdad yang dibawa ke Cirebon yang waktu itu merupakan kota pelabuhan dari kerajaaan Sunda (Galuh),  di era Syekh Nurjati atau Syekh Datuk Kahfi.  Kemudian terbang atau Gemyung ini dikembangkan oleh anaknya Syekh Maulana Abdurrahman atau dikenal dengan nama Pangeran Panjunan.

Dalam sejarah kita ketahui bahwa Syekh Maulana Abdurrahman merupakan bapak dari Maulana Muhammad (Pangeran Pamelekaran). Sedang Pangeran Maulana Muhammad merupakan bapak/ ayah dari Pangeran Santri. Pangeran Santri merupakan ayah / bapak dari Parbu Geusan Ulun. Prabu Geusan Ulun merupakan ayah / bapak dari Pangeran Rangga Gede. Dan Pangeran Rangga Gede mempunyai anak yang bernama Nyi Mas bayun. Dan Nyi Mas Bayun kemudian menikah dengan Raden Wangsawijaya, dan mendirikan perkampungan di Hariang sekarang.

1.. Pengertian Seni Gemyung (Seni Terbang)

Seni gemyung sendiri pada awalnya dikembangkan oleh para wali sebagai syiar dalam menyebarkan keagamaan islam.

Seni gemyung atau dikenal dengan nama seni tarbang., yang kemudian dikenal dengan seni terbang. Dalam buku yang disusun oleh Maman Suharya  dikatakan bahwa Tarbang merupakan 7 huruf yang awalnya merupakan singkatan dari bahasa Arab dari hal sebagai berikut:

.. T berasal dari kata Taroban yang artinya Allah yang maha Esa
.. A berasal dari kata Adabun yang artinya pancer Dua kalimat Syahadat
.. R berasal dari kata Rebana yang artinya Marhaban iman Islam
.. B berasal dari kata Baasun yang berarti pusaka keramat.
.. A berasal dari kata Adin yang artinya Agama yang merupakan aturan yang dibawa para rasul.
.. N berasal dari kata Nadom yang artinya menggembirakan sedemikian banyaknya.
.. G berasal dari kata Gusnun yang artinya tabuhan dan turun temurun.

Pada awalnya penabuhnya semua laki-laki dengan menyanyikan syair-syair / sholawat nabi, sambil dikuti oleh tabuhan alat tabuh yang bernama terbang.

2.. Seni Gemyung atau Terbang di daerah Lain

Seni gemyung sebenarnya bukan hanya tradisi yang ada di hariang saja, tetapi di daerah lain juga ada, seperti di Bandung, Kuningan, majalengka, subang dan sebagainya.

Di Bandung sejarah tentang seni ini  diungkapkan salah satunya oleh Maman Suharya dalam yang konon ia sendiri mewarisi turun temurun hal tersebut dari yang dinamakan dengan Eyang Suci. Maman mendapati kesenian tersebut dari ayahnya..

B..Perkembangan Seni Gemyung (Terbang) di Hariang

Seperti diungkap dari silsilah keturunan, bahwa Wangsawijaya sebagai pendiri Leumbur Hariang sangat erat kaitannya dengan silsilah nenek moyang pembawa kesenian ini, yaitu Syekh Nurjati atau Syekh Datuk Kahfi, melalui silsilah keturunan Raja Raja dan bupati Sumedang. Jadi kesenian Gemyung atau terbang seolah telah menjadi kesenian warisan nenek moyang dari leumbur Hariang itu sendiri.

Dengan kedatangan Ki Raksa Mayu sebagai ahli seni yang mumpuni di Hariang di era awal pendirian kampung ini seolah menjadikan perkembangan kesenian Gemyung atau Terbang ini berkembang pesat. Dan telah menjadikan kesenian asli atau tradisi dari leumbur Hariang secara turun temurun. Karena nantinya di era tahun 1706 hingga tahun 1709 ada suatu grup kesenian Gemyung (terbang) yang dinamakan perkumpulan Sekar Terbang Buhun. Yang menjadi lurahnya atau pemimpinnya adalah Aki Angga Waruling,

1.. Perkumpulan Sekar Terbang Buhun

Di tahun 1700-an telah ada sekelompok orang terkenal dalam seni gemyung / terbang ini, yaitu perkumpulan Sekar Terbang Buhun. Yang menjadi lurahnya atau pemimpinnya adalah Aki Angga Waruling, dan ahli sulingnya, adalah istrinya Nini Angga Waruling.  Yang menjadi Juru kawihnya / sinden adalah Nini Sarwalana, yang menjadi juru tari adalah Lenyang Kuning. Yang menjadi pembawa acara sekaligus keamanan seni adalah Kijagabaya. Sedang pnabuh gendang adalah Aki Buleuneung.
Ia mempunyai ketenaran diantara tahun 1706 hingga 1709 M. Tetapi setelah tahun 1709 M, ia ketenarannya sudah meluntur, sehingga ia kemudian menyingkir menyepi dan membuat tinggal di sekitar mata air Cilembang. Karena itu kadang Nini Sariwalana dan Aki Buleuneung selalu dikaitkan dengan mata air Cilembang. Sedang Lenyang kuning diabadikan dalam apa yang disebut dengan Lenyang kuning sekarang (daerah pangangonan) antara desaHariang dengan desa Wanajaya.

2.. Seni Gemyung Di Era Lebe Kamsu

Di  Era ki lebe kamsu (personil lainnya antara lain: ki katma, ki uca, mang ijan (kendang)), seni gemyung masih dalam bentuk aslinya, meskipun sudah ditambahkan kendang. Tetapi lagunya masih menunjukan aslinya, berupa syair-syair sholawat nabi atau  tentang keagamaan. 

