Pengantar
Mulai hari ini tanggal 2
September 2017 bertepatan dengan tanggal 11 Dzulhijah 1438 H, akan mulai menulis
tentang sejarah Sumedang, silsilah, keturunan dan pengaruhnya di tatar Sunda.
Sangat sayang memang, mumpung masih banyak tokoh yang masih hidup dan juga
masih eksis menulis, atau masih bisa ditanya. Sebelum terputus mungkin kita
harus berusaha untuk membuat sambungan.
Salah satu dari bangsa beradab adalah memelihara kesinambungan peradaban, termasuk pemikiran dan juga silsilah. Karena tanpa kesinambungan kita hanya akan berkutik pada bangsa yang memulai berpikir dari nol ke nol, tanpa berkesudahan. Tadisi sunda mengajarkan kepada kita harus hidup rancage, yaitu hidup yang berkesinambungan menuju ketinggian martabat / derajat, dengan melakukan perbaikan perbaikan yang bertahap, seumpama naik tangga kebaikan. Karena itu jika kita bisa memulainya, agar supaya generasi berikutnya, tidak memulai berpikir dari nol ke nol, maka adalah suatu kesempatan.
Salah satu dari bangsa beradab adalah memelihara kesinambungan peradaban, termasuk pemikiran dan juga silsilah. Karena tanpa kesinambungan kita hanya akan berkutik pada bangsa yang memulai berpikir dari nol ke nol, tanpa berkesudahan. Tadisi sunda mengajarkan kepada kita harus hidup rancage, yaitu hidup yang berkesinambungan menuju ketinggian martabat / derajat, dengan melakukan perbaikan perbaikan yang bertahap, seumpama naik tangga kebaikan. Karena itu jika kita bisa memulainya, agar supaya generasi berikutnya, tidak memulai berpikir dari nol ke nol, maka adalah suatu kesempatan.
Mungkin kita pernah membaca perkataan
dari Al Biruni, seorang intelektual muslim yang dianggap sebagai salah satu
tokoh ensiklopedis. Ia berkata yang intinya bahwa fungsi sebuah tulisan adalah
memberi tahu kepada yang tidak tahu, atau generasi sesudah kita yang memang belum mengetahuinya. Dan yang kedua adalah mengkritik atau memperbaiki jika
perlu diperbaiki. Sebagai suatu upaya dinamisasi cara berpikir tiap zaman.
Sumedang sebagai pewaris tahta
Pajajaran tentu pengaruhnya sangat besar dalam peradaban di tanah Sunda. Dan
untuk itu, dalam tulisan ini dicoba dicari jejaknya melalui keturunan dari
Pangeran pangeran Sumedang, dan keturunannya, yang tersebar di tatar sunda.
Sambil menyelam minum air. Karena secara silsilah penyusun tulisan ini masih mempunyai silsilah yang ada sangkut pautnya, dengan silsilaah raja raja sumedang. Dalam catatan yang tercatat turun temurun, bahwa masyarakat Desa Hariang dimana penulis berasal didirikan oleh Raden Wangsawijaya (anak dari bupati bandung pertama) dan Nyi Mas Bayun, putri dari Pangeran Rangga Gede bin Prabu Geusan Ulun. Dari silsilah pihak ayah, maka penyusun merupakan keturunan Nyi Mas Bayun diurutan ke-11 atau masih turunan Prabu Geusan Ulun ke-13. Dan dari pihak ibu, kakeknya Raden Sacabrata atau dikemudian hari dikenal juga dengan nama Raden Supardi (yang bermukim di Cihayam) merupakan salah seorang dari turunan Bangsawan Sumedang. Dan juga dari pihak ibunya ayah (nenek) juga silsilahnya masih tersambung dengan Pangeran Rangga Gempol III.
Dari
sekian tahun membaca sejarah tentang sumedang, mungkin sudah saatnya mencoba
ikut meramaikan kajian tentang Sumedang ini. Tulisan ini merupakan ringkasan,
cuplikan dari berbagai referensi yang ada kaitannya dengan Sumedang. Sayang
memang jika tidak ikut mencatat atau menulis. Karena mungkin hal ini minimal
bisa bermamfaat untuk diri sendiri sebagai pengingat untuk disampaikan kepada
generasi berikutnya, atau untuk membangkitkan suatu kebanggaan atau identitas
sebagai seorang yang pernah lahir atau dibesarkan di daerah Sumedang, dan juga
yang marasa keturunan Sumedang.
Meskipun
pernah mengalami berbagai kekuasaan yang panjang. Tetapi yang menjadi ciri
orang Sumedang adalah tentang egaliterisme, atau kemerdekaan individu dan tidak
terlalu terjebak pada budaya feodalistik. Dan tentu setelah era Pangeran
santri, Sumedang telah menjadi pusat islamisasi di tatar sunda, yang nyunda.
Karena itu kemungkinan nantinya Sumedang bisa menjelma menjadi pusat Islamisasi
yang modern dan egaliter untuk berbagai negeri. Meskipun hal ini masih belum terjadi. Jika merunut sejarah bahwa Pangeran Santri adalah cicit dari Syekh Datuk Kahfi, salah seorang penyebar Islam di tanah sunda, guru dari Pangeran Walansungsang, termasuk pengaruhnya sangat besar terhadap Sunan Gunung Jati.
Sumedang
meskipun luas wilayah Sumedang kata sebuah lagu dikatakan “ngarangrangan” tetapi pada kelanjutannnya akan tetap menjadi
sari (pusat intelektualitas) dan juga berujung dengan kejayaan (istilahnya
“Ujung Jaya”). Sekarang sebagian wilayah Sumedang, seperti Wilayah Jatinangor
telah berubah menjadi kawasan pendidikan, meskipun pada awalnya Bandung juga
dulunya merupakan bagian dari Sumedang. Dan nama Ujung jaya sekarang telah menjadi nama suatu
tempat di ujung daerah Sumedang berbatasan dengan Majalengka dan juga
Indramayu, yang nantinya juga diprediksi akan menjadi kota masa depan, karena
di sekitar daerah tersebut nantinya akan di bangun Bandara Kertajati yang ada
di Majalengka, yang tidak begitu jauh dari Ujung Jaya.
Sari
adalah intisari bunga yang nantinya akan berubah menjadi buah. Jadi intinya
jika menginginkan suatu hasil buah yang bagus berarti kita harus mendidik
manusia dengan suatu paradigma yang bisa dipertanggungjawabkan. Dan hal itu
hanya bisa diraih dengan pendidikan. Pendidikan yang berkelanjutan dan modern.
Mungkin
bukan nama tempat yang jadi tujuan dari sasakala Sumedang ke depan. Tetapi
harusnya menjadi program jangka panjang, menjadikan Sumedang sebagai sari atau
pusat pendidikan untuk suatu ujung yang namanya kejayaan. Demikian tulisan ini dibuat, mudah mudahan sebagai pengingat.
Dan sebagai pengingat juga, Prabu Tajimalela yang dianggap sebagai sumedang telah memberikan patokan yang jelas kita hidup di dunia, yaitu sebagai penerang atau pencerah. Prabu Tajimalela berkata Insun Medal Insun Madangan, dalaam artian bebas berarti sayaa dilahirkan saya menerangi. Menerangi dalam artian sekarang bisa diartikan sebagai pencerah. Jadi orang sumedang telah diberi bimbingan oleh sang founding father agar menjadi pencerah. Berarti segala argumen atau apapun yang dilakukan oleh kita harus dapat dipertangung jawabkan dan berwawasan masa depan. Bukan sebagai penghayal atau penjaga mitos, yang justru menjebakan diri kepada kejumudan atau stagnan.
Dan sebagai pengingat juga, Prabu Tajimalela yang dianggap sebagai sumedang telah memberikan patokan yang jelas kita hidup di dunia, yaitu sebagai penerang atau pencerah. Prabu Tajimalela berkata Insun Medal Insun Madangan, dalaam artian bebas berarti sayaa dilahirkan saya menerangi. Menerangi dalam artian sekarang bisa diartikan sebagai pencerah. Jadi orang sumedang telah diberi bimbingan oleh sang founding father agar menjadi pencerah. Berarti segala argumen atau apapun yang dilakukan oleh kita harus dapat dipertangung jawabkan dan berwawasan masa depan. Bukan sebagai penghayal atau penjaga mitos, yang justru menjebakan diri kepada kejumudan atau stagnan.
