Laman

Sabtu, 02 September 2017

SUMEDANG, SEJARAH, DAN SILSILAH I

Pengantar

Mulai hari ini tanggal 2 September 2017 bertepatan dengan tanggal 11 Dzulhijah 1438 H, akan mulai menulis tentang sejarah Sumedang, silsilah, keturunan dan pengaruhnya di tatar Sunda. Sangat sayang memang, mumpung masih banyak tokoh yang masih hidup dan juga masih eksis menulis, atau masih bisa ditanya. Sebelum terputus mungkin kita harus berusaha untuk membuat sambungan. 

Salah satu dari bangsa beradab adalah memelihara kesinambungan peradaban, termasuk pemikiran dan juga silsilah. Karena tanpa kesinambungan kita hanya akan berkutik pada bangsa yang memulai berpikir dari nol ke nol, tanpa berkesudahan. Tadisi sunda mengajarkan kepada kita harus hidup rancage, yaitu hidup yang berkesinambungan menuju ketinggian martabat / derajat, dengan melakukan perbaikan perbaikan yang bertahap, seumpama naik tangga kebaikan. Karena itu jika kita bisa memulainya, agar supaya generasi berikutnya, tidak memulai berpikir dari nol ke nol, maka adalah suatu kesempatan. 

Mungkin kita pernah membaca perkataan dari Al Biruni, seorang intelektual muslim yang dianggap sebagai salah satu tokoh ensiklopedis. Ia berkata yang intinya bahwa fungsi sebuah tulisan adalah memberi tahu kepada yang tidak tahu, atau generasi sesudah kita yang memang belum mengetahuinya. Dan yang kedua adalah mengkritik atau memperbaiki jika perlu diperbaiki. Sebagai suatu upaya dinamisasi cara berpikir tiap zaman.

Sumedang sebagai pewaris tahta Pajajaran tentu pengaruhnya sangat besar dalam peradaban di tanah Sunda. Dan untuk itu, dalam tulisan ini dicoba dicari jejaknya melalui keturunan dari Pangeran pangeran Sumedang, dan keturunannya, yang tersebar di tatar sunda.


Dari sekian tahun membaca sejarah tentang sumedang, mungkin sudah saatnya mencoba ikut meramaikan kajian tentang Sumedang ini. Tulisan  ini merupakan ringkasan, cuplikan dari berbagai referensi yang ada kaitannya dengan Sumedang. Sayang memang jika tidak ikut mencatat atau menulis. Karena mungkin hal ini minimal bisa bermamfaat untuk diri sendiri sebagai pengingat untuk disampaikan kepada generasi berikutnya, atau untuk membangkitkan suatu kebanggaan atau identitas sebagai seorang yang pernah lahir atau dibesarkan di daerah Sumedang, dan juga yang marasa keturunan Sumedang.

Meskipun pernah mengalami berbagai kekuasaan yang panjang. Tetapi yang menjadi ciri orang Sumedang adalah tentang egaliterisme, atau kemerdekaan individu dan tidak terlalu terjebak pada budaya feodalistik. Dan tentu setelah era Pangeran santri, Sumedang telah menjadi pusat islamisasi di tatar sunda, yang nyunda. Karena itu kemungkinan nantinya Sumedang bisa menjelma menjadi pusat Islamisasi yang modern dan egaliter untuk berbagai negeri. Meskipun hal ini masih belum terjadi. Jika merunut sejarah bahwa Pangeran Santri adalah cicit dari Syekh Datuk Kahfi, salah seorang penyebar Islam di tanah sunda, guru dari Pangeran Walansungsang, termasuk pengaruhnya sangat besar terhadap Sunan Gunung Jati.

Sumedang meskipun luas wilayah Sumedang kata sebuah  lagu dikatakan “ngarangrangan”  tetapi pada kelanjutannnya akan tetap menjadi sari (pusat intelektualitas) dan juga berujung dengan kejayaan (istilahnya “Ujung Jaya”). Sekarang sebagian wilayah Sumedang, seperti Wilayah Jatinangor telah berubah menjadi kawasan pendidikan, meskipun pada awalnya Bandung juga dulunya merupakan bagian dari Sumedang. Dan nama  Ujung jaya sekarang telah menjadi nama suatu tempat di ujung daerah Sumedang berbatasan dengan Majalengka dan juga Indramayu, yang nantinya juga diprediksi akan menjadi kota masa depan, karena di sekitar daerah tersebut nantinya akan di bangun Bandara Kertajati yang ada di Majalengka, yang tidak begitu jauh dari Ujung Jaya.

Sari adalah intisari bunga yang nantinya akan berubah menjadi buah. Jadi intinya jika menginginkan suatu hasil buah yang bagus berarti kita harus mendidik manusia dengan suatu paradigma yang bisa dipertanggungjawabkan. Dan hal itu hanya bisa diraih dengan pendidikan. Pendidikan yang berkelanjutan dan modern. 

Mungkin bukan nama tempat yang jadi tujuan dari sasakala Sumedang ke depan. Tetapi harusnya menjadi program jangka panjang, menjadikan Sumedang sebagai sari atau pusat pendidikan untuk suatu ujung yang namanya kejayaan. Demikian tulisan  ini dibuat, mudah mudahan sebagai pengingat.

Dan sebagai pengingat juga, Prabu Tajimalela yang dianggap sebagai sumedang telah memberikan patokan yang jelas kita hidup di dunia, yaitu sebagai penerang atau pencerah. Prabu Tajimalela berkata Insun Medal Insun Madangan, dalaam artian bebas berarti sayaa dilahirkan saya menerangi. Menerangi dalam artian sekarang bisa diartikan sebagai pencerah. Jadi orang sumedang telah diberi bimbingan oleh sang founding father agar menjadi pencerah. Berarti segala argumen atau apapun yang dilakukan oleh kita harus dapat dipertangung jawabkan dan berwawasan masa depan. Bukan sebagai penghayal atau penjaga mitos, yang justru menjebakan diri kepada kejumudan atau stagnan.

Sambil menyelam minum air. Karena secara silsilah penyusun tulisan ini masih mempunyai silsilah yang ada sangkut pautnya, dengan silsilaah raja raja sumedang. Dalam catatan yang tercatat turun temurun, bahwa masyarakat Desa Hariang dimana penulis berasal didirikan oleh Raden Wangsawijaya (anak dari bupati bandung pertama) dan Nyi Mas Bayun, putri dari Pangeran Rangga Gede bin  Prabu Geusan Ulun. Dari silsilah  pihak ayah, maka penyusun merupakan keturunan  Nyi Mas Bayun diurutan ke-11 atau masih turunan Prabu Geusan Ulun ke-13. Dan dari pihak ibu, kakeknya Raden Sacabrata atau dikemudian hari dikenal juga dengan nama Raden Supardi (yang bermukim di Cihayam) merupakan salah seorang dari turunan Bangsawan Sumedang. Dan juga dari pihak ibunya ayah (nenek) juga silsilahnya masih tersambung dengan Pangeran Rangga Gempol III.