Dan yang menarik lagi adalah yang ngigeulnya, kadang setelah tengah malam banyak yang kesurupan.Di era ini Sang kakek yang bernama Ojo Suwangga mempunyai keunikan dalam hal "ngigeul" nya.

3.. Seni Gemyung Tradisional Kombinasi di Era Abah Olin

Gbr. Seni Gemyung Tradisional / Kombinasi "Jayamukti Sekar Panggugah" Pimp. Aabah Olin
Di era Abah Olin, seni gemyung dikolaborasikan dengan seni ketuk tilu (tambahan gamelan), sehingga menjadi tontonan yang lebih menarik. Seni asli gemyung hanya diawalnya saja sebagai pembuka dan wajib dilaksanakan, dan seterusnya adalah kolaborasi gemyung dan ketuk tilu (ada sinden wanitanya), dan setelah tengah malam maka seni gemyung lebih dominan lagi.


Abah Olin adalah putra dari Ki Ojo Suwangga, dan Aki ojo ini merupakan keponakan dari Aki Lebe Kamsu. Abah Olin merasa prihatin dengan nasib gemyung yang tidak ada penerusnya, setelah era Ki Lebe Kamsu meninggal semua. Untuk tetap eksis, seni gemyung olehnya kemudian dikolaborasi dengan seni tradisional ketuk tilu, karena itu ia kemudian namakan Seni gemyung tradisional  kombinasi.

Abah Olin bersama rekan rekan sekampungnya kemudian mendirikan  perkumpulan seni gemyung yang dinamakan Seni Gemyung  tradisional / kombinasi ”Jayamukti Sekar Panggugah’” pimpinan Abah Olin sendiri, dengan alamat Dusun Curug Desa hariang, kecamatan Buahdua.


Karena kombinasi maka ia bekerja sama dengan seniman di luar hariang, terutama yang menyangkut dengan keahlian yang tidak dimiliki dikampungnya. Ia bekerja sama dengan seniman dari daerah sekitar hariang, diantaranya dengan seniman dari Cibitung, Cikeresek dan sudimampir, dan daerah lainnya. Personil gemyung penabuh terbang  aslinya hanya 6 orang, yaitu: Abah Olin itu sendiri, Bp Adid, Bp Rusdia, Bp. Momo, Bp. Hamim dan Bp. Wirdayat. Dan ditambah goong oleh Bp. Ace, (semuanya asal Hariang).  Dan tambahannya: tukang kendang Bp. Maman (asal Sudimampir dan Bp. Nana (asal Cibitung); tukang saron (2 orang semuanya asal Cibitung); suling Bp. Warma (asal sumber); Rebab/ Biola Bp.  uu  (asal cikeresek); Bonang  bp. Asta (asal Cibitung); Penerus (saron gede) (1 orang asal cibitung). Jadi totalnya 15 orang belum termasuk sinden.

Seni gemyung biasanya dipentaskan ketika ada sunatan, nikahan, atau acara-acara penting pemerintahan. Biasanya gemyung tersebut disiang hari atau dimalam hari. Jika dilaksanakan di malam hari biasanya semalam suntuk, setelah sholat Isa hingga subuh (sebelum sholat subuh). Dan kadang orang yang “ngigel-nya” kalau menjelang subuh biasanya banyak yang kesurupan. Makanya seni gemyung di hariang sering disebut juga dengan istilah terbang uyut.


by Adeng Lukmantara bin Abah Olin
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang - Sumedang

Sumber :
.. E. Sona dan Atnawi, Sejarah Desa Hariang, Agustus 2004
.. Suharya, Maman, Seni Terbang, Banceuy Bandung, Maret 2006
.. Wawancara Dengan Abah Olin 




Jumat, 05 September 2014

Membangun Alternatif Instalasi Sumber Air Bersih di Hariang

Hariang adalah surganya air, tetapi disinilah justru masyarakatnya kekurangan air. Air ke rumah-rumah tidak terlalu besar dari buntut beurit (ekor tikus). Karena  sumber air ledeng yang sekarang tidak memungkinkan untuk diperbesar, maka harus ada upaya lain atau alternatif lain untk menutupi kekurangan air tersebut.

Ada beberapa alternatif agar masyarakat mempunyai kebutuhan yang layak akan kebutuhan air. Karena hal ini harus dikaji dengan ketersediaan dana. “Ulah ngarawu ku siku” demikian suatu ungkapan yang sangat mendidik. Yang intinya jangan mau berbuat yang tidak sesuai dengan kemampuan kita. Kemampuan itu menyangkut dana atau kemampuan intelektual. Karena kalau dipaksakan dengan dana yang tidak mencukupi setidaknya akan menelan kekecewaan demi kekecewaan. Yang akhirnya bukan kesuksesan yang di dapat tetapi semuanya akan hilang. Hilangya dana karena tidak berhasil yang menuju kesia-siaan, dan yang sangat ditakutkan adalah hilangnya kepercayaan, sehingga mengakibatkan kehilangan harapan.

Ada beberapa alternatif penanganan dari kekuraangan air ini. Yaitu;
  •  Yang pertama kita harus memetakan mana daerah yang harus disuplai oleh aliran ledeng yang ada
  •   Yang kedua adalah memprioritaskan membuat alternatif-alternatif penyediaan air ke daerah yang dekat dengan sumber air. Sehingga sumber air ledeng yang sudah ada bisa dialhkan ke daerah yang masih kekurangan.
  •  Yang ketiga adalah jangka panjang, yaitu dengan membangun instalasi yang permanen dari sumber yang lebih besar, terutama dari mata air cilembang.
  •   Dari aternatif  tersebut diatas yang paling realistik adalah dengan membangun instalasi penyediaan air bersih ke daerah terdekat sumber air. Karena alernatif kedua (atau dari cilembang) telah mengalami kegagalan. Karena disamping membutuhkan biaya yang jauh lebih besar juga perlu penanganan dari yang lebih ahli. Diisamping sikap masyrarakat yang sudah skeptis alias kurang percaya terhadap pelaksanya.