Sambil menyelam minum air. Karena secara silsilah penyusun tulisan ini masih mempunyai silsilah yang ada sangkut pautnya, dengan silsilaah raja raja sumedang. Dalam catatan yang tercatat turun temurun, bahwa masyarakat Desa Hariang dimana penulis berasal didirikan oleh Raden Wangsawijaya (anak dari bupati bandung pertama) dan Nyi Mas Bayun, putri dari Pangeran Rangga Gede bin Prabu Geusan Ulun. Dari silsilah pihak ayah, maka penyusun merupakan keturunan Nyi Mas Bayun diurutan ke-11 atau masih turunan Prabu Geusan Ulun ke-13. Dan dari pihak ibu, kakeknya Raden Sacabrata atau dikemudian hari dikenal juga dengan nama Raden Supardi (yang bermukim di Cihayam) merupakan salah seorang dari turunan Bangsawan Sumedang. Dan juga dari pihak ibunya ayah (nenek) juga silsilahnya masih tersambung dengan Pangeran Rangga Gempol III.
Wassalam
Adeng Lukmantara
Peminat Study Peradaban Sunda dan Islam
Peminat Study Peradaban Sunda dan Islam
SUMEDANG, SEJARAH DAN SILSILAH I,
I. PENDAHULUAN
Sejarah tentang Sumedang oleh para penulis sejarah sunda, selalu diawali dengan kisah Batara Prabu Aji Putih, seorang tokoh keagamaan atau batara dari kerajaaan Galuh, yang dianggap sebagai perintis dari keberadaaan Sumedang.
Batara Prabu Aji Putih pada awalnya mendirikan kabuyutan Tembong Agung di daerah Cipaku Darmaraja. Kabuyutan atau Kabataraan dalam tradisi Sunda merupakan suatu tempat yang disakralkan oleh masyarakat dan mempunyai suatu kekuasaan yang independen, baik wilayah maupun otoritasnya terutama dalam bidang keagamaan
Dan Sumedang menjadi suatu negara mula mula dibangun oleh anak Prabu aji Putih yang bernama Prabu Tajimalela. Prabu Tajimalela hidup sezaman dengan raja sunda yang bernama Ragamulya Luhur Prabawa (mp. 1340-1350 M) dan juga tokoh Suryadewata, orang tua Batara Gunung Bitung dari Talaga. Prabu Tajimalela kemudian meletakan dasar dasar kerajaan dari kabuyutan yang dibangun ayahnya, Prabu Aji Putih. Karena itu, Prabu Tajimalela ini kemudian dianggap sebagai pendiri kerjaan Sumedang sebenarnya atau The Founding Father Sumedang.
Prabu Tajimalela dalam catatan sejarah memiliki banyak nama diantaranya Prabu resi Agung Cakrabuana dan Batara Tuntang Buana. Dan nama kerajaannya pun berevolusi dari nama Tembong Agung yang dibangun oleh Prabu Aji Putih kemudian menjadi Himbar Buana di era Prabu Tajimalela.
b.. Pendapat Yang Terlalu dipaksakan
I. PENDAHULUAN
Sejarah tentang Sumedang oleh para penulis sejarah sunda, selalu diawali dengan kisah Batara Prabu Aji Putih, seorang tokoh keagamaan atau batara dari kerajaaan Galuh, yang dianggap sebagai perintis dari keberadaaan Sumedang.
Batara Prabu Aji Putih pada awalnya mendirikan kabuyutan Tembong Agung di daerah Cipaku Darmaraja. Kabuyutan atau Kabataraan dalam tradisi Sunda merupakan suatu tempat yang disakralkan oleh masyarakat dan mempunyai suatu kekuasaan yang independen, baik wilayah maupun otoritasnya terutama dalam bidang keagamaan
Dan Sumedang menjadi suatu negara mula mula dibangun oleh anak Prabu aji Putih yang bernama Prabu Tajimalela. Prabu Tajimalela hidup sezaman dengan raja sunda yang bernama Ragamulya Luhur Prabawa (mp. 1340-1350 M) dan juga tokoh Suryadewata, orang tua Batara Gunung Bitung dari Talaga. Prabu Tajimalela kemudian meletakan dasar dasar kerajaan dari kabuyutan yang dibangun ayahnya, Prabu Aji Putih. Karena itu, Prabu Tajimalela ini kemudian dianggap sebagai pendiri kerjaan Sumedang sebenarnya atau The Founding Father Sumedang.
Prabu Tajimalela dalam catatan sejarah memiliki banyak nama diantaranya Prabu resi Agung Cakrabuana dan Batara Tuntang Buana. Dan nama kerajaannya pun berevolusi dari nama Tembong Agung yang dibangun oleh Prabu Aji Putih kemudian menjadi Himbar Buana di era Prabu Tajimalela.
Mungkin banyak orang kurang mengenal tentang sistem pemerintahan / sitem kenegaraan dalam tradisi Sunda tempo dulu. Dalam
tradisi Sunda Klasik sistem kenegaraan lebih bercorak sistem negara Federal, bukan negara kesatuan. Suatu wilayah kerajaan
negara bagian (negara dalam negara) diakui independensinya. Dan negara yang
muncul kemudian selalu setia terhadap kerajaan utamanya. Demikian juga Sumedang
Larang yang secara hirarki menjadi bagian dari kerajaan Galuh, dan merupakan
suatu wilayah dari kerajaan Sunda (atau Sunda Galuh).
Hingga
awal abad ke-16 M, Sumedang larang mengambil corak agama Hindu sebagai agama
resminya, meskipun secara tradisi masyarakatnya masih berpegang teguh kepada
kepercayaan aslinya. Baru pada awal abad ke-16 M, Sumedang Larang telah beralih
menjadi suatu kerajaan yang berbasiskan Islam, dengan adanya pernikahan putri
kerajaan Sumedang Larang, Ratu Pucuk Umun dengan seorang bangsawan dari
kerajaan Cirebon, yang bernama Pangeran Kusumah Dinata, atau dikemudian hari
terkenal dengan nama Pangeran Santri. Dari perkawinan antara Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri, kemudian lahir seorang sumedang Larang terbesar, Prabu Geusan Ulun.
Setidaknya
terdapat 10 penguasa Sumedang larang dari Batara Prabu Aji Putih hingga Prabu Geusan Ulun. Secara berurutan penguasa Sumedang larang itu antara lain:
- Batara Prabu Aji Putih
- Prabu Tajimalela (Batara Tuntang Buana)
- Prabu Lembu Agung (Prabu Jayabrata/ Prabu Lembu Peteng Aji)
- Prabu gajah Agung (Prabu Atmabrata)
- Prabu Pagulingan (Prabu Wirajaya Jagabaya)
- Sunan Guling ( Prabu Mertalaya)
- Sunan Tuakan (Prabu Tirta Kusuma)
- Ratu Sintawati (Nyi Mas Patuakan) menikah dengan Sunan Corenda dari Talaga
- Ratu Satyasih (Ratu Inten Dewata / bergelar Ratu Pucuk Umun), menikah dengan Pangeran Santri dari Cirebon.
- Prabu Geusan Ulun
A..
Penamaan "Sumedang"
Para penulis sejarah Sumedang
sering mengungkapkan bahwa kata sumedang berasal dari perkataan Prabu Taji
Malela, sang founding father Sumedang, yaitu “ Insun
Medal Insun Madangan” (Saya dilahirkan saya menerangi/ mencerahkan). Tetapi ada yang mengaitkan dengan yang tertulis dalam naskah naskah kuno, seperti yang diungkap dalam Naskah Carita Parahiyangan dan Naskah Bujangga Manik, yaitu nama Medang Kahiyangan.
1.. Perkataan Prabu Tajimalela
Ketika Prabu Tajimalela selesai bertapa, ia berkata, "Insun Medal Insun Madangan", Jadi kata insun medal berarti saya dilahirkan, sedang Insun Madangan berari saya menerangi, atau kata yang lebih positif biasanya diartikan dengan kata mencerahkan. Jadi Prabu Taji Malela telah membuat dasar / fondasi atau merupakan tanggung jawab dari keberadaan orang Sumedang di muka bumi (dilahirkan di bumi), yaitu harus menjadi penerang atau pencerah umat Manusia. Inilah sebenarnya yang mungkin menjadi amanat berkelanjutan dari Sang pendiri Sumedang, yaitu harus menjadi pencerah pencerah atau penerang penerang bagi keihidupan manusia.