Wassalam
Adeng Lukmantara
Peminat Study Peradaban Sunda dan Islam


SUMEDANG, SEJARAH DAN SILSILAH I, 

I. PENDAHULUAN

Sejarah tentang Sumedang oleh para penulis sejarah sunda, selalu diawali dengan kisah Batara Prabu Aji Putih, seorang tokoh keagamaan atau batara dari kerajaaan Galuh, yang dianggap sebagai perintis dari keberadaaan Sumedang.


Batara Prabu Aji Putih pada awalnya mendirikan kabuyutan Tembong Agung di daerah Cipaku Darmaraja. Kabuyutan atau Kabataraan dalam tradisi Sunda merupakan suatu tempat yang disakralkan oleh masyarakat  dan mempunyai suatu kekuasaan yang independen, baik wilayah maupun otoritasnya terutama dalam bidang keagamaan


Dan Sumedang menjadi suatu negara  mula mula dibangun oleh anak Prabu aji Putih yang bernama Prabu Tajimalela. Prabu Tajimalela hidup sezaman dengan raja sunda yang bernama Ragamulya Luhur Prabawa (mp. 1340-1350 M) dan juga tokoh Suryadewata, orang tua Batara Gunung Bitung dari Talaga. Prabu Tajimalela kemudian meletakan dasar dasar kerajaan dari kabuyutan yang dibangun ayahnya, Prabu Aji Putih. Karena itu, Prabu Tajimalela ini kemudian dianggap sebagai pendiri kerjaan Sumedang sebenarnya atau The Founding Father Sumedang.


Prabu Tajimalela dalam catatan sejarah  memiliki banyak nama diantaranya Prabu resi Agung Cakrabuana dan Batara Tuntang Buana. Dan nama kerajaannya pun berevolusi dari nama Tembong Agung yang dibangun oleh Prabu Aji Putih kemudian menjadi Himbar Buana di era Prabu Tajimalela.


Mungkin banyak orang kurang mengenal tentang sistem pemerintahan / sitem kenegaraan dalam tradisi Sunda tempo dulu. Dalam tradisi Sunda Klasik sistem kenegaraan lebih bercorak  sistem negara Federal, bukan negara kesatuan. Suatu wilayah kerajaan negara bagian (negara dalam negara) diakui independensinya. Dan negara yang muncul kemudian selalu setia terhadap kerajaan utamanya. Demikian juga Sumedang Larang yang secara hirarki menjadi bagian dari kerajaan Galuh, dan merupakan suatu wilayah dari kerajaan Sunda (atau Sunda Galuh).

Hingga awal abad ke-16 M, Sumedang larang mengambil corak agama Hindu sebagai agama resminya, meskipun secara tradisi masyarakatnya masih berpegang teguh kepada kepercayaan aslinya. Baru pada awal abad ke-16 M, Sumedang Larang telah beralih menjadi suatu kerajaan yang berbasiskan Islam, dengan adanya pernikahan putri kerajaan Sumedang  Larang, Ratu Pucuk Umun dengan seorang bangsawan dari kerajaan Cirebon, yang bernama Pangeran Kusumah Dinata, atau dikemudian hari terkenal dengan nama Pangeran Santri. Dari perkawinan antara Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri, kemudian lahir seorang sumedang Larang terbesar, Prabu Geusan Ulun.

Setidaknya terdapat 10 penguasa Sumedang larang dari Batara Prabu Aji Putih hingga Prabu Geusan Ulun. Secara berurutan penguasa Sumedang larang itu antara lain:
  • Batara Prabu Aji Putih
  • Prabu Tajimalela (Batara Tuntang Buana)
  • Prabu Lembu Agung (Prabu Jayabrata/ Prabu Lembu Peteng Aji)
  • Prabu gajah Agung (Prabu Atmabrata)
  • Prabu Pagulingan (Prabu Wirajaya Jagabaya)
  • Sunan Guling ( Prabu Mertalaya)
  • Sunan Tuakan (Prabu Tirta Kusuma)
  • Ratu Sintawati (Nyi Mas Patuakan)  menikah dengan Sunan Corenda dari Talaga
  • Ratu Satyasih (Ratu Inten Dewata / bergelar Ratu Pucuk Umun), menikah dengan Pangeran Santri dari Cirebon.
  • Prabu Geusan Ulun
A.. Penamaan "Sumedang"

Para penulis sejarah Sumedang sering mengungkapkan bahwa kata sumedang berasal dari perkataan Prabu Taji Malela, sang founding father Sumedang, yaitu “ Insun Medal Insun Madangan” (Saya dilahirkan saya menerangi/ mencerahkan). Tetapi ada yang mengaitkan dengan yang tertulis dalam naskah naskah kuno, seperti yang diungkap dalam Naskah Carita Parahiyangan dan Naskah Bujangga Manik, yaitu nama Medang Kahiyangan.

1.. Perkataan Prabu Tajimalela


Ketika Prabu Tajimalela selesai bertapa, ia berkata, "Insun Medal Insun Madangan", Jadi kata insun medal berarti saya dilahirkan, sedang Insun Madangan berari saya menerangi, atau kata yang lebih positif biasanya diartikan dengan kata mencerahkan. Jadi Prabu Taji Malela telah membuat dasar / fondasi atau merupakan tanggung jawab dari keberadaan orang Sumedang di muka bumi (dilahirkan di bumi), yaitu harus menjadi penerang atau pencerah umat Manusia. Inilah sebenarnya yang mungkin menjadi amanat  berkelanjutan dari Sang pendiri Sumedang, yaitu harus menjadi pencerah pencerah atau penerang penerang bagi keihidupan manusia.


Karena Rangkaian perkataan Prabu Tajimalela ini yang berwawasan ke depan ini, menjadikan perkataan ini dianggap menjadi asal usul dari penamaan Sumedang itu sendiri, InSUn Medal Insun maDANGan, atau InSUn medal insun MADANGan.

2.. Dari Sumber Naskah Kuno


Tapi Sumedang ada yang berpendapat dari asal nama sumedang di era Pajajaran yang bernama Medang Kahiyangan, seperti diungkapkan dalam Naskah Carita Parahiyangan dan juga Naskah Bujangga Manik. 

Kata Medang sendiri secara etistemologi berarti luas  atau tanah luas. Medang juga bisa berasal dari  nama sejenis pohon, Litsia Chinensissekarang dikenal sebagai pohon Huru. Konon dulu pohon medang banyak tumbuh subur di dataran tinggi sampai ketinggian 700 m dari permukaan laut seperti halnya Sumedang merupakan dataran tinggi.  Sedang kata Su berarti baik atau indah, dan Larang diartikan jarang tandingannya atau tiada tanding. Jadi kalau Sumedang Larang berarti tanah luas yang jarang tandingannya.


Kata Medang dalam tradisi sunda juga merupakan kerajaan yang dibangun oleh Prabu Sena dan Prabu Sonjaya  di sekitar jawa tengah sekarang. Prabu Sena dan juga Prabu Sonjaya merupakan raja raja keturunan Galuh yang mendirikan kerajaan Medang diJawa tengah (Mataram kuno). Bahkan anak dari Prabu Hariang Banga, bernama Rakeyan Medang, karena pernah dibesarkan oleh kakeknya (Prau Sonjaya) di Medang.