1. Memetakan daerah yang mendapat sumber air ledeng existing & daerah yang akan mendapat sumber air alternatif

Tidak ada masalah yang terlalu sulit untuk dipecahkan jika kita mau mencari alternatif-alternatif pemecahan masalah. Sebagai aparat desa kita mendapat tugas untuk menyelesaikan masalah-masalah mendasar kebutuhan dasar masyarakatnya. Pembiaran terhadap masalah menunjukan tentang kwalitas kita dalam memimpin yang rendah.

Masalah air di hariang menyangkut masalah kepercayaan. Tetapi kita harus percaya bisa mengatasinya. Telah diungkapkan diatas, bahwa kita harus bisa memetakan masalah air tersebut. Yang pertama adalah mencari alternatif sumber air terdekat dan termurah, dan wilayah mana yang akan mendapat suplay. Jika hal ini bisa terlaksana berarti daerah yang akan disuplay oleh sumber air alternatif tidak membutuhkan lagi suplay air dari ledeng existing (ledeng yang ada sekarang), sehingga suplay ke rumah-rumah akan menjadi besar. Jadi tidak akan terjadi iri satu sama lain, karena kebutuhan air akan menjadi  lebih baik. Masyarakat harus bahu membahu, jangan iri terhadap daerah yang telah akan disuplay oleh sumber air baru, karena akan mendapat jatah air ledeng yang sudah ada akan menjadi lebih besar.

Jadi sebenarnya kita harus bisa berpikir praktis dalam menangani masalah air ini. Setelah kita memtakan masalah daerah yang disuplay oleh air ledeng nantinya, dan yang kedua kita harus menangani masalah yang kedua, yaitu mencari sumber sumber alternatif terdekat ke kampung.

2.  Membuat Instalasi ke daerah sumber air terdekat.

Alternatif yang memungkinkan dan biyya yang lebih murah untuk penyediaan air bersih adalah dengan membuat instalasi ke daerah terdekat dengan sumber mata air.  Dan alternatif ini bisa diujicoba pada masyarakat sekitar sawah kulon atau daerah sekitar RT 7 dan RT 8.  Karena di daerah ini terdapat sumber mata air yang dekat dengan perkampungan. Setidaknya ada 2 mata air yang bisa dimamfaatkan yaitu mata air cirani dan mata air ciurug.

a. Mata Air Cirani

Mata air  cirai biasannya mengalir di musim penghujan. Dimusim kemarau biasanya mata air disini tidak mengalir. Dan jika instalasi dibuat dimusim penghujan, maka alternatif pertama adalah dengan membangun instalasi pompa dari mata air ini. Jaraknya yang lebih dekat ke kampung membuat instalasi di daerah ini memungkinkan yang pertama kali harus digarap.

Jaraknya yang dekat ( hampir setengahnya dari mata air Ciurug) menjadikan alternatif pertama dalam membuat sumber alternatif. Dan mungkin hal-hal yang harus diselesaikan sebagai berikut:
  • Yang pertama adalah membebaskan lahan atau membeli lahan sumber tersebut oleh desa atau oleh kampung adat setempat
  •    Yang kedua adalah menghitung debit air per jam sehingga kita bisa memetakan berapa keluarga yang bisa disuplay oleh sistem ini
  •  Yang ketiga adalah merencanakan system instalasi
  • Yang keempat adalah menentukan  rencana anggaran biaya (RAB)


b. Mata Air Ciurug

Mata air Ciurug meskipun relatif lebih kecil tetapi selalu mengalir meskipun di musim kemarau. Jadi tetap harus dibuat untuk memenuhi kebutuhan dimusim kemarau. Dan instalasinya nantinya dibuat by-pass (sistem valve langsung) dengan airan yang berasal dari mata air Cirani, sehingga ada sinergi atau saling menguatkan. Sumber air bisa melimpah dimusim penghujan sedang dimusim kemarau air tetap mensuplay sesuai kebutuhan.

Dan untuk merealisasikan hal tersebut, penangannya hampir sama dengan yang dikerjakan mata air cirani., yaitu membebaskan lahan, menghitung debit air, merencanakan instalasi dan RAB (rencana anggaran biaya).

3. Merencanakan kembali Instalasi Dari Cilembang

Karena agak jauh dari kampung, dan juga kedalaman yang lebih besar, penanganan istalasi air dari cilembang harus ditata ulang. Setidaknya perlu keahlian khusus karena hal ini menyangkut dengan tekanan balik dari tekanan ketinggian. Kita mengetahui secara teori dengan kenaikan 10 meter maka tekanan akan bertambah 1 bar. Jadi jika ketinggian dari cilembang ke titik misal 100 meter, maka tekanan tolak dari air tersebut sebesar 10 bar. Jadi jika pompa yang dipakai dibawah 10 bar maka air tidak akan mengangkat atau setidaknya akan terjadi kerusakan pada pompa.

Karena hal tersebut diatas maka ada instalasi harusnya dipasang juga check valve yang berfungsi untuk menghindari tekanan balik.

(Lanjut....)

(By Adeng Lukmantara)

Hariang & Masalah Air

Hariang Tempo Dulu

Konon, mungkin Wangsa Wijaya mendirikan kampung Hariang tempo dulu dikarenakan sumber air yang melimpah. Betapa tidak setidaknya ada sekitar 7 sumber air yang berada atau dekat sekitar Harang sekarang. Dulu waktu saya masih kecil, Hariang dibelah oleh Sungai yang bernama Cimamut. Sungai Cimamut membelah hariang menjadi 2, yang sebelah barat (kulon) dinamakan hariang, sedang di sebelah timur kemudian terkenal dengan nama Tipar dan lebih ke selatan (kidul) Tonjong.

