Dulu ketika saya masih SD atau
masih SMP kelas 1, atau sebelum tahun 1984, masyarakat di Hariang terkenal
sangat agamis. Banyak orang tua yang meyuruh anak-anaknya belajar ngaji,
terutama pada seorang guru ngaji, yang bernama Ki haji Sadeli. Seolah persahabatan
bermuara ke sana, sama-sama pernah ngaji di Ki Haji sadeli ini. Tidak hanya
itu, kegiatan keagamaan juga berkembang dalam bentuk yang lebih formal, berupa
sekolah madrasah yang dikembangkan oleh Ibu Iwik. Jadi berkat kedua orang
tersebut sebenarnya masyarakat Hariang sudah terarah, setidaknya dengan bekal
sedikit pengetahuan keagamaan. Dan bidang keagamaan mulai pudar setelah Ki haji
Sadeli meninggal. Dan yang masih berada adalah
model madrasah yang dipelopori oleh ibu Iwik.
Ki sadeli adalah seorang tokoh
agama, pengajar yang tegas dan sangat dihormati. Meskipun ia bukan asli orang
hariang (istrinya beasal dari hariang), da berasal dari Cileunyi, Bandung.
Tetapi ia sangat disegani dan sangat dihormati karena peran dan jasanya. Setelah
meninggalnya Ki Haji Sadeli, seolah tidak ada lagi pusat keagamaan, terutama
berbasis tradisional (ngaji). Seolah tidak ada lagi yang sebanding dengannya.
Ia termasuk yang hapal Al Qur’an. Kalau mengajar ngaji yang sudah senior, dia
hanya mendengarkan lalu mengoreksi kalau ada yang salah. Karena keilmuan inilah
ia sangat disegani di desa Hariang. Jadi tidak ada yang sepadan dengannya. Ada
juga anak didiknya yang mencoba membuka pengajian, tetapi tidak sesukses
dirinya.
Kehidupan masyarakatnya juga
relatif sangat agamis. Dikala itu tidak pernah ada yang berani
mabuk-mabukan. Karena sekali saja mempertotonkan kejelekan maka masyarakat
akan dengan jelas dan tegas menghukumi dengan sangsi mengucilkan dari pergaulan
masyarakat kebanyakan. Sehingga kala itu seolah masyarakat dengan tentramnya
menjalani kehidupan. Disana sini jarang terdengar kemalingan atau sesuatu yang
berhubungan dengan kejahatan. Jika panen masyarakat tetap aman meskipun
meninggalkan ditempat yang jauh. Atau hampir semua kandang binatang, seperti
sapi, kambng dan juga ayam biasanya jauh
dari perkampngan. Yang ada waktu itu hanyalah kenakalan anak-anak kampung yang
lugu, seperti melempar buah –buahan di jalanan, itupun masih dalam koridor
sebagai kenakalan anak-anak biasa.
Di lain sisi urbanisasi ke
jakarta besar-besaran terutama dalam bidang buruh bangunan, tukang dan lainnya,
membuat dampak yang kadang berlawanan dengan tradisi yang sudah demikian kuat.
Para urban itu tidak hanya membawa perubahan ekonomi, karena terkesan gagah dan
mentereng, karena kekayaannya yang mulai berubah. Tetapi membawa dampak negatif
bagi kehidupan masyarakat yang sudah religi ini.
Ketika pulang ke kampung mereka
tidak hanya memamerkan kekayaan hasil perantaunya tetapi membawa kebiasaan
negatif kota yang berupa mabuk-mabukan. Dan setelah era tahun 1984-an,
masyarakat sudah mulai terbiasa dengan orang mabuk-mabukan. Dan yang sangat berpengaruh
terhadap budaya skeptis ketika budaya mabuk-mabukan ini merambah pada anak-anak
yang dulunya sangat dihormati di kampung, terutama anak anak guru, atau anak
anak orang kaya. Terutama adalah anak anak guru. Dimana dulunya mereka sangat
menghormati bapaknya, karena ketokohannya, karena jasanya. Sekarang harus
menerima realitas bahwa justru anak-anak guru dan orang kaya lah yang
mengembangkan udaya baru di dunia anak-anak desa, yaitu mabuk-mabukan.
Dulu para orang tua dengan sangat
mudahnya melarang anaknya atau anak orang lain jika berbuat suatu kesalahan
atau jauh dari norma kemasyarakatan. Karena biasanya yang melakukan hal
demikian adalah orang-orang yang kepepet, baik secara ekonomi atau memang sangat
membutuhkan atau lapar. Dan biasanya kesalahan dilakukan oleh orang-orang yang
secara ekonomi memang kekurangan.
Tetapi perubahan besar telah
terjadi, ketika mabuk-mabukan mulai menjadi kebiasaan yangdilakukan oleh
anak-anak yang selama ini di hormatinya. Dulunya jarang sekali ada hewan
peliharaan yang hilang, seperti ayam dan sebagainya. Dan ketika dunia mabuk-mabukan
seolah menjadi budaya, binatang peliharaan, mulai banyak yang hilang, hal ini
mungkin untuk mebiayai mabuk-mabukan tersebut. Dan laporan ke masyarakat
katanya dilakukan oleh anak ini anak itu Dan disnilah masyarakat mulai tidak
berani menegur karena dilakukan oleh anak-anak orang-orang yang disegani, yaitu
anak orag-orang maapan dan juga guru, dimana bapak-bapak mereka sangat
dihormati. Dan hal ini ternyata tidak hanya terjadi di desa ini saja, tetapi
virus ini mulai menyebar ke mana-mana.
Dan sangat beruntung, ketika dunia
samar-samar ini dalam kebangkitannya. Di desa ini mulai ada sekolah SMP.