Nama Sumedang kemungkinan  digunakan ketika Sumedang memasuki era Islam. Karena hal ini sesuai dengan naskah primer Sunda, yaitu: Naskah Bujangga Manik dan Naskah Carita Parahiyangan. Dalam  kedua naskah ini nama Sumedang masih bernama Medang Kahiyangan.

Naskah Bujangga Manik ditulis pada ahir abad kee-15 M, sedang Naskah Carita Parahiyangan ditulis pada akhir abad ke-16 M, setelah ibukota Pakuan  Pajajaran jatuh pada tahun 1579 M. Tidak mungkin para penulis naskah kuno ini tidak menyantumkan sesuatu nama sesungguhnya.

Dengan demikian, jika mengacu  pada dua nasskah ini, kemungkinan nama Sumedang Larang dikenal di akhir abad ke-16 M di era Sumedang memasuki era Islam di zaman Pangeran Santri atau anak dan penggantinya Prabu Geusan Ulun.
   
a.. Naskah Bujangga Manik

Naskah Bujangga Manik adalah naskah primer, yang merupakan peninggalan dari naskah berbahasa Sunda yang sangat berharga. Naskah ini ditulis dalam daun nipah, dalam puisi naratif  berupa lirik  yang terdiri dari 8 suku kata. Naskah ini seluruhnya terdiri dari  29 daun nipah, yang masing-masing  berisi  56 baris kalimat yang terdiri dari 8 suku kata. Naskah ini sekarang tersimpan  di perpustakaan Bodleian, di Oxford sejak tahun 1627 M.

Yang menjadi tokoh dan yang menulis naskah ini adalah Prabu Jaya Pakuan alias Bujangga Manik, seorang resi Hindu dari kerajaan Sunda. Walaupaun ia seorang prabu (keluarga raja/ bangsawan) dari keraton Pakuan Pajajaran, ia lebih suka menjalani hidup sebagai seorang resi.

Bujangga Manik melakukan perjalanan 2 kali ke negeri Jawa. Pada perjalanan kedua, ia singgah  di Bali untuk beberapa lama  dan akhirnya ia bertapa di sekitar gunung Patuha sampai ia meninggal.

Bujangga Manik dalam naskahnya  menggambarkan topografi pulau jawa pada akhir abad ke-15 M. Lebih dari 400 nama tempat tinggal dan sungai disebut  dalam naskah ini dan berbagai nama tempat yang masih digunakan hingga kini, termasuk Sumedang, yang saat itu bernama Medang Kahiyangan.

Bujangga Manik melewati Medang Kahiyangan 3 kali, yang pertama saat ia melakukan perjalanan pertama dari Pakuan ke Pemalang (sekaang termasuk wilayah Jawa Tengah). Dan yang kedua ketika ia melakukan perjalanan yang kedua dari Pakuan ke Bali. Dan yang ketiga ketika ia kembali dari perjalanannya ke Bali.

Dalam perjalanan pertama terjemahan bebasnya sebagai berikut:

“............Setelah tiba di Putih Birit, aku harus melakukan sebuah pendakian yang panjang, (yang aku lakukan sedikit demi sedikit.) Setelah tiba di Puncak, aku duduk di atas sebuah batu pipih, dan mengipasi diriku sendiri. Di sana ia melihat pegunungan: Terdapat Bukit Ageung  (sekarang Gunung Gede) , tempat tertinggi dalam kekuasaan Pakuan.
Setelah pergi dari sana, aku pergi ke daerah Eronan. Aku sampai di Cinangsi, menyeberangi Sungai Citarum. Setelah berjalan melewati daerah ini, aku menyeberangi Sungai Cipunagara, bagian dari daerah Medang Kahiangan, berjalan melewati Gunung Tompo Omas  (sekarang nama Gunung Tampomas, menyeberangi Sungai Cimanuk, berjalan melewati Pada Beunghar, menyeberangi Sungai Cijeruk Manis, aku berjalan melewati Conam, meninggalkan Gunung Ceremay. Setelah aku tiba di Luhur Agung (sekarang Luragung di daerah Kabupaten Kuningan), , menyeberangi Sungai Cisinggarung. (Cisanggarung).....”

Dalam perjalanan kedua dari Pakuan ke Bali dalam terjemahan bebasnya sebagai berikut:

“...........Setelah naik ke Goha, setiba di Timbun, pergi menuju Bukit Timbun, aku tiba di Mandata, menyeberangi Sungai Citarum, berjalan melewati Ramanea.  Setiba di Gunung Sempil, berada di belakang Gunung Bongkok, dan tiba di Gunung Cungcung, dalam wilayah Saung Agung.
Telah aku lalui,lalu berbelok menuju timur,menyeberangi Sungai Cilamaya, menyeberangi Sungai Cipunagara, dalam wilayah Medang Kahiangan, berjalan melewati Gunung Tompo Omas, menyeberangi Sungai Cimanuk, pergi melalui Pada Beunghar, menyeberangi Sungai Cijeruk-Manis.  Aku berjalan melewati Conam, Gunung Ceremay telah kutinggalkan, Timbang dan Hujung Barang, Kuningan Darma Pakuan, semua tempat itu telah kulalui.
Setelah tiba di Luhur Agung, aku menyeberangi Sungai Cisinggarung.  Setelah tiba di ujung Sunda, sampailah di Arga Jati, dan tiba di Jalatunta, yang menyimpan kenangan Silih Wangi.............”.

b .. Naskah Carita parahiyangan

Naskah Carita Parahiyangan merupakan suatu naskah Sunda kuno yang berbahasa Sunda kuno, yang dibuat pada akhir abad ke-16 M, yang menceritakan sejarah tanah sunda, mengenai kerajaan Sunda, istana (keraton) galuh dan istana (keraton) pakuan. Naskah ini tersimpan di Museum Nasional Jakarta.

Naskah Carita Parahiyangan terdiri dari  47 lembar  daun lontar ukuran 21 x 3 cm, yang tiap lembarnya berisi 4 baris. Huruf yang digunakan dalam penulisan naskah ini adalah aksara Sunda kuno. Tentang pengarangnya tidak disebutkan. Dari analisisnya menunjukan bahwa ia merupakan seorang yang ahli dalam bidang sosiologi.

 Naskah ini pertama kali diteliti oleh K.F. Holle, kemudian C.M Pleyte. Naskah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia  oleh Purbacaraka sebagai tambahan laporan mengenai batu Tulis dibogor, dan selanjutnya oleh beberapa sarjana sunda.

Naskah Carita Parahiyangan ini menceritakan  sejarah sunda dari awal kerajaan Galuh  pada zaman Wretikandayun sampai runtuhnya Pakuan Pajajaran (ibukota kerajaan Sunda) akibat serangan kesultanan Banten.