1.. Perkataan Prabu Tajimalela
Ketika Prabu Tajimalela selesai bertapa, ia berkata, "Insun Medal Insun Madangan", Jadi kata insun medal berarti saya dilahirkan, sedang Insun Madangan berari saya menerangi, atau kata yang lebih positif biasanya diartikan dengan kata mencerahkan. Jadi Prabu Taji Malela telah membuat dasar / fondasi atau merupakan tanggung jawab dari keberadaan orang Sumedang di muka bumi (dilahirkan di bumi), yaitu harus menjadi penerang atau pencerah umat Manusia. Inilah sebenarnya yang mungkin menjadi amanat berkelanjutan dari Sang pendiri Sumedang, yaitu harus menjadi pencerah pencerah atau penerang penerang bagi keihidupan manusia.
Karena Rangkaian perkataan Prabu
Tajimalela ini yang berwawasan ke depan ini, menjadikan perkataan ini dianggap
menjadi asal usul dari penamaan Sumedang itu sendiri, InSUn Medal Insun
maDANGan, atau InSUn medal insun MADANGan.
2.. Dari Sumber Naskah Kuno
2.. Dari Sumber Naskah Kuno
Tapi Sumedang ada yang
berpendapat dari asal nama sumedang di era Pajajaran yang bernama Medang
Kahiyangan, seperti diungkapkan dalam Naskah Carita Parahiyangan dan juga Naskah Bujangga Manik.
Kata Medang sendiri secara etistemologi berarti luas atau tanah luas. Medang juga bisa berasal dari nama sejenis pohon, Litsia Chinensissekarang dikenal sebagai pohon Huru. Konon dulu pohon medang banyak tumbuh subur di dataran tinggi sampai ketinggian 700 m dari permukaan laut seperti halnya Sumedang merupakan dataran tinggi. Sedang kata Su berarti baik atau indah, dan Larang diartikan jarang tandingannya atau tiada tanding. Jadi kalau Sumedang Larang berarti tanah luas yang jarang tandingannya.
Kata Medang dalam tradisi sunda juga merupakan kerajaan yang dibangun oleh Prabu Sena dan Prabu Sonjaya di sekitar jawa tengah sekarang. Prabu Sena dan juga Prabu Sonjaya merupakan raja raja keturunan Galuh yang mendirikan kerajaan Medang diJawa tengah (Mataram kuno). Bahkan anak dari Prabu Hariang Banga, bernama Rakeyan Medang, karena pernah dibesarkan oleh kakeknya (Prau Sonjaya) di Medang.
Kata Medang sendiri secara etistemologi berarti luas atau tanah luas. Medang juga bisa berasal dari nama sejenis pohon, Litsia Chinensissekarang dikenal sebagai pohon Huru. Konon dulu pohon medang banyak tumbuh subur di dataran tinggi sampai ketinggian 700 m dari permukaan laut seperti halnya Sumedang merupakan dataran tinggi. Sedang kata Su berarti baik atau indah, dan Larang diartikan jarang tandingannya atau tiada tanding. Jadi kalau Sumedang Larang berarti tanah luas yang jarang tandingannya.
Kata Medang dalam tradisi sunda juga merupakan kerajaan yang dibangun oleh Prabu Sena dan Prabu Sonjaya di sekitar jawa tengah sekarang. Prabu Sena dan juga Prabu Sonjaya merupakan raja raja keturunan Galuh yang mendirikan kerajaan Medang diJawa tengah (Mataram kuno). Bahkan anak dari Prabu Hariang Banga, bernama Rakeyan Medang, karena pernah dibesarkan oleh kakeknya (Prau Sonjaya) di Medang.
Nama Sumedang kemungkinan digunakan ketika Sumedang memasuki era Islam.
Karena hal ini sesuai dengan naskah primer Sunda, yaitu: Naskah Bujangga Manik
dan Naskah Carita Parahiyangan. Dalam kedua naskah ini nama Sumedang masih bernama
Medang Kahiyangan.
Naskah Bujangga Manik ditulis
pada ahir abad kee-15 M, sedang Naskah Carita Parahiyangan ditulis pada akhir
abad ke-16 M, setelah ibukota Pakuan
Pajajaran jatuh pada tahun 1579 M. Tidak mungkin para penulis naskah
kuno ini tidak menyantumkan sesuatu nama sesungguhnya.
Dengan demikian, jika
mengacu pada dua nasskah ini,
kemungkinan nama Sumedang Larang dikenal di akhir abad ke-16 M di era Sumedang
memasuki era Islam di zaman Pangeran Santri atau anak dan penggantinya Prabu
Geusan Ulun.
a.. Naskah Bujangga Manik
Naskah Bujangga Manik adalah
naskah primer, yang merupakan peninggalan dari naskah berbahasa Sunda yang
sangat berharga. Naskah ini ditulis dalam daun nipah, dalam puisi naratif
berupa lirik yang terdiri dari 8 suku kata. Naskah ini seluruhnya terdiri
dari 29 daun nipah, yang masing-masing berisi 56 baris
kalimat yang terdiri dari 8 suku kata. Naskah ini sekarang
tersimpan di perpustakaan Bodleian, di Oxford sejak tahun 1627 M.
Yang menjadi tokoh dan yang
menulis naskah ini adalah Prabu Jaya Pakuan alias Bujangga
Manik, seorang resi Hindu dari kerajaan Sunda. Walaupaun ia seorang prabu
(keluarga raja/ bangsawan) dari keraton Pakuan Pajajaran, ia lebih suka
menjalani hidup sebagai seorang resi.
Bujangga Manik melakukan perjalanan 2 kali ke negeri
Jawa. Pada perjalanan kedua, ia singgah di Bali untuk beberapa lama dan akhirnya ia bertapa di sekitar gunung
Patuha sampai ia meninggal.
Bujangga Manik dalam naskahnya menggambarkan topografi pulau
jawa pada akhir abad ke-15 M. Lebih dari 400 nama tempat tinggal dan sungai disebut dalam
naskah ini dan berbagai nama tempat yang masih digunakan hingga kini, termasuk Sumedang, yang saat itu bernama Medang
Kahiyangan.
Bujangga
Manik melewati Medang Kahiyangan 3 kali, yang pertama saat ia melakukan
perjalanan pertama dari Pakuan ke Pemalang (sekaang termasuk wilayah Jawa
Tengah). Dan yang kedua ketika ia melakukan perjalanan yang kedua dari Pakuan
ke Bali. Dan yang ketiga ketika ia kembali dari perjalanannya ke Bali.
Dalam
perjalanan pertama terjemahan bebasnya sebagai berikut:
“............Setelah tiba di Putih
Birit, aku harus melakukan sebuah pendakian yang panjang, (yang aku lakukan
sedikit demi sedikit.) Setelah tiba di Puncak, aku duduk di atas sebuah batu
pipih, dan mengipasi diriku sendiri. Di sana ia melihat pegunungan: Terdapat
Bukit Ageung (sekarang Gunung Gede) , tempat tertinggi dalam kekuasaan
Pakuan.
Setelah pergi dari sana, aku pergi ke
daerah Eronan. Aku sampai di Cinangsi, menyeberangi Sungai Citarum. Setelah
berjalan melewati daerah ini, aku menyeberangi Sungai Cipunagara, bagian dari
daerah Medang Kahiangan, berjalan melewati Gunung Tompo Omas (sekarang
nama Gunung Tampomas, menyeberangi Sungai Cimanuk, berjalan melewati Pada
Beunghar, menyeberangi Sungai Cijeruk Manis, aku berjalan melewati Conam,
meninggalkan Gunung Ceremay. Setelah aku tiba di Luhur Agung (sekarang Luragung
di daerah Kabupaten Kuningan), , menyeberangi Sungai Cisinggarung.
(Cisanggarung).....”
Dalam
perjalanan kedua dari Pakuan ke Bali dalam terjemahan bebasnya sebagai berikut:
“...........Setelah naik ke Goha, setiba
di Timbun, pergi menuju Bukit Timbun, aku tiba di Mandata, menyeberangi Sungai
Citarum, berjalan melewati Ramanea. Setiba di Gunung Sempil, berada di
belakang Gunung Bongkok, dan tiba di Gunung Cungcung, dalam wilayah Saung Agung.