Jadi hariang sendiri telah dibelah oleh sungai Cimamut. Dan ketika saya masih SD sungai ini sangat pavorit untu di pakai renang. Di sebelau utara (kaler) ada air terjun atau Curug, makanya kampung dekat  air terjun terkenal dengan nama Curug.  Penulis sendiri termasuk dalam kampung Curug ini.  Disebelah barat tidak jauh dari hariang dan menjadi perbatasan dengan desa tetangga, kampung Cihayam. Yang dibatasi oleh sungai Cigarukgak. Perbatasan dengan dsa wanajaya juga ada sungai yang relatif besar yang menjadi muara sungai Cimamut dan sungai Cigarukgak, yaitu sungai Cikandung. Jadi sungai disekitar hariang saja sudah ada 3, yaitu Cimamut, cigarukgak dan Cikandung.  Hal ini belum sumber mata ar lainnya yang melimpah.

Tidak hanya sungai, di hariang sendiri terdapat 4 buah mata air, yaitu Cilembang (terbesar), Cilebak (dekat curug Cimamut), Ci Urug dan Ci Rani. Ketika masih kecil mata air itu mengalr dengan derasnya tanpa ada kekeringan. Jadi sesungghnya Hariang tempo adalah surga air, banyak alternatif mata air yang bisa digunakan, disamping air ledeng yang dialirkan dari daerah Cikurubuk atau Cilumping.

Dari sumber mata air f yang terissa yang sepanjang masa sebenarnya hanya Cilembang dan Ci urug. Cilembang adalah sumber air yang sangat besar, mata airnya melimpah, dan menjadi sumber mata air bagi desa di bawahnya, seperti desa Wanajaya dan lainya. Ci Urug adalah sumber mata air dari daerah yang tadinya longsor (urug) sehingga dinamakan ciurgug. Sedang Cirani hanya mengalir dimusim penghujan saja, dimusim kemarau cenderung tidak mengalir. Hal ini sama dengan Cilebak sekarang ini hanya dimusim penghuja saja mengalirnya.

Sungai Cimamut adalah sungai yang membelah kampung, sekarang sudah tidak mengalirkan air lagi sama sekali, dan hanya berfungsi sebagai selokan saja ketika hujan turun. Hal ini terjadi juga pada sungai Cigarukgak meskipun masih ada airnya tetapi sangat sedikit.

Hariang Sekarang & Sumber Air Alternatif

Sekarang hal ini menjadi lain. Hariang bukan saja daerah yang susah air. Air yang ke rumah-rumah merupakan selang-selang sebesar “buntut beurit (ekor tikus)”, hal ini untuk menjelaskan begitu sedikitnya air yang didapat ke rumah-rumah mereka. Hal ini terasa jika hari liburan lebaran atau kedatagan banyak tamu. Air yang penuh dimalam hari habis dalam sekejap dipagi hari dan menunggu 1 hari penuh untuk mengisi kembali.

Sebenarnya Hariang masih kaya akan air, jika mengusahakannya. Pembatasan dari sumber air utama (sumber ledeng) di Cilumping/ Cikurubuk, menjadikan orang hariang tidak bisa menambah kuota, untuk saluran air yang lebih besar. Mengharapkan pemberian jatah dari kampung lain merupakan hal yang sia-sia. Apalagi sekarang mata air tersebut sudah berubah menjadi kolam renang. Jadi kebutuhan untuk daerahnya sendiri juga mungkin dianggap kurang. Jadi satu-satunya jalan adalah membuat alternatif memamfaatkan sumber yang ada yang kita punya.

Sebenarnya tidaklah susah untuk mengalirkan air dari manapun juga, hal ini tergantung kemauan dan juga dananya. Disamping itu pengerjaan oleh kaum profesional juga harus menjadi hal yang diuatamakan. Karena biaya yang sudah dikeluarkan begitu besar akan sia-sia belaka. Dan yang terutama dari itu adalah kepercayaan. Jika kepercayaan dari masyarakat tidak ada , karena sudah demikian kecewa. Maka sangat susahlah untuk mengembalikan kepercayaan ini. Karena masyarakat yang sudah skeptis, sangat sulit untuk mempercayai juga.


Jangan menyerah, mungkin kata itu yang harus kita pegang. Karena dengan cepat menyerah berarti kita kalah. Sebenarnya masih ada harapan untuk hal  tersebut. Yang menjadi masalah adalah kita harus menyerahkan kepada yang ahlinya. Bukan hanya karena kita seorang pengurus desa sehingga kita seolah paling menguasai. Jadi hal ini perlu diperbincangkan dulu, perlu dikonsultasikan dulu dengan ahlinya.

(By Adeng lukmantara)

Kamis, 04 September 2014

Mencita-citakan Hariang Menjadi Masyarakat Yang Agamis & Menjadi Pusat Intelektual & Kebudayaan yang Kreatif

Dulu ketika saya masih SD atau masih SMP kelas 1, atau sebelum tahun 1984, masyarakat di Hariang terkenal sangat agamis. Banyak orang tua yang meyuruh anak-anaknya belajar ngaji, terutama pada seorang guru ngaji, yang bernama Ki haji Sadeli. Seolah persahabatan bermuara ke sana, sama-sama pernah ngaji di Ki Haji sadeli ini. Tidak hanya itu, kegiatan keagamaan juga berkembang dalam bentuk yang lebih formal, berupa sekolah madrasah yang dikembangkan oleh Ibu Iwik. Jadi berkat kedua orang tersebut sebenarnya masyarakat Hariang sudah terarah, setidaknya dengan bekal sedikit pengetahuan keagamaan. Dan bidang keagamaan mulai pudar setelah Ki haji Sadeli meninggal. Dan yang masih berada adalah model madrasah yang dipelopori oleh ibu Iwik.