Sekolah ini berdiri tahun 1983, dan penulis termasuk angkatan yang pertama di
sekolah ini. Dan suatu rekor, ada sekitar 22 orang kampung ini masuk sekolah
SMP, suatu tradisi baru menyekolahkan anak-anaknya mulai bangkit di kampung ini.
Meskipun terjadi transisi kebudayaan, justru disinilah lahir juga
penentang-penentang budaya baru tersebut. Yang tetap bersiteguh tidak mau
ikut-ikutan dalam budaya mabuk-mabukan yang mulai bangkit juga di kalangan anak
sekolah.
Dengan berjalannya waktu,
orang-orang yang tidak pernah mau ikutan terhadap budaya baru tersebut mulai menemukan
tempatnya, dan relatif agak sukses dan mulai mendapat tempatnya di masayarakat,
terutama di luar daerahnya. Karena kebanyakan mereka juga termasuk kaum urban,
yang merantau ke kota-kota besar.
Dan sekarang ini, di era tahun
2014, meskipun masih ada yang melakukan budaya tersebut, kelihatannya mulai
tersisih. Dan dengan masih ada tokoh anak orang kaya, seolah masih menjadi
keengganan masyarakat untuk menegurnya. Sikap skeptis masyarakat seolah telah
melakukan pembiaran.
Kesadaran masyarakat memang harus
mulai dibangkitkan lagi, terutama untuk membangun desanya. Tidak akan ada orang
yang peduli terhadap desanya jika memang kita tidak pernah peduli. Sikap
skeptis, atau tidak peduli harus mulai dihilangkan. Dan budaya budaya yang
tidak perlu memang harus segera ditinggalkan. Terutama menjelang otonomisasi dan
penguatan desa di era tahun 2015, dimana telah disyahkan undang-undang nomor 6
tahun 2014 tentang desa, yang mulai berlaku tahun 2015. Dengan bantuan dana 1
milyar 1 tahun, suatu dana yang sangat besar, jika masyarakatnya tidak terlalu
kreatif dan peduli, uang itu akan menguap begitu saja.
Saya teringat akan masa kecil
dulu. Kakek saya masih punya kolam besar disamping rumahnya, dan hal ini juga
dipunyai oleh masyarakat lainnya. Air mengalir dengan besarnya. Sekarang air
menjadi masalah terbesar dari desa ini yang harus segera dipecahkan. Air
mengalir sebesar “buntut beurit”, demikian masyarakat menyebut sedmikian
kecilnya. Membiarkan kekurangan bukan
hal yang harus di terlantarkan, harus ada upaya-upaya untuk memecahkan masalah
ini.
Saya juga teringat di masa itu saya
begitu kagumnya melihat Pa Ili yang pandai membuat wayang. Sehingga saya sering
melihat lama-lama karena begitu takjubnya. Dan sekarang ini konon sekarang ini
juga sudah ada penerusnya, tetapi belum dikembangkan menjadi suatu produk yang
kreatif.
Jadi mudah mudahan dengan tulisan
ini kita mulai bisa membangkitkan semangat baru lagi untuk membangun desanya
sendiri. Sudah saatnya kita menghilangkan ungkapan “Sok keureut ceuli aing
lamun cai bisa ngalir geude ka kampung ieu.” Suatu ungkapan yang sebenarnya
karena jengkelnya dan marahnya dia karena terlalu banyak dibohongi oleh
aparatnya. Jadi dengan adanya UU no 6 tahun 2014, dengan dana yang begitu
besar, mudah-mudahan kepercayaan terhadap aparat desa mulai pulih dan
mudah-mudahan para aparatnya juga bisa membuktikan keseriusan dalam menangani hal
tersebut.
Tiada gading yang tak retak.
Menyalahkan satu sama lain bukan hal penyelesaian yang terbaik. Ada upaya upaya
komfromi untk menyelesaikan berbagai persoalan. Mudah mudahan hal itu bisa
terlaksana dengan baik, sehingga masyarakat hariang menjadi masyarakat yang
kreatif, sehingga kesejahteraan akan semakin dekat mata, dan bukan hanya
pelipur lara yang selamanya menderita.
Saya termasuk orang yang
mendambakan Hariang seperti dulu, dimana sumber air mengalir dimana-mana, kolam
ikan samping rumah, masyarakatnya agamis, tidak ada yang mabuk-mabukan, kebudayaannya maju dan lain sebagainya. Yang intinya
mulai dibangkitkan lagi ciri desa hariang, sebagai pusat agama, pusat
intelektual dan kebudayaan, terutama kesenian dan kerajinan. Bukan tempat dimana
orang mabuk-mabukan seperti waktu kecil saya dulu.
gbr. Sawah Kidul Gbr. Sawah Kulon
Gbr. Cilembang
Gbr. jalan ke desa Wanajaya
Jika kita menelusuri pendirinya,
Hariang didirikan oleh Wangsa Wijaya, putra bupati bandung pertama, istrinya
juga berasal dari anak Pangeran panembahan rangga Gempol III, bupati Sumedang.
Dimana disini juga terdapat sesepuh yang sangat dihormati oleh para karuhun
atau leluhur sunda, yaitu Mbah Guriang, di samping Demang Surya Wacana, tokoh
yang sangat dihormati. Disamping itu dizamannya juga ada syekh Arab yang
mengajarkan ilmu agama dan juga Ki Raksa
Mayu ahli kesenian yang handal. Jadi dari sejarahnya, Hariang memang sangat
sempurna, sebagai pusat intelektual, pusat agama dan pusat kebudayaan.
Salam sukses bagi orang yang
peduli terhadap desanya.
(By. Adeng Lukmantara)