Telah aku lalui,lalu berbelok menuju
timur,menyeberangi Sungai Cilamaya, menyeberangi Sungai Cipunagara, dalam
wilayah Medang Kahiangan, berjalan melewati Gunung Tompo Omas, menyeberangi
Sungai Cimanuk, pergi melalui Pada Beunghar, menyeberangi Sungai
Cijeruk-Manis. Aku berjalan melewati Conam, Gunung Ceremay telah
kutinggalkan, Timbang dan Hujung Barang, Kuningan Darma Pakuan, semua tempat
itu telah kulalui.
Setelah tiba di Luhur Agung, aku
menyeberangi Sungai Cisinggarung. Setelah tiba di ujung Sunda, sampailah
di Arga Jati, dan tiba di Jalatunta, yang menyimpan kenangan Silih Wangi.............”.
b .. Naskah Carita parahiyangan
Naskah Carita Parahiyangan merupakan
suatu naskah Sunda kuno yang berbahasa Sunda kuno, yang dibuat pada akhir abad ke-16
M, yang menceritakan sejarah tanah sunda, mengenai kerajaan Sunda, istana
(keraton) galuh dan istana (keraton) pakuan. Naskah ini tersimpan di Museum
Nasional Jakarta.
Naskah Carita Parahiyangan
terdiri dari 47 lembar daun lontar ukuran 21 x 3 cm, yang tiap
lembarnya berisi 4 baris. Huruf yang digunakan dalam penulisan naskah ini adalah aksara Sunda kuno. Tentang pengarangnya tidak disebutkan. Dari
analisisnya menunjukan bahwa ia merupakan seorang yang ahli dalam bidang
sosiologi.
Naskah ini pertama kali diteliti oleh K.F. Holle, kemudian C.M Pleyte.
Naskah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Purbacaraka
sebagai tambahan laporan mengenai batu Tulis dibogor, dan selanjutnya
oleh beberapa sarjana sunda.
Naskah Carita Parahiyangan ini menceritakan
sejarah sunda dari awal kerajaan Galuh pada zaman Wretikandayun sampai
runtuhnya Pakuan Pajajaran (ibukota kerajaan Sunda) akibat serangan kesultanan
Banten.
Dalam
naskah ini yang berkaitan dengan Sumedang adalah yang menceritakan tentang Prabu
Surawisesa, pengganti Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata (Prabu Siliwangi).
Selama berkuasa 14 tahun ia telah melakukan peperangan 15 kali, diantaranya di
Medang Kahihayang atau Sumedang sekarang
Disilihan inya ku Prebu Surawisésa, inya nu surup ka Padaré
n, kasuran, kadiran,
kuwamén.
Prangrang limawelas kali hanteu éléh, ngalakukeun bala
sariwu.
Prangrang ka Kalapa deung Aria Burah. Prangrang ka
Tanjung. Prangrang ka Ancol
kiyi. Prangrang ka Wahanten girang. Prangrang ka
Simpang. Prangrang ka Gunungbatu.
Prangrang ka Saungagung. Prangrang ka Rumbut.
Prangrang ka Gunung. Prangrang ka
Gunung Banjar. Prangrang ka Padang. Prangrang ka
Panggoakan. Prangrang ka
Muntur. Prang rang ka Hanum. Prangrang ka Pagerwesi.
Prangrang ka
Medangkahiyangan.
Ti inya nu pulang ka Pakwan deui. hanteu nu nahunan
deui, panteg hanca di bwana.
Lawasniya ratu opatwelas tahun.
(Diganti enya eta ku Prebu Surawisesa, anu hilang di Padaren, Ratu gagah
perkosa, teguh jeung gede wawanen.
Perang limawelas kali henteu eleh. Dina ngajalankeun peperangan teh
kakuatan
baladna aya sarewu jiwa.
Perang ka Kalapa jeung Aria Burah. Perang ka Tanjung. Perang ka Ancol kiyi.
Perang ka
Wahanten Girang. Perang ka Simpang. Perang ka Gunungbatu. Perang ka
Saungagung.
Perang ka Rumbut. Perang ka Gunungbanjar. Perang ka Padang. Perang ka
Pagoakan.
Perang ka Muntur. Perang ka Hanum. Perang ka Pagerwesi. Perang ka Madangkahiangan.
Ti dinya mulang ka pakwan deui. Hanteu naunan deui. Ratu tilar dunya.
Lawasna jadiratu opatwelas taun)
B.. Asal
Usul dan Silsilah
Setidaknya ada 2
pendapat tentang asal usul dari sang pendiri Sumedang, Prabu Guru Aji
Putih. Pendapat pertama dikatakan bahwa Sang Prabu Guru Aji Putih merupakan
anak dari Aria Bimaraksa atau yang terkenal dengan nama Aki Balangantrang, yang merupakan patih
dari kerajaan Galuh di era raja Prabu Purbasora. Hal ini menurut silsilah dari
Cipaku darmaraja yang diungkapkan dalam blog cipakudarmaraja.blogspot.com, dan
bagan seperti di bawah ini.
Tetapi pendapat ini
ada kelemahan dalam urutan tahun, yang kurang nyambung. Maksudnya terlalu
panjang rentang tahun antara sang pendiri Prabu Aji Putih dengan raja raja
berikutnya. Karena itu ada pendapat yang kedua yang dianggapnya lebih relevan
dengan urutan tahun, yaitu bahwa sang pendiri Sumedang Prabu Aji Putih berasal
dari kalangan istana Galuh sezaman dengan ketika raja Sunda berkuasa Prabu
Surya Dewata.
1.. Pendapat pertama
Menurut silsilah dari Cipaku darmaraja, asal usul sang pendiri Sumedang, bahwa Sang Prabu Guru
Aji Putih merupakan anak dari Aria Bimaraksa atau yang terkenal dengan nama Aki
Balangantrang.
a.. Aria Bima Raksa atau Aki Balangantrang
Aria Bima Raksa atau
Aki Balangantrang merupakan senopati atau patih di era Prabu Purbasora, raja
kerajaan Galuh ke-3. Tetapi karena Prabu Purbasora di kudeta oleh keponakannya
yang bernama Sonjaya dalam serangan mendadak di malam hari. Aria Bimaraksa atau
Aki Balangantrang dapat meloloskan diri ke Geger Sunten. Dan ia
mendirikan padepokan disini.
Aki Balangantrang
ini adalah yang mendidik dan membesarkan Ciung Wanara atau Prabu
Manarah. Dan kemudian menjadi pengatur strategi Ciung Wanara untuk merebut
kembali tahta kerajaan Galuh dari keturunan Prabu Sonjaya. Yang bernama Prabu
Temperan.
Aki Balangantrang
atau Aria Bima Raksa merupakan putra dari Jantaka, anak kedua dari pendiri
kerajaan Galuh, Wretikandayun. Jantaka lebih dikenal dengan nama Rahiyang Kidul
atau Resiguru di Wanayasa atau Resiguru di Denuh.
Aki Balangantrang
atau Aria Bimaraksa ini menikah dengan anak Prabu Purbasora yang bernama Dewi
Komalasari. Ketika Purbasora menjadi raja dengan mengkudeta Prabu Sena. Aria
Bimaraksa ini diangkat menjadi senopati atau patihnya. Prabu Purbasora berkuasa
selam 7 tahun yang akhirnya dikudeta oleh keponakannya, yang bernama Sonjaya,
yang merupakan anak dari Prabu Sena, yang dikudeta sebelumnya. Sonjaya
melakukan serangan mendadak ke Galuh, sehingga keluarga Prabu Purbasora banyak
yang meninggal. Dan hanya menantu dan istrinya, Aria Bimaraksa yang bisa
meloloskan diri.
Prabu Purbasora
merupakan anak dari Prabu Sempak Waja, putra pertama dari Wretikandayun, sang
pendiri kerajaan Galuh. Ia tidak menjadi raja menggantikan ayahnya, karena ia
ompong. Dalam tradisi Galuh, bahwa cacat tubuh adalah penghalang putra mahkota
menjadi raja. Begitu juga adik Sempak Waja yang bernama Jantaka atau Rahiyang
Kidul, ayah dari Aria Bimaraksa. Yang juga tidak bisa jadi raja karena ia
menderita penyakit kemir atau burut. Sehingga tahta Galuh jatuh pada putra
bungsu Wretikandayun yang bernama Amara atau Prabu Mandiminyak. Setelah Prabu
Mandiminyak meninggal, tahta jatuh kepada anaknya, Prabu Sena. Karena dianggap
cacat moral dan juga lebih berhak atas tahta, maka Prabu Sena kemudian dikudeta
oleh Prabu Purbasora.