Ki sadeli adalah seorang tokoh agama, pengajar yang tegas dan sangat dihormati. Meskipun ia bukan asli orang hariang (istrinya beasal dari hariang), da berasal dari Cileunyi, Bandung. Tetapi ia sangat disegani dan sangat dihormati karena peran dan jasanya. Setelah meninggalnya Ki Haji Sadeli, seolah tidak ada lagi pusat keagamaan, terutama berbasis tradisional (ngaji). Seolah tidak ada lagi yang sebanding dengannya. Ia termasuk yang hapal Al Qur’an. Kalau mengajar ngaji yang sudah senior, dia hanya mendengarkan lalu mengoreksi kalau ada yang salah. Karena keilmuan inilah ia sangat disegani di desa Hariang. Jadi tidak ada yang sepadan dengannya. Ada juga anak didiknya yang mencoba membuka pengajian, tetapi tidak sesukses dirinya.

Kehidupan masyarakatnya juga relatif sangat agamis. Dikala itu tidak pernah ada yang berani mabuk-mabukan. Karena sekali saja mempertotonkan kejelekan maka masyarakat akan dengan jelas dan tegas menghukumi dengan sangsi mengucilkan dari pergaulan masyarakat kebanyakan. Sehingga kala itu seolah masyarakat dengan tentramnya menjalani kehidupan. Disana sini jarang terdengar kemalingan atau sesuatu yang berhubungan dengan kejahatan. Jika panen masyarakat tetap aman meskipun meninggalkan ditempat yang jauh. Atau hampir semua kandang binatang, seperti sapi, kambng dan juga  ayam biasanya jauh dari perkampngan. Yang ada waktu itu hanyalah kenakalan anak-anak kampung yang lugu, seperti melempar buah –buahan di jalanan, itupun masih dalam koridor sebagai kenakalan anak-anak biasa.

Di lain sisi urbanisasi ke jakarta besar-besaran terutama dalam bidang buruh bangunan, tukang dan lainnya, membuat dampak yang kadang berlawanan dengan tradisi yang sudah demikian kuat. Para urban itu tidak hanya membawa perubahan ekonomi, karena terkesan gagah dan mentereng, karena kekayaannya yang mulai berubah. Tetapi membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat yang sudah religi ini.

Ketika pulang ke kampung mereka tidak hanya memamerkan kekayaan hasil perantaunya tetapi membawa kebiasaan negatif kota yang berupa mabuk-mabukan. Dan setelah era tahun 1984-an, masyarakat sudah mulai terbiasa dengan orang mabuk-mabukan. Dan yang sangat berpengaruh terhadap budaya skeptis ketika budaya mabuk-mabukan ini merambah pada anak-anak yang dulunya sangat dihormati di kampung, terutama anak anak guru, atau anak anak orang kaya. Terutama adalah anak anak guru. Dimana dulunya mereka sangat menghormati bapaknya, karena ketokohannya, karena jasanya. Sekarang harus menerima realitas bahwa justru anak-anak guru dan orang kaya lah yang mengembangkan udaya baru di dunia anak-anak desa, yaitu mabuk-mabukan.

Dulu para orang tua dengan sangat mudahnya melarang anaknya atau anak orang lain jika berbuat suatu kesalahan atau jauh dari norma kemasyarakatan. Karena biasanya yang melakukan hal demikian adalah orang-orang yang kepepet, baik secara ekonomi atau memang sangat membutuhkan atau lapar. Dan biasanya kesalahan dilakukan oleh orang-orang yang secara ekonomi memang kekurangan.

Tetapi perubahan besar telah terjadi, ketika mabuk-mabukan mulai menjadi kebiasaan yangdilakukan oleh anak-anak yang selama ini di hormatinya. Dulunya jarang sekali ada hewan peliharaan yang hilang, seperti ayam dan sebagainya. Dan ketika dunia mabuk-mabukan seolah menjadi budaya, binatang peliharaan, mulai banyak yang hilang, hal ini mungkin untuk mebiayai mabuk-mabukan tersebut. Dan laporan ke masyarakat katanya dilakukan oleh anak ini anak itu Dan disnilah masyarakat mulai tidak berani menegur karena dilakukan oleh anak-anak orang-orang yang disegani, yaitu anak orag-orang maapan dan juga guru, dimana bapak-bapak mereka sangat dihormati. Dan hal ini ternyata tidak hanya terjadi di desa ini saja, tetapi virus ini mulai menyebar ke mana-mana.

Dan sangat beruntung, ketika dunia samar-samar ini dalam kebangkitannya. Di desa ini mulai ada sekolah SMP. Sekolah ini berdiri tahun 1983, dan penulis termasuk angkatan yang pertama di sekolah ini. Dan suatu rekor, ada sekitar 22 orang kampung ini masuk sekolah SMP, suatu tradisi baru menyekolahkan anak-anaknya mulai bangkit di kampung ini. Meskipun terjadi transisi kebudayaan, justru disinilah lahir juga penentang-penentang budaya baru tersebut. Yang tetap bersiteguh tidak mau ikut-ikutan dalam budaya mabuk-mabukan yang mulai bangkit juga di kalangan anak sekolah.

Dengan berjalannya waktu, orang-orang yang tidak pernah mau ikutan terhadap budaya baru tersebut mulai menemukan tempatnya, dan relatif agak sukses dan mulai mendapat tempatnya di masayarakat, terutama di luar daerahnya. Karena kebanyakan mereka juga termasuk kaum urban, yang merantau ke kota-kota besar.
Dan sekarang ini, di era tahun 2014, meskipun masih ada yang melakukan budaya tersebut, kelihatannya mulai tersisih. Dan dengan masih ada tokoh anak orang kaya, seolah masih menjadi keengganan masyarakat untuk menegurnya. Sikap skeptis masyarakat seolah telah melakukan pembiaran.