Dalam naskah ini yang berkaitan dengan Sumedang adalah yang menceritakan tentang Prabu Surawisesa, pengganti Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata (Prabu Siliwangi). Selama berkuasa 14 tahun ia telah melakukan peperangan 15 kali, diantaranya di Medang Kahihayang atau Sumedang sekarang

Disilihan inya ku Prebu Surawisésa, inya nu surup ka Padaré n, kasuran, kadiran,
kuwamén.
Prangrang limawelas kali hanteu éléh, ngalakukeun bala sariwu.
Prangrang ka Kalapa deung Aria Burah. Prangrang ka Tanjung. Prangrang ka Ancol
kiyi. Prangrang ka Wahanten girang. Prangrang ka Simpang. Prangrang ka Gunungbatu.
Prangrang ka Saungagung. Prangrang ka Rumbut. Prangrang ka Gunung. Prangrang ka
Gunung Banjar. Prangrang ka Padang. Prangrang ka Panggoakan. Prangrang ka
Muntur. Prang rang ka Hanum. Prangrang ka Pagerwesi. Prangrang ka
Medangkahiyangan.
Ti inya nu pulang ka Pakwan deui. hanteu nu nahunan deui, panteg hanca di bwana.
Lawasniya ratu opatwelas tahun.

(Diganti enya eta ku Prebu Surawisesa, anu hilang di Padaren, Ratu gagah perkosa, teguh jeung gede wawanen.
Perang limawelas kali henteu eleh. Dina ngajalankeun peperangan teh kakuatan
baladna aya sarewu jiwa.
Perang ka Kalapa jeung Aria Burah. Perang ka Tanjung. Perang ka Ancol kiyi. Perang ka
Wahanten Girang. Perang ka Simpang. Perang ka Gunungbatu. Perang ka Saungagung.
Perang ka Rumbut. Perang ka Gunungbanjar. Perang ka Padang. Perang ka Pagoakan.
Perang ka Muntur. Perang ka Hanum. Perang ka Pagerwesi. Perang ka Madangkahiangan.
Ti dinya mulang ka pakwan deui. Hanteu naunan deui. Ratu tilar dunya. Lawasna jadiratu opatwelas taun)


B.. Asal Usul dan Silsilah

Setidaknya ada 2 pendapat tentang asal usul dari sang pendiri Sumedang,  Prabu Guru Aji Putih. Pendapat pertama dikatakan bahwa Sang Prabu Guru Aji Putih merupakan anak dari Aria Bimaraksa atau yang terkenal dengan nama Aki Balangantrang, yang merupakan patih dari kerajaan Galuh di era raja Prabu Purbasora. Hal ini menurut silsilah dari Cipaku darmaraja yang diungkapkan dalam blog cipakudarmaraja.blogspot.com, dan bagan seperti di bawah ini.



Tetapi pendapat ini ada kelemahan dalam urutan tahun, yang kurang nyambung. Maksudnya terlalu panjang rentang tahun antara sang pendiri Prabu Aji Putih dengan raja raja berikutnya. Karena itu ada pendapat yang kedua yang dianggapnya lebih relevan dengan urutan tahun, yaitu bahwa sang pendiri Sumedang Prabu Aji Putih berasal dari kalangan istana Galuh sezaman dengan ketika raja Sunda berkuasa Prabu Surya Dewata.

1.. Pendapat pertama

Menurut silsilah dari Cipaku darmaraja, asal usul sang pendiri Sumedang,  bahwa Sang Prabu Guru Aji Putih merupakan anak dari Aria Bimaraksa atau yang terkenal dengan nama Aki Balangantrang.


a.. Aria Bima Raksa atau Aki Balangantrang

Aria Bima Raksa atau Aki Balangantrang merupakan senopati atau patih di era Prabu Purbasora, raja kerajaan Galuh ke-3. Tetapi karena Prabu Purbasora di kudeta oleh keponakannya yang bernama Sonjaya dalam serangan mendadak di malam hari. Aria Bimaraksa atau Aki Balangantrang dapat meloloskan diri  ke Geger Sunten. Dan ia mendirikan padepokan disini.

Aki Balangantrang ini  adalah yang mendidik dan membesarkan Ciung Wanara atau Prabu Manarah. Dan kemudian menjadi pengatur strategi Ciung Wanara untuk merebut kembali tahta kerajaan Galuh dari keturunan Prabu Sonjaya. Yang bernama Prabu Temperan.   

Aki Balangantrang atau Aria Bima Raksa merupakan putra dari Jantaka, anak kedua dari pendiri kerajaan Galuh, Wretikandayun. Jantaka lebih dikenal dengan nama Rahiyang Kidul atau Resiguru di Wanayasa atau Resiguru di Denuh.

Aki Balangantrang atau Aria Bimaraksa ini menikah dengan anak Prabu Purbasora yang bernama Dewi Komalasari. Ketika Purbasora menjadi raja dengan mengkudeta Prabu Sena. Aria Bimaraksa ini diangkat menjadi senopati atau patihnya. Prabu Purbasora berkuasa selam 7 tahun yang akhirnya dikudeta oleh keponakannya, yang bernama Sonjaya, yang merupakan anak dari Prabu Sena, yang dikudeta sebelumnya. Sonjaya melakukan serangan mendadak ke Galuh, sehingga keluarga Prabu Purbasora banyak yang meninggal. Dan hanya menantu dan istrinya, Aria Bimaraksa yang bisa meloloskan diri.

Prabu Purbasora merupakan anak dari Prabu Sempak Waja, putra pertama dari Wretikandayun, sang pendiri kerajaan Galuh. Ia tidak menjadi raja menggantikan ayahnya, karena ia ompong. Dalam tradisi Galuh, bahwa cacat tubuh adalah penghalang putra mahkota menjadi raja. Begitu juga adik Sempak Waja yang bernama Jantaka atau Rahiyang Kidul, ayah dari Aria Bimaraksa. Yang juga tidak bisa jadi raja karena ia menderita penyakit kemir atau burut. Sehingga tahta Galuh jatuh pada putra bungsu Wretikandayun yang bernama Amara atau Prabu Mandiminyak. Setelah Prabu Mandiminyak meninggal, tahta jatuh kepada anaknya, Prabu Sena. Karena dianggap cacat moral dan juga lebih berhak atas tahta, maka Prabu Sena kemudian dikudeta oleh Prabu Purbasora.