Dalam silsilah ini
Aria Bimaraksa atau Aki Balangantrang ini mempunyai anak 3 orang, yaitu: Prabu
guru Aji Putih, Jagat Jayanata dan Dewi Sari Legawa. Dewi Sari Legawa ini
menikah dengan Resi Demunawan, yang merupakan anak kedua dari Sempak waja, adik
Prabu Purbasora..
b.. Pendapat Yang Terlalu dipaksakan
Dari silsilah diatas yang dikatakan bahwa Prabu Aji Putih merupakan putra dari
Bimaraksa atau Aki Balangantrang. Tetapi seolah pendapat ini terlalu
dipaksakan, karena dalam rentang waktu Prabu Aji Putih berkuasa (678) hingga meninggalnya Ratu Inten Dewata
(1578) atau rentang waktu 900 tahun hanya 9 penguasa, yang berarti rata rata
berkuasa setiap penguasa 100 tahun. Dan silsilah tahun yang ada dalam buku buku
sejarah Sumedang sebagai berikut:
1. Putih (Raja Tembong Agung) 678 - 721
2. Batara
Tuntang Buana / Prabu Tajimalela. 721 - 778
3. Jayabrata
/ Prabu Lembu Agung 778 - 893
4. Atmabrata
/ Prabu Gajah Agung. 893 - 998
5. Jagabaya
/ Prabu Pagulingan. 998 - 1114
6. Mertalaya
/ Sunan Guling. 1114 – 1237
7. Tirtakusuma
/ Sunan Tuakan. 1237 – 1462
8. Sintawati
/ Nyi Mas Ratu Patuakan. 1462 – 1530
9. Satyasih
/ Ratu Inten Dewata Pucuk Umum 1530 – 1578
10. Pangeraan Kusumahdinata II / Prabu Geusan Ulun (1578-1601)
10. Pangeraan Kusumahdinata II / Prabu Geusan Ulun (1578-1601)
Jika berkuasanya Prabu Aji Putih dari 678 hingga 721 atau 43 tahun masih masuk akal,
di era Prabu Tajimalela berkuasa dari tahun 721 hingga 778 atau 57 tahun juga
masih masuk akal. Tetapi setelah Prabu Lembu Agung (115 tahun) , Prabu Gajah
Agung (105 tahun) , prabu Pagulingan (116 tahun), Sunan Guling (123 tahun), dan
Sunan Tuakan (225 tahun) seolah pendapat itu teralalu dipaksakan. Apalagi ada
kisah bahwa Prabu Lembu Agung hanya sebentar berkuasa dan digantikan oleh
adiknya Prabu Gajah Agung. Jika melihat tahun mereka yang bersaudara ini
berkuasa jika dijumlah ada 220 tahun, sesuatu yang kurang masuk akal.
Jadi pendapat yang kedua yang kemungkinan masuk akal, yaitu bahwa Prabu Aji Putih
merupakan keturunan dari Bimaraksa atau Aki Balangantrang. Tetapi karena budaya
tulis menulis tidak menjadi tradisi dan hanya mengandalkan budaya lisan, seolah
silsilah telah terputus. Karena tidak bisa menceritakan secara detail tentang
silsilah dari Prabu Aji Putih ke Aki Balangantrang tersebut.
Dan
pendapat yang masuk akal adalah pendapat bahwa Prabu Aji Puti mendirikan
Sumedang diera Prabu Suryadewata.
2..
Pendapat Kedua
Sumedang pada awalnya merupakan sebuah kabuyutan/kabataraan yang didirikan oleh Prabu Aji
Putih,. Dalam sejarah kerajaan Sunda atau Galuh disamping kekuasaan raja, juga
ada suatu bentuk kekuasaan keagamaan yang diakui sebagai daerah yang sangat
dihormati, dan punya otoritas dalam keagamaan, yang disebut dengan kabuyutan
atau ada yang menyebut dengan kabataraan.
Ketika pusat kabuyutan sunda di karantenan gunung sawal berubah menjadi kerajaan
Panjalu dibawah pimpinan Rangga Sakti, maka
pada saat itu seolah sudah tidak ada lagi kabuyutan atau kabataraan di
lingkungan kerajaan sunda Galuh. Karena itu Prabu Suryadewata
sebelum keraton Galuh di pindahkan ke Pakuan (Bogor sekarang)memerintahkan kepada Prabu Aji Putih untuk mendirikan kabuyutan / pusat keagamaan di
Tembong Agung.
Prabu Suryadewata merupakan raja Galuh, putra dari Prabu Ajiguna Wisesa,
seorang Raja Sunda Galuh yang berkuasa dari tahun 1333 sampai
dengan tahun 1340 M. Dalam Carita parahiyangan Prabu Ajiguna Wisesa ini disebut
hanya tempat meninggalnya “Nu hilang di Kidding” (yang Hilang di Kidding).
Prabu Ajiguna Wisesa mempunyai 3 orang anak, yaitu Prabu Ragamulya Luhur
Prabawa ( mp. 1340-1350 M) atau terkenal dengan nama Sang Aki Kolot. Ia
kemudian menggantikan tahtanya di kerajaan Sunda. Yang kedua Dewi Kiranasari merupakan anak kedua, yang menikah dengan Prabu Arya Kulon. Dan yang ketiga
Prabu Suryadewata, merupakan anak bungsu, yang kemuudian
diangkat menjadi Raja (Ratu) Galuh.
Mendapat perintah raja kemudian Prabu Aji Putih mendirikan kabuyutan yang dinamai Tembong
Ageung di Leuwi Hideung (sekarang berada di kecamatan Darmaraja). Tembong
Agung berarti Kelihatan besar / luhur (tembong berarti kelihatan, sedang agung
berarti besar dan luhur). Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan,
nama Kabuyutan Tembong Ageung mengalami beberapa kali
perubahan nama. Putra dari Aji putih yang
bernama Prabu Tajimalela, yang kemudian menggantikannya sebagai penguasa
kabuyutan, mengganti Tembong Ageung dengan nama Himbar Buana,
yang berarti menerangi alam. Dan di era Prabu Tajimalela ini ada pergeseran
dari kabuyutan atau kabataraan menjadi kerajaan.
C.. Ibukota
Berikut adalah nama nama daerah yang pernah menjadi ibukota Sumedang, baik era kerajaan maupun kabupaten. Dalam sejarahnya memang Sumedang telah melakukan beberapa kali perpindahan ibukota.
Berikkut adalah nama suatu daerah di Sumedang yang pernah menjadi ibukota baik di era kerajaan Sumedang Larang atau di era kabupatian.:
Tembong Ageung Girang
Tembong Ageung merupakan kabuyutan Prabu Guru Aji Putih, yang dianggap sebagai cikal bakal dari kerajaan Sumedang Larang. Tembong Ageung terletak di desa Ganeas kecamatan Ganeas.
Tembong Ageung
Merupakan ibukota di era Prabu Guru Aji Putih dan Prabu Tajimalela, sang pelopor kerajaan Sumedang Larang. Tempat ini terletak di dusun Muhara desa Leuwihideung kecamatan Darmaraja.
CiGuling
Ciguling merupakan ibukota kerajaan Sumedang larang di era Prabu Gajah Agung dan Ratu Nyi Mas Patuakan. Sekarang tempat ini dinamai situs Geger Sunten Ciguling yang terdapat di dusun Ciguling kelurahan Pasanggrahan kabupaten Sumedang Selatan.
Kutamaya
Kutamaya merupakan ibukota era Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun (Ratu Sumedang yang ke-8) berkuasa. Sekarang tempat ini disebut situs Kutamaya yang terletak di desa Padasuka Kecamatan Sumedang utara.
Dayeuh Luhur
Dayeuh Luhur merupakan ibukota di era Prabu Geusan Ulun berkuasa ketika komplik dengan Cirebon. Dayeuh Luhur terletak di Dusun Dayeuh Luhur desa Ganeas.