Kesadaran masyarakat memang harus mulai dibangkitkan lagi, terutama untuk membangun desanya. Tidak akan ada orang yang peduli terhadap desanya jika memang kita tidak pernah peduli. Sikap skeptis, atau tidak peduli harus mulai dihilangkan. Dan budaya budaya yang tidak perlu memang harus segera ditinggalkan. Terutama menjelang otonomisasi dan penguatan desa di era tahun 2015, dimana telah disyahkan undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa, yang mulai berlaku tahun 2015. Dengan bantuan dana 1 milyar 1 tahun, suatu dana yang sangat besar, jika masyarakatnya tidak terlalu kreatif dan peduli, uang itu akan menguap begitu saja.

Saya teringat akan masa kecil dulu. Kakek saya masih punya kolam besar disamping rumahnya, dan hal ini juga dipunyai oleh masyarakat lainnya. Air mengalir dengan besarnya. Sekarang air menjadi masalah terbesar dari desa ini yang harus segera dipecahkan. Air mengalir sebesar “buntut beurit”, demikian masyarakat menyebut sedmikian kecilnya.  Membiarkan kekurangan bukan hal yang harus di terlantarkan, harus ada upaya-upaya untuk memecahkan masalah ini.

Saya juga teringat di masa itu saya begitu kagumnya melihat Pa Ili yang pandai membuat wayang. Sehingga saya sering melihat lama-lama karena begitu takjubnya. Dan sekarang ini konon sekarang ini juga sudah ada penerusnya, tetapi belum dikembangkan menjadi suatu produk yang kreatif.

Jadi mudah mudahan dengan tulisan ini kita mulai bisa membangkitkan semangat baru lagi untuk membangun desanya sendiri. Sudah saatnya kita menghilangkan ungkapan “Sok keureut ceuli aing lamun cai bisa ngalir geude ka kampung ieu.” Suatu ungkapan yang sebenarnya karena jengkelnya dan marahnya dia karena terlalu banyak dibohongi oleh aparatnya. Jadi dengan adanya UU no 6 tahun 2014, dengan dana yang begitu besar, mudah-mudahan kepercayaan terhadap aparat desa mulai pulih dan mudah-mudahan para aparatnya juga bisa membuktikan keseriusan dalam menangani hal tersebut.

Tiada gading yang tak retak. Menyalahkan satu sama lain bukan hal penyelesaian yang terbaik. Ada upaya upaya komfromi untk menyelesaikan berbagai persoalan. Mudah mudahan hal itu bisa terlaksana dengan baik, sehingga masyarakat hariang menjadi masyarakat yang kreatif, sehingga kesejahteraan akan semakin dekat mata, dan bukan hanya pelipur lara yang selamanya menderita.

Saya termasuk orang yang mendambakan Hariang seperti dulu, dimana sumber air mengalir dimana-mana, kolam ikan samping rumah, masyarakatnya agamis, tidak ada yang mabuk-mabukan,  kebudayaannya maju dan lain sebagainya. Yang intinya mulai dibangkitkan lagi ciri desa hariang, sebagai pusat agama, pusat intelektual dan kebudayaan, terutama kesenian dan kerajinan. Bukan tempat dimana orang mabuk-mabukan seperti waktu kecil saya dulu.

 
                                                       gbr. Sawah Kidul                                                  Gbr. Sawah Kulon

  
 Gbr. Cilembang
  
  
Gbr. jalan ke desa Wanajaya

Jika kita menelusuri pendirinya, Hariang didirikan oleh Wangsa Wijaya, putra bupati bandung pertama, istrinya juga berasal dari anak Pangeran panembahan rangga Gempol III, bupati Sumedang. Dimana disini juga terdapat sesepuh yang sangat dihormati oleh para karuhun atau leluhur sunda, yaitu Mbah Guriang, di samping Demang Surya Wacana, tokoh yang sangat dihormati. Disamping itu dizamannya juga ada syekh Arab yang mengajarkan ilmu agama dan juga Ki  Raksa Mayu ahli kesenian yang handal. Jadi dari sejarahnya, Hariang memang sangat sempurna, sebagai pusat intelektual, pusat agama dan pusat kebudayaan.

Salam sukses bagi orang yang peduli terhadap desanya.


(By. Adeng Lukmantara)

Senin, 01 September 2014

Momen Kumpul Teman Ex, Angkatan Pertama SMPN Hariang

a. Pertemuan di Liburan Lebaran  tahun 2012

Pada awalnya acara tidak disengaja pada Libur Lebaran tahun 2012, pergi ke daerah desa Wanajaya (Pari /Bobos), diajak Bpk Eman Geleyeng, yang katanya akan botram (makan bersama) di  Sungai Cikandung, yang kebetulan berada di perbatasan Desa Hariang dan Desa Wanajaya. Bp. Eman dulunya sring disebut Si Geuleuyeung, karena kalau jalan ngageuleuyeung wae. siga  jukung dina cai ngalir.

Sebelum itu, kami berdua mencoba jalan-jalan ke Pari dan Bobos. Pada awalnya sambil mau melihat ke rumah almarhum Aki dan Nini yang  ada di Pari, dan kebetulan rumahnya bersebelahan dengan teman  satu angkatan di SMP, yang bernama Bpk. Saefudin, yang  dulu kadang disebut Si Sade. Sebelumnya bertemu dulu dengan Bp. Wawan, yang dulunya lumayan ganteung. Dan kebetulan disana juga ada Bp. Dindin, yang sedang ngaheurap (ngail ikan), yang kebetulan kolamnya bersampingan dengan rumah Bp. Wawan. Disinii kemudian ngobrol berempat di buruan rumah Bp. Wawan, mgobrol "ngaler ngidul". Dan setelah itu kemudian pergi ke Ibu  Lia untuk undangan perkawinan anak sulungnya Meskipun belum acara hari H.  Si ibu Lia in dulunya meskipun agak hitam tetapi manis, makanya diperebutkan oleh beberapa orang yang saling bersaing.