Dalam silsilah ini Aria Bimaraksa atau Aki Balangantrang ini mempunyai anak 3 orang, yaitu: Prabu guru Aji Putih, Jagat Jayanata dan Dewi Sari Legawa. Dewi Sari Legawa ini menikah dengan Resi Demunawan, yang merupakan anak kedua dari Sempak waja, adik Prabu Purbasora..

b.. Pendapat Yang Terlalu dipaksakan



Dari silsilah diatas yang dikatakan bahwa Prabu Aji Putih merupakan putra dari Bimaraksa atau Aki Balangantrang. Tetapi seolah pendapat ini terlalu dipaksakan, karena dalam rentang waktu Prabu Aji Putih berkuasa  (678) hingga meninggalnya Ratu Inten Dewata (1578) atau rentang waktu 900 tahun hanya 9 penguasa, yang berarti rata rata berkuasa setiap penguasa 100 tahun. Dan silsilah tahun yang ada dalam buku buku sejarah Sumedang sebagai berikut:

1. Putih (Raja Tembong Agung) 678 - 721
2. Batara Tuntang Buana / Prabu Tajimalela. 721 - 778
3. Jayabrata / Prabu Lembu Agung 778 - 893
4. Atmabrata / Prabu Gajah Agung. 893 - 998
5. Jagabaya / Prabu Pagulingan. 998 - 1114
6. Mertalaya / Sunan Guling. 1114 – 1237
7. Tirtakusuma / Sunan Tuakan. 1237 – 1462
8. Sintawati / Nyi Mas Ratu Patuakan. 1462 – 1530
9. Satyasih / Ratu Inten Dewata Pucuk Umum 1530 – 1578
10. Pangeraan Kusumahdinata II / Prabu Geusan Ulun (1578-1601)

Jika berkuasanya Prabu Aji Putih dari 678 hingga 721 atau 43 tahun masih masuk akal, di era Prabu Tajimalela berkuasa dari tahun 721 hingga 778 atau 57 tahun juga masih masuk akal. Tetapi setelah Prabu Lembu Agung (115 tahun) , Prabu Gajah Agung (105 tahun) , prabu Pagulingan (116 tahun), Sunan Guling (123 tahun), dan Sunan Tuakan (225 tahun) seolah pendapat itu teralalu dipaksakan. Apalagi ada kisah bahwa Prabu Lembu Agung hanya sebentar berkuasa dan digantikan oleh adiknya Prabu Gajah Agung. Jika melihat tahun mereka yang bersaudara ini berkuasa jika dijumlah ada 220 tahun, sesuatu yang kurang masuk akal.

Jadi pendapat yang kedua yang kemungkinan masuk akal, yaitu bahwa Prabu Aji Putih merupakan keturunan dari Bimaraksa atau Aki Balangantrang. Tetapi karena budaya tulis menulis tidak menjadi tradisi dan hanya mengandalkan budaya lisan, seolah silsilah telah terputus. Karena tidak bisa menceritakan secara detail tentang silsilah dari Prabu Aji Putih ke Aki Balangantrang tersebut.

Dan pendapat yang masuk akal adalah pendapat bahwa Prabu Aji Puti mendirikan Sumedang  diera Prabu Suryadewata.


2.. Pendapat Kedua

Sumedang  pada awalnya merupakan sebuah kabuyutan/kabataraan yang didirikan oleh Prabu Aji Putih,. Dalam sejarah kerajaan Sunda atau Galuh disamping kekuasaan raja, juga ada suatu bentuk kekuasaan keagamaan yang diakui sebagai daerah yang sangat dihormati, dan punya otoritas dalam keagamaan, yang disebut dengan kabuyutan atau ada yang menyebut dengan kabataraan.

Ketika pusat kabuyutan sunda di karantenan gunung sawal berubah menjadi kerajaan Panjalu dibawah pimpinan Rangga Sakti, maka pada saat itu seolah sudah tidak ada lagi kabuyutan atau kabataraan di lingkungan kerajaan sunda Galuh. Karena itu Prabu Suryadewata sebelum keraton Galuh di pindahkan ke Pakuan (Bogor sekarang)memerintahkan kepada Prabu Aji Putih untuk mendirikan kabuyutan / pusat keagamaan di Tembong Agung.

Prabu Suryadewata merupakan raja Galuh, putra dari  Prabu  Ajiguna Wisesa, seorang Raja Sunda Galuh yang berkuasa dari tahun   1333 sampai dengan tahun 1340 M. Dalam Carita parahiyangan Prabu Ajiguna Wisesa ini disebut hanya tempat meninggalnya “Nu hilang di Kidding” (yang Hilang di Kidding). Prabu Ajiguna Wisesa mempunyai 3 orang anak, yaitu Prabu Ragamulya Luhur Prabawa ( mp. 1340-1350 M) atau terkenal dengan nama Sang Aki Kolot. Ia kemudian menggantikan tahtanya di kerajaan Sunda. Yang kedua Dewi Kiranasari  merupakan anak kedua, yang menikah dengan Prabu Arya Kulon. Dan yang ketiga Prabu Suryadewata, merupakan  anak bungsu, yang kemuudian  diangkat  menjadi Raja (Ratu) Galuh.


Mendapat perintah raja kemudian Prabu Aji Putih mendirikan kabuyutan yang dinamai Tembong Ageung  di Leuwi Hideung (sekarang berada di kecamatan Darmaraja). Tembong Agung berarti Kelihatan besar / luhur (tembong berarti kelihatan, sedang agung berarti besar dan luhur). Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Kabuyutan Tembong Ageung  mengalami beberapa kali perubahan nama. Putra dari Aji putih yang bernama Prabu Tajimalela, yang kemudian menggantikannya sebagai penguasa kabuyutan, mengganti Tembong Ageung  dengan nama Himbar Buana, yang berarti menerangi alam. Dan di era Prabu Tajimalela ini ada pergeseran dari kabuyutan atau kabataraan menjadi kerajaan.


C.. Ibukota

Berikut adalah nama nama daerah yang pernah menjadi ibukota  Sumedang, baik era kerajaan maupun kabupaten. Dalam sejarahnya memang Sumedang telah melakukan beberapa kali perpindahan ibukota.


Berikkut adalah  nama suatu daerah di Sumedang yang pernah menjadi ibukota baik di era kerajaan Sumedang Larang atau di era kabupatian.:

Tembong Ageung Girang
Tembong Ageung merupakan kabuyutan Prabu Guru Aji Putih, yang dianggap sebagai cikal bakal dari kerajaan Sumedang Larang. Tembong Ageung terletak di desa Ganeas kecamatan Ganeas.


Tembong Ageung
Merupakan ibukota di era Prabu Guru Aji Putih dan Prabu Tajimalela, sang pelopor kerajaan Sumedang Larang. Tempat ini terletak di dusun Muhara desa Leuwihideung kecamatan Darmaraja.


CiGuling
Ciguling merupakan ibukota kerajaan Sumedang larang di era Prabu Gajah Agung dan Ratu Nyi Mas Patuakan. Sekarang tempat ini dinamai situs Geger Sunten Ciguling yang terdapat di dusun Ciguling kelurahan Pasanggrahan kabupaten Sumedang Selatan.


Kutamaya
Kutamaya merupakan ibukota era Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun (Ratu Sumedang yang ke-8) berkuasa. Sekarang tempat ini disebut situs Kutamaya yang terletak di desa Padasuka Kecamatan Sumedang utara.


Dayeuh Luhur
 Dayeuh Luhur merupakan ibukota di era Prabu Geusan Ulun berkuasa ketika komplik dengan Cirebon. Dayeuh Luhur terletak di Dusun Dayeuh Luhur desa Ganeas.