Tegal Kalong
Tegal Kalong sekarang terletak di desa Tegal Kalong kecamatan Sumedang utara. Tegal Kalong ini merupakan ibukota Sumedang di era bupati wedana Pangeran Suriadiwangsa atau Pangeran Rangga Gempol 1 yang berkuasa dari tahun 1601-1625, dan bupati ke-4 sumedang, yaitu Pangeran Panembahann atau Pangeran Rangga Gempol III yang berkuasa dari tahun 1656 hingga 1706 M.
Canukur
Merupakan ibukota ketika Pangeran Rangga Gede berkuasa.
Regol Wetan / Sulambitan
Regol Wetan merupakan ibukota di era pemerintahan Pangeran Panembahan atau Pangeran Rangga Gempol III yang berkuasa dari tahun 1656 hingga 1706 M, setelah kejatuhan ibukota lama oleh serangan Banten, Tegal Kalong. Regol Wetan terletak di kelurahan Regol Wetan kecamatan Sumedang Selatan. Regol wetan merupakan kota Sumedang sekarang.
C.. Ibukota
Berikut adalah nama nama daerah yang pernah menjadi ibukota Sumedang, baik era kerajaan maupun kabupaten. Dalam sejarahnya memang Sumedang telah melakukan beberapa kali perpindahan ibukota.
Tembong Ageung Girang
Tembong Ageung merupakan kabuyutan Prabu Guru Aji Putih, yang dianggap sebagai cikal bakal dari kerajaan Sumedang Larang. Tembong Ageung terletak di desa Ganeas kecamatan Ganeas.
Tembong Ageung
Merupakan ibukota di era Prabu Guru Aji Putih dan Prabu Tajimalela, sang pelopor kerajaan Sumedang Larang. Tempat ini terletak di dusun Muhara desa Leuwihideung kecamatan Darmaraja.
CiGuling
Ciguling merupakan ibukota kerajaan Sumedang larang di era Prabu Gajah Agung dan Ratu Nyi Mas Patuakan. Sekarang tempat ini dinamai situs Geger Sunten Ciguling yang terdapat di dusun Ciguling kelurahan Pasanggrahan kabupaten Sumedang Selatan.
Kutamaya
Kutamaya merupakan ibukota era Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun (Ratu Sumedang yang ke-8) berkuasa. Sekarang tempat ini disebut situs Kutamaya yang terletak di desa Padasuka Kecamatan Sumedang utara.
Dayeuh Luhur
Dayeuh Luhur merupakan ibukota di era Prabu Geusan Ulun berkuasa ketika komplik dengan Cirebon. Dayeuh Luhur terletak di Dusun Dayeuh Luhur desa Ganeas.
Tegal Kalong
Tegal Kalong sekarang terletak di desa Tegal Kalong kecamatan Sumedang utara. Tegal Kalong ini merupakan ibukota Sumedang di era bupati wedana Pangeran Suriadiwangsa atau Pangeran Rangga Gempol 1 yang berkuasa dari tahun 1601-1625, dan bupati ke-4 sumedang, yaitu Pangeran Panembahann atau Pangeran Rangga Gempol III yang berkuasa dari tahun 1656 hingga 1706 M.
Canukur
Merupakan ibukota ketika Pangeran Rangga Gede berkuasa.
Regol Wetan merupakan ibukota di era pemerintahan Pangeran Panembahan atau Pangeran Rangga Gempol III yang berkuasa dari tahun 1656 hingga 1706 M, setelah kejatuhan ibukota lama oleh serangan Banten, Tegal Kalong. Regol Wetan terletak di kelurahan Regol Wetan kecamatan Sumedang Selatan. Regol wetan merupakan kota Sumedang sekarang.
BAB II SILSILAH RAJA RAJA
1.. Prabu resi Aji putih
Prabu Batara Aji Putih atau Prabu Resi Aji Putih
adalah seorang resi trah Galuh (masih keturunan bangsawan galuh), yang dianggap
sebagi perintis dari kerajaan Sumedang Larang. Ia diyakini merupakan keturunan
dari Aki Balangantrang, cucu Wretikandayun (pendiri kerajaan Galuh), dan
merupakan inspirator dalam kudeta Ciung Wanara (Sang Manarah) di tanah
Galuh.
Dalam catatan para sejarawan sunda, iaa hidup dari taahun 678 hingga 721 M. Tetapi masih dipertanyaakan tentang kebenaran tahun nya. Karenaa terlalu jauh rentang dengan penguasa berikutnya.
Dalam catatan para sejarawan sunda, iaa hidup dari taahun 678 hingga 721 M. Tetapi masih dipertanyaakan tentang kebenaran tahun nya. Karenaa terlalu jauh rentang dengan penguasa berikutnya.
Ia datang ke suatu kampung yang
bernama Cipaku, yang letaknya di pinggir sungai Cimanuk (sekarang adanya
di kampung Muhara, desa Leuwihideng, kecamatan Darmaraja Sumedang). Disini ia
melakukan perubahan tatanan pemerintahan dan masyarakat, yang konon daerah ini
sudah ada sejak abad ke-8 M. Pengaruhnya semakin kuat sehingga kekuasaanya
meluas hingga sepanjang walungan (sungai) Cimanuk, hingga berdirinya kerajaan
Tembong Ageung. Tembong Ageung berarti Kelihatan besar / luhur
(tembong berarti kelihatan, sedang ageung berarti besar dan luhur).
Kerajaan Tembong Ageung terletak di bukit Tembong Ageung, dengan ibukota di
Leuwi Hideung Darmarja sekarang. Prameswari prabu Aji Putih bernama Nyi
Mas Ratu Ratna Inten atau terkenal juga dengan nama Nyi Mas Dewi
Nawang Wulan, putri dari Jagat Jayanta Dari perkawinanya ia mempunyai anak yang
bernama Tajimalela, yang kemudian menggantikannya.
Setelah meninggal Prabu Aji Putih dimakamkan di Astana Cipeueut, desa Cipaku
Darmaraja.
2.. Prabu Tajimalela
Prabu Tajimalela atau Batara
Tuntang Buana (Prabu Agung Resi Cakrabuana), dianggap sebagai pokok
berdirinya kerajaan Sumedang Larang. Ia meneruskan kekuasaan ayahnya,
Prabu Guru Aji Putih. Pada zamannya nama kerajaan kemudian diganti dengan
nama Himbar Buana, yang berarti Menerangi alam. Tetapi setelah ia bertapa ia
mengubahnya menjadi kerajaan Sumedang Larang, meskipun ibukotanya tetap di
daerah Leuwihideung Darmaraja.
Prabu Tajimalela pernah
berkata Insun medal insun madangan.” (artinya: Saya dilahirkan saya
menerangi) dari perkataan Tajimalela inilah kemudian nama Sumedang Larang
diambil. Dengan demikian kata Sumedang berasal dari kata insun madangan yang
disingkat Sumedang, yang berarti saya menerangi, dan ada juga yang
menulis berasal dari kata insun medal yang mengalami perubahan pengucapan.
Sedang kata Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingannya.
Prabu Tajimalela hidup sezaman
dengan Maharajara Sunda yang bernama Luhur Prabawa (mp. 1340-1350
M).
Konon menurut cerita rakyat, pada zaman
Tajimalela ini pertanian mencapai kemajuannya. Ia sangat memperhatikan
bidang pertanian, sehingga disepanjang sungai Cimanuk terdapat tanah pertanian
yang sangat subur. Disamping itu, ia juga dalam bidang peternakan di Paniis
(Cieunteung) dan perikanan.di Pangerucuk (Situraja). Situs peninggalan Prabu
Tajimalela berupa Lingga di situs gunung Lingga.
Prabu tajimalela mempunyai 3 orang putra, tetapi yang dianggap pewaris tahta adalah 2
orang, yaitu Prabu
Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung. Berdasar
Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya
(Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang
satunya lagi menjadi wakilnya. Tapi keduanya tidak bersedia, oleh karena
itu Prabu tajimalela memberi ujian kepada keduanya, jika kalah harus jadi
raja *).
Kedua putranya diperintahkan pergi ke
Gunung Nurmala (sekarang gunung sangkan jaya), dan diperintahkan harus menjaga
sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan). Tetapi gajah Agung karena merasa
kehausan membelah duwegan (kelapa muda) dan meminumnya, sehingga ia kemudian
dinyatakan kalah. Dengan demikian Prabu gajah Agung harus menjadi raja, tetapi
harus mencari ibukota sendiri. Dan Lembu Agung kemudian menjadi resi, tetapi ia
tetap menjadi raja sementara di Leuwi hideng untuk memenuhi wasiat tajimalela
Karena itu Prabu lembu Agung kemudian terkenal dengan nama Prabu Lembu
Peteng Aji.