Gbr. Foto Makan bersama di Rumah Bu Lia di Bobos

Di rumah Ibu Lia baru ngobrol sebentar, ada telepon dari Bp. Uyat, katanya kamu jangan ke mana-mana saya mau ketemu kamu. Kamu tunggu saja di sana pokoknya saya mau bertemu, demikian bapak Uyat berkata. Bp. Uyat dulu terkenal degan nama Ebah. Saya tidak pernah mengetahui apa dan mengapa di sebut Ebah. Setelah datang bp.  Ebah ini ngobrol tambah rame. Pada awalnya kami juga mengundang rekan-rekan yang ada di Pari untuk berkumpul di rumah Bu Lia, tetapi tidak ada yang datang. Dan yang datang teman yang dekat dengan runah  ibu Lia yang bernama Duduy, yag mempunyai hoby memelihara ayam bangkok. Serasa kurang kemudian menghubungi Kuwu (Lurah) Wawan atau nama aslinya Gunawan, yabg menjadi lurah di Desa Wanasari.

Tidak begitu lama ada telepun dari Bp.Cucu Erus, dari Sumedang, yang meminta kami jangan kemana-mana dan tunggu katanya, Pada awalnya kita mengira ia pergi dari Cikurubuk, keluarga orang tuanya. Ternyata ia berangkat dari Sumedang/ Tidak begitu lama, datanglah Bpk. Cucu. Setelah 26 tahun tidak bertemu dan sudah banyak perubaham, Semua dari kami tidak ada yang mengenalinya, Ia dengan sopannya permisi, Karena tidak ada yang mengenali, dan tuan rumah ada di dalam rumah, maka dari semua yang ada di luar mempersilahkan untuk masuk ke dalam rumah, Semua orang mempunyai persepsi yang berbeda tentang bapak cucu ini, Dari kelakarnya ketika memperkenalkan diri, teman-teman ada yang nyeletuk berbicara " sugan teh maneh teh rek nagih hutang,"

Itulah sepenggal cerita tentang begitu lamanya tidak bertemu. Bahkan sebelumnya banyak teman-teman yang tidak mengenal Ibu Lia pada awalnya.  Dan karena saya harus pergi lagi ke Surabaya jam 5 sore, maka kami juga pamitan sekitar jam 12 siang. 2 Jam pertemuan dengan teman-teman sungguh sangat bermakna. Perjalanan jauh ke belakang, justru bertemu ketika rambut mulai beruban. Jadi Jika menarik ulur waktu perpisahan, dengan teman-teman berarti jika lulus di tahun 1986 dan bertemu ditahun 2012, maka rentang waktu 26 tahun, menjadikan orang tidak mengenali satu sama lain,


b, Pertemuan :Liburan Lebaran Tahun 2013

Pertemuan liburan Lebaran tahun 2013 berlangsung di rumah Ibu Ecin Kuraesin di Salam, Rencananya hanya ingin kumpul bersama dengan teman-teman sambil mancing, Dan karena yang punya kolam adalah Ibu Ecin, makanya kita meminta rumah ibu ecin ini dijadikan tempat pertemuan.

Gbr. Foto Di Rumah Bu Ecin di Salam

Gbr. Foto di Rumah Bu Ecin di Salam

Dalam pertemuan ini berkumpul sekitar 13 orang, diantaranya: Bp Uyat Ebah. Saya sendiri, Bp Cucu Erus, Bp, Yoo Sukarya, bp, Adang Wigana (lurah citaleus), Bp, Wawan, Bp, dadan, bp Satia,. tuan rumah ibu Ecin. Ibu Enok, ibu Lia dan Ibu Yayat,

Setelah pertemuan, ini, salah seorang teman menelepon, kok tidak mengajak saya, katanya. Orang yang menelepon itu bernama Bp, Totoy. Ia berkata, pokoknya besok jangan ke mana-mana saya mau ke rumahmu, Dan juga ada telepon dari Bp, Ahya yang berkata ingin sekali bertemu. Dan pertemuan di rumah terlaksana sekitar jam 2-an. Mula mula yang datang adalah Bp. Totoy, kemudian Bp, Ahya, Di rumah selain saya, ada juga teman seangkatan yang keberulan menjadi adik ipar, yaitu Bp. Iman Nurdin, Dan untuk memeriahkan suasana saya juga mengundang teman yang rumahnya dekat, yaitu Bp. Endang. Bp. endang ini dulunya terkenal dengan nama si boled.

Menarik tentang Bp Endang ini,  Dulu ketika masih di SMP, karena sering  mengadakan acara  "metis" atau rujakan, Dan kebetulan Bp, Endang ini suka bawa boled atau hui (ubi jalar). Karena ubi itu ada yang besar, menyerupai kepala, dan kebetulan Bp Endang ini berperawakan besar sehingga kepalanya juga agak besar. sehingga kata si eman kamu ini seperti boled, maka dari itu terkenal dengan nama Boled, Dan yang membuat terkenal adalah adik penuls yang bernama Ganda, ketika mencari saya ke rumah endang ini, Kebetulan yang menerima ibunya, kata adik saya, "Bu aya boled" (Bu ada Boled), Sang ibu menjawab:: Teu aya jang di dieu ah da teu ngajual boled" (Tidak ada nak, disini nggak jualan ubi jalar). Pada awalnya tidak nyambung tetapi karena berkali kali maka ibunya mengerti bahwa boled itu nama lain dari anaknya yang diberikan teman-temannya, Mulai saat itu terkenalah Bp Endang ini dengan nama Boled.