Tegal Kalong
Tegal Kalong sekarang terletak di desa Tegal Kalong kecamatan Sumedang utara. Tegal Kalong ini merupakan ibukota Sumedang di era bupati wedana Pangeran Suriadiwangsa atau Pangeran Rangga Gempol 1 yang berkuasa dari tahun 1601-1625, dan bupati ke-4 sumedang, yaitu Pangeran Panembahann atau Pangeran Rangga Gempol III yang berkuasa dari tahun 1656 hingga 1706 M.


Canukur
Merupakan ibukota ketika Pangeran Rangga Gede berkuasa.


Regol Wetan / Sulambitan
Regol Wetan merupakan ibukota di era pemerintahan Pangeran Panembahan atau Pangeran Rangga Gempol III yang berkuasa dari tahun 1656 hingga 1706 M, setelah kejatuhan ibukota lama oleh serangan Banten, Tegal Kalong. Regol Wetan terletak di kelurahan Regol Wetan kecamatan Sumedang Selatan. Regol wetan merupakan kota Sumedang sekarang.


BAB II SILSILAH RAJA RAJA 

1.. Prabu resi Aji putih

Prabu Batara Aji Putih atau Prabu Resi Aji Putih adalah seorang resi trah Galuh (masih keturunan bangsawan galuh), yang dianggap sebagi perintis dari kerajaan Sumedang Larang. Ia diyakini merupakan keturunan dari Aki Balangantrang, cucu Wretikandayun (pendiri kerajaan Galuh), dan merupakan inspirator dalam kudeta Ciung Wanara (Sang Manarah) di tanah  Galuh.

Dalam catatan para sejarawan sunda, iaa hidup dari taahun 678 hingga 721 M. Tetapi masih dipertanyaakan tentang kebenaran tahun nya. Karenaa terlalu jauh rentang dengan penguasa berikutnya.


Ia datang ke suatu kampung yang bernama Cipaku, yang letaknya di pinggir sungai Cimanuk (sekarang  adanya di kampung Muhara, desa Leuwihideng, kecamatan Darmaraja Sumedang). Disini ia melakukan perubahan tatanan pemerintahan dan masyarakat, yang konon daerah ini sudah ada sejak abad ke-8 M. Pengaruhnya semakin kuat sehingga kekuasaanya meluas hingga sepanjang walungan (sungai) Cimanuk, hingga berdirinya kerajaan Tembong Ageung. Tembong Ageung berarti Kelihatan besar / luhur (tembong berarti kelihatan, sedang ageung berarti besar dan luhur).

Kerajaan Tembong Ageung terletak di bukit Tembong Ageung, dengan ibukota di Leuwi Hideung Darmarja sekarang.  Prameswari prabu Aji Putih bernama Nyi Mas Ratu Ratna  Inten  atau terkenal juga dengan nama Nyi Mas Dewi Nawang Wulan, putri dari Jagat Jayanta Dari perkawinanya ia mempunyai anak yang bernama Tajimalela, yang kemudian menggantikannya.

Setelah meninggal Prabu Aji Putih dimakamkan di Astana Cipeueut, desa Cipaku Darmaraja.

2.. Prabu Tajimalela

Prabu Tajimalela atau Batara Tuntang Buana (Prabu Agung Resi Cakrabuana), dianggap sebagai pokok  berdirinya kerajaan Sumedang Larang. Ia meneruskan kekuasaan ayahnya, Prabu Guru Aji Putih. Pada zamannya  nama kerajaan kemudian diganti dengan nama Himbar Buana, yang berarti Menerangi alam. Tetapi setelah ia bertapa ia mengubahnya menjadi kerajaan Sumedang Larang, meskipun ibukotanya tetap di daerah Leuwihideung Darmaraja.

Prabu Tajimalela pernah berkata Insun medal insun madangan.” (artinya: Saya dilahirkan saya menerangi) dari perkataan Tajimalela inilah kemudian nama Sumedang Larang diambil. Dengan demikian kata Sumedang berasal dari kata insun madangan yang disingkat Sumedang, yang  berarti saya menerangi, dan ada juga yang menulis berasal dari kata insun medal yang mengalami perubahan pengucapan. Sedang kata Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingannya.

Prabu Tajimalela  hidup sezaman  dengan  Maharajara Sunda yang bernama  Luhur Prabawa (mp. 1340-1350 M).

Konon menurut cerita rakyat,  pada zaman Tajimalela ini pertanian mencapai kemajuannya. Ia sangat  memperhatikan bidang pertanian, sehingga disepanjang sungai Cimanuk terdapat tanah pertanian yang sangat subur. Disamping itu, ia juga dalam bidang peternakan di Paniis (Cieunteung) dan perikanan.di Pangerucuk (Situraja).  Situs peninggalan Prabu Tajimalela berupa Lingga di situs gunung Lingga.

 Prabu tajimalela mempunyai 3 orang putra,  tetapi yang dianggap pewaris tahta adalah 2 orang, yaitu Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung. Berdasar Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah  kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang satunya lagi menjadi wakilnya. Tapi keduanya tidak bersedia, oleh karena itu  Prabu tajimalela memberi ujian kepada keduanya, jika kalah harus jadi raja *).

Kedua putranya diperintahkan  pergi ke Gunung Nurmala (sekarang gunung sangkan jaya), dan diperintahkan harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan). Tetapi gajah Agung karena merasa kehausan membelah duwegan (kelapa muda) dan meminumnya, sehingga ia kemudian dinyatakan kalah. Dengan demikian Prabu gajah Agung harus menjadi raja, tetapi harus mencari ibukota sendiri. Dan Lembu Agung kemudian menjadi resi, tetapi ia tetap menjadi raja sementara di Leuwi hideng untuk memenuhi wasiat tajimalela Karena itu  Prabu lembu Agung kemudian terkenal dengan nama Prabu Lembu Peteng Aji.

Disamping Prabu lembu agung dan prabu gajah agung, ia juga mempunyai anak yang bernama Sunan Geusan Ulun. Prabu Lembu Agung dan keturunannya tetap berada di Darmaraja, sedang Sunan Geusan ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan brebes.


3.. Prabu lembu Agung (Prabu Lembu peteng aji).

Prabu lembu Agung menggantikan posisi ayahnya sebagai Raja di kerajaan Tembong Agung, yang waktu itu mulai terkenal dengan nama Sumedang. Nama sebenarnya Pangeran Jayabrata, dan setelah naik tahta bergelar Prabu Lembu Agung. Ia merupakan putra pertama Tajimalela, yang lebih memilih menjadi resi daripada jadi raja, karena itu ia terkenal dengan nama  Prabu Lembu peteng aji.

Ia berkuasa jadi raja hanya untuk memenuhi wasiat ayahnya, Prabu tajimalela. Setelah beberapa tahun berkuasa ia kemudian menyerahkan kekuasaanya kepada adiknya, Prabu Gajah Agung.

Setelah meninggal ia dimakamkan di Astana Gede, desa Cipaku kecamatan Darmaraja, Sumedang, letaknya kira-kira 500 meter dari makam kakek dan neneknya, Prabu Guru Aji Putih dan Nyi Mas Ratu Ratna Inten atau Nyi Mas Dewi Nawangwulan.