Disamping Prabu lembu agung dan prabu gajah agung, ia
juga mempunyai anak yang bernama Sunan Geusan Ulun. Prabu Lembu Agung dan
keturunannya tetap berada di Darmaraja, sedang Sunan Geusan ulun dan
keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan brebes.
3.. Prabu lembu Agung (Prabu Lembu peteng aji).
Prabu lembu Agung menggantikan posisi ayahnya sebagai
Raja di kerajaan Tembong Agung, yang waktu itu mulai terkenal dengan nama
Sumedang. Nama sebenarnya Pangeran Jayabrata, dan setelah naik
tahta bergelar Prabu Lembu Agung. Ia merupakan putra pertama Tajimalela, yang
lebih memilih menjadi resi daripada jadi raja, karena itu ia terkenal dengan
nama Prabu Lembu peteng aji.
Ia berkuasa jadi raja hanya untuk memenuhi wasiat
ayahnya, Prabu tajimalela. Setelah beberapa tahun berkuasa ia kemudian
menyerahkan kekuasaanya kepada adiknya, Prabu Gajah Agung.
Setelah meninggal ia dimakamkan di Astana Gede, desa
Cipaku kecamatan Darmaraja, Sumedang, letaknya kira-kira 500 meter dari makam
kakek dan neneknya, Prabu Guru Aji Putih dan Nyi Mas Ratu Ratna Inten atau Nyi
Mas Dewi Nawangwulan.
4.. Prabu Gajah Agung
Prabu Gajah Agung, menjadi raja Sumedang Larang,
menggantikan kakaknya, Prabu Lembu Peteng aji, yang memilih menjadi resi.
Nama sebenarnya adalah Pangeran Atmabrata, dan setelah menjadi raja ia bergelar
Prabu Gajah Agung.
Pada masanya, ibukota kerajaan
dipindahkan ke Ciguling (desa Pasanggrahan, Sumedang selatan sekarang). Ia
mempunyai anak yang bernama Pangeran Wirajaya, yang kemudian menggantikannya,
dengan gelar Sunan Pagulingan.
Setelah meninggal, Prabu Gajah
Agung kemudian dimakamkan di Kampung Cicanting, Desa Sukamenak, Kecamatan
Darmaraja, Sumedang.
5. Prabu
Wirajaya (Sunan
Pagulingan)
Sunan Pagulingan atau
Prabu Pagulingan merupakan putra dari Prabu Gajah Agung. Nama sebenarnya
Pangeran Wirajaya, dan setelah menjadi raja bergelar Sunan Pagulingan. Ia
tinggal di Cipameumpeuk. Ia berkuasa dengan ibukota di Ciguling (desa Pasanggrahan,
Sumedang Larang).
Ia mempunyai 2 orang anak,
yaitu Nyai Ratu Ratnasih, dan terkenal dengan nama Nyai Rajamantri,
diperisteri oleh raja Pajajaran (raja Sunda), dan Pangeran Mertalaya. Karena Ratnasih
menjadi prameswari maharaja Sunda, maka raja Sumedang Larang jatuh
kepada adiknya, Merlaya, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Guling.
Setelah wafat, ia
dimakamkan di Ciguling.
6.. Prabu
Mertalaya (Sunan Guling)
Nama aslinya Pangeran
Mertalaya, dan merupakan anak kedua dari Sunan Pagulingan. Kakaknya, yang
bernama Nyi Ratu Retnasih diperistri raja pajajaran dengan
gelar Nyi Rajamantri, dan pindah ke ibukota Pakuan. Sehingga raja
Sunda jatuh kepadanya, dengan gelar Sunan Guling.
Ia berkuasa dengan ibukota di
Ciguling, (desa Pasanggrahan sekarang, Sumedang Selatan). Setelah meninggal. Ia
dimakamkan di Ciguling, dan tahta jatuh pada anaknya yang bernama Pangeran
Tirtakusuma, dan setelah menjadi raja bergelar Sunan Tuakan atau Sunan
Patuwakan.
7.. Prabu
Tirtakusuma (Sunan patuakan)
Sunan patuakan atau Tirtakusuma menjadi penguasa
Sumedang larang menggantikan ayahnya, Sunan Guling.
Ia dimakamkan di Heubeul Isuk, desa Cinanggerang. Ia
kemudian digantikan oleh anaknya, Sintawati yang terkenal dengan nama Nyi Mas
Patuakan.
8..
Sintawati (Nyi Mas Patuakan) / Sunan Corenda
Nyi Mas Patuakan atau Sintawati
menjadi raja Sumedang menggantikan ayahnya, Sunan Patuakan. Sintawati
menikah dengan Sunan Corenda (Sunan Corenda adalah raja Talaga, putra
dari Ratu Simbarkancana di kusumalaya, sedang Kusumalaya merupakan putra dari Dewa
Niskala, penguasa Galuh.
Nyi Mas Ratu Patuakan
mempunyai seorang putri yang bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata
(1530-1578 M), yang kemudian menggantikannya, dan bergelar Ratu pucuk umun.
Sunan Corenda adalah putra
Sunan parung, cucu Prabu Ratu Dewata
9.. Ratu
Inten Dewata (Ratu Pucuk Umun) / Pangeran Santri
Ratu Pucuk
umun atau ratu Inten Dewata naik tahta Sumedang Larang
menggantikan ibunya, Nyi Mas Ratu Patuakan dan ayahnya, Sunan Corenda. Ia
merupakan seorang keturunan rajaraja sumedang kuno, yang kemudian masuk
Islam, dan berkuasa bersama suaminya, Pangeran Santri memerintah Sumedang
Larang. Pada masanya ibukota kerajaan Sumedang Larang dipindahkan
dari Ciguling ke Kutamaya.
Pada pertengahan abad ke-16 M,
mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ia sendiri
kemudian masuk Islam dan menikah dengan Pangeran Kusumahdinata (1505-1579 M),
yang terkenal dengan nama Pangeran santri, atau Ki Gedeng Sumedang.
Pangeran santri yang memerintah Sumedang bersama istrinya, sambil menyebarkan
islam ke seluruh wilayah kerajaan.
Pangeran Santri adalah putra dari
pangeran Palakaran (Pangeran Pamalekaran / dipati tetarung), putra arya dammar
(sultan Palembang). Ibunya Ratu Martasari (Nyi Mas ranggawuluung),
anak Syekh Maulana Abdurrahman (Sunan Panjuman) serta cicit dari
Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hdramaut, yang berasal
dari Mekah dan menyebarkan Islam di berbagai penjuru kerajaan Sunda.
Pangeran Kusumah dinata
terkenal dengan nama Pangeran santri karena asalnya dari pesantren dan
pewrilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahannya tersebut, berakhirlah
masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Dan sejak itu menyebarlah Islam di
seluruh penjuru Sumedang larang.
Ratu pucuk Umun
dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean gede kota Sumedang.
10.. Prabu
Geusan Ulun(mp.
1579-1608 M).
Prabu Geusan Ulun
menjadi raja Sumedang Larang menggatikan ayah dan ibunya, Pangeran Santri dan
Ratu Pucuk Umun pada tahun 1579 M. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukotanya.
Nama sebenarnya adalah Pangeran Angkawirya, dan kemudian bergelar Pangeran
Kusumahdinata 2. Pangeran Angkawijaya dilahirkan 3 Sukrapaksasrawamummasa 1480
Caka atau 3 Dzulkaidah 965 H Bertepatan dengan 20 Juli 1558 M.
Geusan Ulun dinobatkan
jadi raja 1578 menggantikan ayahnya dan dikukuhkan pada 13 Angklapaksa
Asyiyimasa 1502 Caka atau 10 dzulkaidah 998 H atau 18 November 1580.
Ketika Kerajaan Pajajaran
runtuh, kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang dipegang oleh Pangeran Santri. Dan
setahun setelah Pajajaran jatuh, Pangeran santri menyerahkan kekuasaan pada
anaknya, Pangeran Angkawirya. Penobatan Pangeran Angkawirya dilakukan oleh
hampir seluruh rakyat pajajaran, setelah kerajaan itu jatuh karena
serangan tentara Banten, yang dipimpin oleh Sultan Maulana Yusuf.