Maka berkumpulan 5 orang rekan seangkatan saya sendiri, Bp. Totoy, Bp. Ahya, Bp. Endang, Bp. Iman. Dan ada cerita lucu dari  pertemuan di rumah ini. Cerita dari Bp Ahya dan Bp. Iman yang selumnya sudah bertemu di malam harinya. Tetapi stu sama lain tidak saling menyapa, Bp, Ahya beranggapan bahwa bp. iman itu adalah kakanya, sedang Bp. Iman menganggap bahwa Bp. Ahya sombong karena tidak menyapanya. dan ketika bertemu di rumah semuanya kaget. Padahal keduanya dulu terkenal sebagai sahabat yang akra sekali. Waktu yyang lama tidak berjumpa  lebih dari 20 tahun menjadikan satu sama lain tidak mengenalinya, padahal 1 kampung, dan rumahnya tidak begitu jauh.

c. Pertemuan :Liburan Lebaran Tahun 2014

Pertemuan liburan lebaran tahun 2014 diadakan di rumah Ibu Ecin. Pertemuan ini juga dihadiri oleh 12 orang, diantaranya: Saya sendiri, Bp. Uyat, Bp. Yoyo Sukarya, Bp. Totoy, Bp. Satia, Bpk. Iman Nurdin, Bp. Cucu Erus, Ibu Ecin, ibu Enok, Ibu Yayan, Ibu Yayat, Ibu Edah.

Kebetulan acara hari itu banyak bentrok dengan acara teman-teman yang lainnya, sehingga tidak bisa mengadiri pertemuan ini. Ibu Lia yang terkenal kocak ada acara yang bersamaan, sehingga tidak hadir. Bp. dadan karena tidak bisa meninggalkan hobinya "mancing" juga tidak bisa hadir. Bp. Adang Wigana juga nggak bisa hadir, Bp. Karma, Bp. Suherman dan bp. Ahya yang diundang juga tidak bisa hadir, karena ada acara dengan keluarga besarnya.

Gbr. Foto Foto di Rumah Bu Ecin di Salam

Dan yang menjadi spesial pertemuan itu karena adanya pendatang baru, yang kebetulan nomor teleponnya sudah ada. Yaitu bp. Totoy, Ibu yayan, Bp. Iman Nurdin dan Ibu Edah. Jika di tahun sebelumnya yang cukup meramaikan adalah ibu Lia, yang banyak berkisah. Di pertemuan ini yang meramaikan suasana adalah Ibu Edah. Memang wanita adalah seribu misteri, selalu banyak kisah dan cerita yang membuat perut terpinkal-pingkal. Karena ada tamu, ibu Edah  meniggalkan tempat. Tetapi rupanya karena kerinduan terhadap rekan-rekan, besoknya ia mengundang teman temannya tersebut untuk datang ke rumahnya. Di Salam sebenarnya keingainan untuk mengundang rekan rekan lainnya, terutama yang rumahnya ada di Salam, seperti Bp. Ema dan Bp. Warya. Kebetulan Bp. Ema tidak pulang kampung, sedang Bp. Warya tidak ada yang mempunyai nomor HP-nya.

                                                          Gbr. Foto Foto di Rumah Bu Edah di Hariang Tongoh

Gbr. Foto Foto di Rumah Bu Edah di Hariang Tongoh

Besoknya, karena undangan dari Ibu Edah, maka rekan-rekan juga menyempatkan hadir ke rumahnya di hariang Tongoh, dantaranya: saya sendiri, Bp. Uyat, Bp. Yoyo Sukarya, Bp. Totoy, Bp. Cucu Erus, Ibu Ecin, Ibu Edah, dan  Ibu Lia. Kedatangan Ibu Lia membaawa suasana lebih meriah. disini, kita mencoba mengundang rekan yang ada di hariang Tongoh, yaitu Bp. Ade Sastra. Lama tidak pernah bertemu, mungkin kalau bertemu di jalan, tidak akan menyapa. Demikian ketika bertemu dengan bapak Ade Sastra. Dan besoknya  dengan rekan rekan berkunjung ke rumah Ibu Lia, sekalian undangan ke Bp. Dindin, yang sedang nyunatan anaknya.

e. Harapan ke Depan

Sebenarnya pertemuan dengan teman-teman lama, disamping silaturahmi, juga mudah-mudahan ke depan ada mamfaatnya. Dan mudah-mudahan sebagai langkah awal dalam menyatukan alumni angkatan pertama SMPN Hariang untuk berperan aktif terhadap almamaternya. Meskipun tema-tema pertemuan belum mengarah ke sana, karena mungkin baru pada upaya-upaya mencoba mempertemukan alumni, karena hingga kinipun belum ada komunikasi diantara alumni yang lainnya.

Dan harapan ke depan mudah-mudahan yang lainnya ikut serta, minimal sudah ada komunikasi antar telepon. Setidaknya hampir lebih 25 tahun tidak bertemu, kadang nama saja sudah lupa, apalagi wajahnya. Dan mudah  mudahan jika ada yang membaca artikel ini, ada yang memberikan info tentang keberadaan rekan-rekan. Banyak sekali teman-teman yang hingga kini belum pernah berjumpa, diantaranya: Aja sarja (pasir ipis), Wrya (salam), Sudaya (Wanasari), dan Taryana. enjang  (Citunggul). dan lain lain.

Dan mudah mudahan untuk liburan lebaran tahun depan sdah bisa mengarah pada upaya-upaya untuk ikut serta dalam memajukan almaternya.

(By Adeng Lukmantara)