4.. Prabu Gajah Agung

Prabu Gajah Agung, menjadi raja Sumedang Larang, menggantikan kakaknya, Prabu Lembu Peteng aji,  yang memilih menjadi resi. Nama sebenarnya adalah Pangeran Atmabrata, dan setelah menjadi raja ia bergelar Prabu Gajah Agung.

Pada masanya, ibukota kerajaan dipindahkan ke Ciguling (desa Pasanggrahan, Sumedang selatan sekarang). Ia mempunyai anak yang bernama Pangeran Wirajaya, yang kemudian menggantikannya, dengan gelar Sunan Pagulingan.

Setelah meninggal, Prabu Gajah Agung kemudian dimakamkan di Kampung Cicanting, Desa Sukamenak, Kecamatan Darmaraja, Sumedang.

5. Prabu Wirajaya (Sunan Pagulingan)

Sunan Pagulingan atau Prabu Pagulingan merupakan putra dari Prabu Gajah Agung. Nama sebenarnya Pangeran Wirajaya, dan setelah  menjadi raja bergelar Sunan Pagulingan. Ia tinggal di Cipameumpeuk. Ia berkuasa dengan ibukota di Ciguling (desa Pasanggrahan, Sumedang Larang).

Ia mempunyai 2 orang anak, yaitu Nyai Ratu Ratnasih, dan terkenal dengan nama  Nyai Rajamantri, diperisteri oleh raja Pajajaran (raja Sunda), dan Pangeran  Mertalaya. Karena Ratnasih  menjadi prameswari  maharaja Sunda, maka raja Sumedang Larang  jatuh kepada adiknya, Merlaya, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Guling.

Setelah wafat, ia dimakamkan di Ciguling.

6.. Prabu Mertalaya (Sunan Guling)

Nama aslinya Pangeran Mertalaya, dan merupakan anak kedua dari Sunan Pagulingan. Kakaknya, yang bernama Nyi Ratu Retnasih diperistri raja pajajaran dengan gelar Nyi Rajamantri, dan pindah ke ibukota Pakuan. Sehingga raja Sunda jatuh kepadanya, dengan gelar Sunan Guling.

Ia berkuasa dengan ibukota di Ciguling, (desa Pasanggrahan sekarang, Sumedang Selatan). Setelah meninggal. Ia dimakamkan di Ciguling, dan tahta jatuh pada anaknya yang bernama Pangeran Tirtakusuma, dan setelah menjadi raja bergelar Sunan Tuakan atau Sunan Patuwakan.

7.. Prabu Tirtakusuma (Sunan patuakan)

Sunan patuakan atau Tirtakusuma menjadi penguasa Sumedang larang menggantikan ayahnya, Sunan Guling.

Ia dimakamkan di Heubeul Isuk, desa Cinanggerang. Ia kemudian digantikan oleh anaknya, Sintawati yang terkenal dengan nama Nyi Mas Patuakan.

8.. Sintawati (Nyi Mas Patuakan) / Sunan Corenda

Nyi Mas Patuakan atau Sintawati menjadi raja Sumedang menggantikan ayahnya, Sunan Patuakan. Sintawati menikah dengan Sunan Corenda  (Sunan Corenda adalah raja Talaga, putra dari Ratu Simbarkancana di kusumalaya, sedang Kusumalaya merupakan putra dari Dewa Niskala, penguasa Galuh.

Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai  seorang putri yang bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata  (1530-1578 M), yang kemudian menggantikannya, dan bergelar Ratu pucuk umun.    

Sunan Corenda adalah putra Sunan parung, cucu Prabu Ratu Dewata

9.. Ratu Inten Dewata (Ratu Pucuk Umun) / Pangeran Santri

Ratu Pucuk umun atau ratu Inten Dewata  naik tahta Sumedang Larang menggantikan ibunya, Nyi Mas Ratu Patuakan dan ayahnya, Sunan Corenda.  Ia merupakan  seorang keturunan rajaraja sumedang kuno, yang kemudian masuk Islam, dan berkuasa bersama suaminya, Pangeran Santri memerintah Sumedang Larang.  Pada masanya ibukota  kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.

Pada pertengahan abad ke-16 M, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ia sendiri kemudian masuk Islam dan menikah dengan Pangeran Kusumahdinata (1505-1579 M), yang terkenal dengan nama Pangeran santri, atau  Ki Gedeng Sumedang. Pangeran santri yang memerintah Sumedang bersama istrinya, sambil menyebarkan islam ke seluruh wilayah kerajaan.

Pangeran Santri adalah putra dari pangeran Palakaran (Pangeran Pamalekaran / dipati tetarung), putra arya dammar (sultan Palembang). Ibunya  Ratu Martasari (Nyi Mas ranggawuluung), anak  Syekh Maulana Abdurrahman (Sunan Panjuman) serta  cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama  keturunan Arab Hdramaut, yang berasal dari Mekah dan menyebarkan Islam di berbagai penjuru kerajaan Sunda.

Pangeran Kusumah dinata terkenal dengan nama Pangeran santri karena  asalnya dari pesantren dan pewrilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahannya tersebut, berakhirlah  masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Dan sejak itu menyebarlah Islam di seluruh penjuru Sumedang larang.


Ratu pucuk Umun  dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean gede kota Sumedang.


10.. Prabu Geusan Ulun(mp. 1579-1608 M).

Prabu Geusan Ulun menjadi raja Sumedang Larang menggatikan ayah dan ibunya, Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun pada tahun 1579 M. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukotanya.

Nama sebenarnya adalah Pangeran Angkawirya, dan kemudian bergelar Pangeran Kusumahdinata 2. Pangeran Angkawijaya dilahirkan 3 Sukrapaksasrawamummasa 1480 Caka atau 3 Dzulkaidah 965 H Bertepatan dengan 20 Juli 1558 M.

Geusan  Ulun dinobatkan jadi raja 1578 menggantikan ayahnya dan dikukuhkan pada 13 Angklapaksa Asyiyimasa 1502 Caka atau 10 dzulkaidah 998 H atau 18 November 1580.

Ketika Kerajaan Pajajaran runtuh, kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang dipegang oleh Pangeran Santri. Dan setahun setelah Pajajaran jatuh, Pangeran santri menyerahkan kekuasaan pada anaknya, Pangeran Angkawirya. Penobatan Pangeran Angkawirya dilakukan oleh hampir seluruh rakyat pajajaran, setelah kerajaan itu jatuh  karena serangan tentara Banten, yang dipimpin oleh Sultan Maulana Yusuf.

Gelar Prabu Geusan Ulun diberikan oleh rakyat Pajajaran, Geusan berarti Tempat, sedang ulun berarti bernaung, atau mengabdi. Penobatannya itu ditandai dengan diserahkannya mahkota kebesaran “Binokasih” yang terbuat dari emas bertahtahkan intan berlian pemberian Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Mahkota diserahkan oleh empat Kandagalante atau panglima perang yaitu Mbah Jayaperkosa (Sanghiyang Hawu), Mbah Nanganan (Batara Wiyatiwiradijaya), Mbah Terongpeot (Batara Pancarbuana) dan Mbah Kondanghapa

Pada masanya kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya, yang diserang oleh Banten dibawah pimpinan Sultan Maulana Yusuf.  Dan pada tahun 1579 M (8 Mei 1579 M), ibukota Pajajaran, Pakuan, runtuh.