Gelar Prabu Geusan Ulun
diberikan oleh rakyat Pajajaran, Geusan berarti Tempat, sedang ulun berarti
bernaung, atau mengabdi. Penobatannya itu ditandai dengan diserahkannya mahkota
kebesaran “Binokasih” yang terbuat dari emas bertahtahkan intan berlian
pemberian Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Mahkota diserahkan oleh empat
Kandagalante atau panglima perang yaitu Mbah Jayaperkosa (Sanghiyang Hawu),
Mbah Nanganan (Batara Wiyatiwiradijaya), Mbah Terongpeot (Batara Pancarbuana)
dan Mbah Kondanghapa
Pada masanya kerajaan
Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya, yang diserang oleh
Banten dibawah pimpinan Sultan Maulana Yusuf. Dan pada tahun 1579 M (8
Mei 1579 M), ibukota Pajajaran, Pakuan, runtuh.
Sebelum peristiwa
jatuhnya Pakuan terjadi, Prabu Ragamulya Surya Kencana, Raja Pajajaran terakhir
mengutus 4 orang kepercayaannya, yang dikenal dengan Kandaga Lante, yang
terdiri dari: Sanghiyang Hawu (Jaya perkosa), Batara Adipati Wiradijaya
(Nangganan), Sanghiyang Kondanghapa dan Batara Pencar Buang (Terong peot)
dan berhasil menyelamatkan atribut pakaian kebesaran maharaja Sunda, yang
terdri dari: mahkota emas simbol kekuasaan raja Pakuan, kalung bersusun 2
dan 3, serta perhiasan lainnya, seperti benten, siger, tampekan dan kilat bahu.
Atribut-atribut kebeesaaran tersebut kemudian diserahkan kepada raden
Angkawijaya yang kemudian naik tahta Sumedang larang dengan gelar Prabu Geusan
Ulun (mp. 1579-1601 M).
Meskipun tempat penobatan
raja, Palangka Sriman di Pakuan diboyong ke Banten oleh Maulana Yusuf, tetapi
ia tidak bisa memboyong mahkota kebesaran Sunda. Sehingga Sumedang Larang lah
yang tetap dianggap sebagai penerus kemaharajan Sunda terakhir.
Prabu Geusan Ulun adalah raja
terbesar dan terakhir. Penerusnya, rangga Gempol I yang masih berdarah Cirebon
kemudian bergabung dengan mataram, sehingga Sumedang Larang berubah statusnya
dari kerajaan menjadi kabupatian.
Wilayah kekuasaan
Sumedang Larang meliputi Kuningan, Garut, Bandung, Tasik dan Sukabumi
(wilayah Priangan). Kecuali Galuh (Ciamis). Pada masanya kerajaan Sumedang
mengalami kemajuan yang pesat dibidang sosial, budaya , agama, militer
dan pemerintahan.
Tetapi ketika dianggap
sebagai penerus kekuasaan dari Pajajaran, luas wilayahnya semakin luas. Di
barat berbatasan dengan sungai Cisadane, di timur berbatasan dengan
sungai Cipamali (brebes, purwekerto, cilacap, Banyumas), kecuali Cirebon dan
jayakarta, batas utara laut Jawa dan selatannya samudra hindia.
Konflik Dengan Cirebon
Dalam upayanya memperdalam
agama Islam, Prabu Geusan Ulun pernah ke Demak, yang diikuti oleh 4 perwira
utamanya yang disebut kandaga lante. Setelah dari Demak, ia mampir di Cirebon
Disini ia bertemu dengan penguasa Cirebon, Panembahan Ratu.
Prabu Geusan Ulun
terkenal mempunyai perilaku yang santun, disamping sangat tampan,
sehingga disenangi penduduk Cirebon, termasuk prameswari Panembahan Ratu, yang
bernama Ratu Harisbaya. Sang ratu sangat tertarik dan jatuh cinta pada
Geusan Ulun, sehingga ketika rombongan Prabu Geusan Ulun pulang ke
Sumedang, ia dengan tanpa sepengetahuannya ikut rombongan. Karena mengancam
akan bunuh diri, akhirnya ia di bawa pulang ke Sumedang.
Karena kejadian ini
Panembahan Ratuu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut
kembali ratu Harisbaya, sehingga terjadi perang antara Cirebon dan
Sumedang.
Dengan penengah sultan Agung
dari Mataram yang meminta agar panembahan ratu menceraikan ratu Harisbaya, yang
aslinya berasal dari Pajang-Demak yang dinikahkan oleh sultan Agung dengan
Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat menyerahkan
wilayah barat sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah
Cirebon.
Karena peperangan itu pula
ibukota Sumedang larang dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut
dengan Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun
memiliki 3 orang istri, yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan
Pada. Yang kedua adalah Ratu Harisbaya, yang berasal dari Pajang Demak, dan
yang ketiga adalah Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga
istrinya tersebut, ia memiliki 20 orang anak.
(Lanjut..................
(Lanjut..................
tulisan ini masih dalam tahap awal, masih dalam pengkajian dan pencarian data, atau sumber yang dapat dipertanggungjawabkan)
By
Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Kec. Buahdua, Kab. Sumedang
Daftar Pustaka
Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Kec. Buahdua, Kab. Sumedang
Daftar Pustaka
- Latif, R. Abdul, R. Supian Apandi, R, Lucky Dj. S, Insun Medal Insun Madangan Sumedang Larang, Sumedang, 2008
- Soedradjat, Ade Tjanker, Silsilah Wargi Pangeran Sumedang Turunan Pangeran Santri Alias Pangeran Kosesoemadinata I Penguasa Sumedang Larang 1530-1578, Yayasan Pangeran Sumedang, 1996
- Dan dari berbagai sumber internet
alm kakek sy orang sumedang nama: apit hadiat bin wangsa priatman..
BalasHapusada g ya sodara sy disana krn sy sndri blm prnh ke sumedang...
Punten, ini adiet mana ya? Putra nya siapa? Cucu Pak Apit Hadiat ciampea bukan?
HapusCari silsilah prabu siliwangi dari masa beliau sampai sekarang tidak ada
BalasHapus1. Putih (Raja Tembong Agung) 678 - 721
BalasHapus2. Batara Tuntang Buana / Prabu Tajimalela. 721 - 778
3. Jayabrata / Prabu Lembu Agung 778 - 893
4. Atmabrata / Prabu Gajah Agung. 893 - 998
5. Jagabaya / Prabu Pagulingan. 998 - 1114
6. Mertalaya / Sunan Guling. 1114 – 1237
7. Tirtakusuma / Sunan Tuakan. 1237 – 1462
8. Sintawati / Nyi Mas Ratu Patuakan. 1462 – 1530
9. Satyasih / Ratu Inten Dewata Pucuk Umum 1530 – 1578
10. Pangeraan Kusumahdinata II / Prabu Geusan Ulun (1578-1601), eta sanes terlalu dipaksakan kang upami ngaos buku salsilah rundayan asli Jati Sampurna Cipancar Sumedang mah tangtos ngartos awal berdirina Tembong Agung...mung upami pembagian tahun Prabu Lembu Agung sareng Prabu Gajah Agung dumasar garis besarna mungkul....
D silsilah Raja2 tertulis Prabu Geusan Ulun anak k 3 dr Prabu Tajimalela tp tertulis jg jika Prabu Geusan Ulun anak d Prabu Santri
BalasHapusAda kesalahan penulisan atau gimana,???
Anak ke 3 dari prabu tadjimalela adalah sunan Ulun yang memilih untuk mengabdi kembali ke tanah leluhurnya yaitu galuh
BalasHapusHatur Nuhun tos Kersa berbagi,
BalasHapusMugia Janten kasaean.
ijin silaturahmi akang salam kenal, saya cucu dari bapak Jamsu bin Sarwan (mantan kuncen cikadu) dan mak Enda binti Mirta, saya menetap di tangerang sampai sekarang, sukses selalu untuk akang
BalasHapusAsalamualaikum...Mohon Petunjuk nya .. ijin bertanya kalo di Sumedang ada Turunan Dari PARTA KESUMA.. bila ada mohon info nya Ke No. 082119038703// 082328677903 .. Tentang Aset Tol Cusemdawu
BalasHapusMohon Petunjuk Ahliwaris dari PARTA KESUMA di Sumedang ke No. 082119038703//. 082328677903
BalasHapus