Sebelum peristiwa jatuhnya Pakuan terjadi, Prabu Ragamulya Surya Kencana, Raja Pajajaran terakhir mengutus 4 orang kepercayaannya, yang dikenal dengan Kandaga Lante, yang terdiri dari: Sanghiyang Hawu (Jaya perkosa), Batara Adipati Wiradijaya (Nangganan), Sanghiyang Kondanghapa dan Batara Pencar Buang (Terong peot) dan  berhasil menyelamatkan atribut pakaian kebesaran maharaja Sunda, yang terdri dari: mahkota emas simbol kekuasaan raja Pakuan,  kalung bersusun 2 dan 3, serta perhiasan lainnya, seperti benten, siger, tampekan dan kilat bahu. Atribut-atribut  kebeesaaran tersebut kemudian diserahkan kepada raden Angkawijaya yang kemudian naik tahta Sumedang larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (mp. 1579-1601 M).

Meskipun tempat penobatan raja, Palangka Sriman di Pakuan diboyong ke Banten oleh Maulana Yusuf, tetapi ia tidak bisa memboyong mahkota kebesaran Sunda. Sehingga Sumedang Larang lah yang tetap dianggap sebagai  penerus kemaharajan Sunda terakhir.

Prabu Geusan Ulun adalah raja terbesar dan terakhir. Penerusnya, rangga Gempol I yang masih berdarah Cirebon kemudian bergabung dengan mataram, sehingga Sumedang Larang berubah statusnya dari kerajaan menjadi kabupatian.

Wilayah kekuasaan Sumedang Larang meliputi  Kuningan, Garut, Bandung, Tasik dan Sukabumi (wilayah Priangan). Kecuali Galuh (Ciamis). Pada masanya kerajaan Sumedang mengalami kemajuan yang pesat  dibidang sosial, budaya , agama, militer dan pemerintahan.

Tetapi ketika dianggap sebagai penerus kekuasaan dari Pajajaran, luas wilayahnya semakin luas. Di barat  berbatasan dengan sungai Cisadane, di timur berbatasan dengan sungai Cipamali (brebes, purwekerto, cilacap, Banyumas), kecuali Cirebon dan jayakarta, batas utara laut Jawa dan selatannya samudra hindia.

Konflik Dengan Cirebon

Dalam upayanya memperdalam agama Islam, Prabu Geusan Ulun pernah ke Demak, yang diikuti oleh 4 perwira utamanya yang disebut kandaga lante. Setelah dari Demak, ia mampir di Cirebon Disini ia bertemu dengan penguasa Cirebon, Panembahan Ratu.

Prabu Geusan Ulun  terkenal mempunyai perilaku yang santun, disamping  sangat tampan, sehingga disenangi penduduk Cirebon, termasuk prameswari Panembahan Ratu, yang bernama Ratu Harisbaya. Sang ratu sangat tertarik dan jatuh cinta  pada Geusan Ulun, sehingga ketika rombongan  Prabu Geusan Ulun pulang ke Sumedang, ia dengan tanpa sepengetahuannya ikut rombongan. Karena mengancam akan bunuh diri, akhirnya ia di bawa pulang ke Sumedang.

Karena kejadian ini Panembahan Ratuu marah besar dan mengirim pasukan untuk  merebut kembali  ratu Harisbaya, sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang.

Dengan penengah sultan Agung dari Mataram yang meminta agar panembahan ratu menceraikan ratu Harisbaya, yang aslinya berasal dari Pajang-Demak yang dinikahkan oleh sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat  menyerahkan wilayah  barat sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon.

Karena peperangan itu pula ibukota Sumedang larang dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut dengan Dayeuh Luhur.

Prabu  Geusan Ulun memiliki 3 orang istri, yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada. Yang kedua adalah Ratu Harisbaya, yang berasal dari Pajang Demak, dan yang ketiga adalah Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut, ia memiliki  20 orang anak.

(Lanjut..................
tulisan ini masih dalam tahap awal, masih dalam pengkajian dan pencarian data, atau sumber yang dapat dipertanggungjawabkan)

By 
Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam 
Asal Hariang Kec. Buahdua, Kab. Sumedang

Daftar Pustaka
  •  Latif, R.  Abdul, R. Supian Apandi, R, Lucky Dj. S, Insun Medal Insun Madangan Sumedang Larang,  Sumedang, 2008
  • Soedradjat, Ade Tjanker, Silsilah Wargi Pangeran Sumedang Turunan Pangeran Santri Alias Pangeran Kosesoemadinata I Penguasa Sumedang Larang 1530-1578, Yayasan Pangeran Sumedang, 1996
  • Dan dari berbagai sumber internet 



















7 komentar:

  1. alm kakek sy orang sumedang nama: apit hadiat bin wangsa priatman..

    ada g ya sodara sy disana krn sy sndri blm prnh ke sumedang...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Punten, ini adiet mana ya? Putra nya siapa? Cucu Pak Apit Hadiat ciampea bukan?

      Hapus
  2. Cari silsilah prabu siliwangi dari masa beliau sampai sekarang tidak ada

    BalasHapus
  3. 1. Putih (Raja Tembong Agung) 678 - 721
    2. Batara Tuntang Buana / Prabu Tajimalela. 721 - 778
    3. Jayabrata / Prabu Lembu Agung 778 - 893
    4. Atmabrata / Prabu Gajah Agung. 893 - 998
    5. Jagabaya / Prabu Pagulingan. 998 - 1114
    6. Mertalaya / Sunan Guling. 1114 – 1237
    7. Tirtakusuma / Sunan Tuakan. 1237 – 1462
    8. Sintawati / Nyi Mas Ratu Patuakan. 1462 – 1530
    9. Satyasih / Ratu Inten Dewata Pucuk Umum 1530 – 1578
    10. Pangeraan Kusumahdinata II / Prabu Geusan Ulun (1578-1601), eta sanes terlalu dipaksakan kang upami ngaos buku salsilah rundayan asli Jati Sampurna Cipancar Sumedang mah tangtos ngartos awal berdirina Tembong Agung...mung upami pembagian tahun Prabu Lembu Agung sareng Prabu Gajah Agung dumasar garis besarna mungkul....

    BalasHapus
  4. D silsilah Raja2 tertulis Prabu Geusan Ulun anak k 3 dr Prabu Tajimalela tp tertulis jg jika Prabu Geusan Ulun anak d Prabu Santri

    Ada kesalahan penulisan atau gimana,???

    BalasHapus
  5. Anak ke 3 dari prabu tadjimalela adalah sunan Ulun yang memilih untuk mengabdi kembali ke tanah leluhurnya yaitu galuh

    BalasHapus
  6. Hatur Nuhun tos Kersa berbagi,
    Mugia Janten kasaean.

    BalasHapus