Asal Usul
Sumedang
larang pada awalnya merupakan sebuah kabuyutan /kabataraan yang
didirikan oleh Prabu Aji Putih,. Dalam sejarah kerajaan Sunda atau Galuh
disamping kekuasaan raja, juga ada suatu bentuk kekuasaan keagamaan yang diakui
sebagai daerah yang sangat dihormati, dan punya otoritas dalam keagamaan, yang
disebut dengan kabuyutan atau ada yang menyebut dengan kabataraan.
Ketika
pusat kabuyutan sunda di karantenan gunung sawal berubah menjadi kerajaan
Panjalu dibawah pimpinan Rangga Sakti,
maka pada saat itu seolah sudah tidak ada lagi kabuyutan atau kabataraan di
lingkungan kerajaan sunda Galuh. Karena itu
Prabu Suryadewata sebelum keraton Galuh di pindahkan ke Pakuan (Bogor sekarang) memerintahkan kepada Prabu Aji Putih
untuk mendirikan kabuyutan / pusat keagamaan di Tembong Agung.
Prabu
Suryadewata merupakan raja Galuh, putra dari
Prabu Ajiguna Wisesa, seorang
Raja Sunda Galuh yang berkuasa dari tahun
1333 sampai dengan tahun 1340 M. Dalam Carita parahiyangan Prabu Ajiguna
Wisesa ini disebut hanya tempat meninggalnya “Nu hilang di Kidding” (yang
Hilang di Kidding). Prabu Ajiguna Wisesa mempunyai 3 orang anak, yaitu Prabu
Ragamulya Luhur Prabawa ( mp. 1340-1350 M) atau terkenal dengan nama Sang Aki
Kolot. Ia kemudian menggantikan tahtanya di kerajaan Sunda. Yang kedua Dewi
Kiranasari merupakan anak kedua, yang menikah dengan Prabu Arya Kulon. Dan yang
ketiga Prabu Suryadewata, merupakan anak
bungsu, yang kemuudian diangkat menjadi Raja (Ratu) Galuh.
Mendapat
perintah raja kemudian Prabu Aji Putih mendirikan kabuyutan yang dinamai Tembong Ageung di Leuwi Hideung (sekarang berada di kecamatan
Darmaraja). Tembong Agung berarti Kelihatan besar / luhur (tembong berarti
kelihatan, sedang agung berarti besar dan luhur). Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Kabuyutan Tembong Ageung mengalami beberapa kali perubahan nama. Putra dari Aji putih
yang bernama Prabu Tajimalela, yang kemudian menggantikannya sebagai penguasa
kabuyutan, mengganti Tembong Ageung dengan nama Himbar Buana, yang berarti menerangi alam.
Setelah
melakukan pertapaan Prabu Tajimalela, seolah mengalami pencerahan, dan ia berkata:” Insun medal insun madangan.” (artinya: Saya dilahirkan saya menerangi).
Dan dari perkataan Tajimalela inilah kemudian nama Sumedang Larang diambil. Dengan demikian kata Sumedang berasal dari
kata insun madangan yang disingkat Sumedang, yang berarti saya menerangi, dan ada juga yang
menulis berasal dari kata insun medal yang mengalami perubahan pengucapan.
Sedang kata Larang berarti sesuatu
yang tidak ada tandingannya.
PENGUASA
Raja-raja yang berkuasa di Sumedang
Larang, adalah:
- Prabu Aji Putih
- Prabu tajimalela
- Prabu Lembu Agung (Lembu Peteng
Aji)
- Prabu gajah Agung
- Sunan Pagulingan
- Sunan Guling
- Sunan Tuakan
- Nyi Mas Ratu Patuakan
- Ratu Pucuk Umun
- Prabu Geusan Ulun (mp. 1578-1608
M)
PRABU AJI PUTIH
Prabu resi Aji putih adalah seorang resi
trah Galuh (masih keturunan bangsawan galuh), yang dianggap sebagi perintis
dari kerajaan Sumedang Larang. Ia diyakini merupakan keturunan dari Aki
Balangantrang, cucu Wretikandayun (pendiri kerajaan Galuh), dan merupakan
inspirator dalam kudeta Ciung Wanara (Sang Manarah) di tanah Galuh.
Ia datang ke suatu kampung yang bernama
Cipaku, yang letaknya di pinggir sungai Cimanuk (sekarang adanya di kampung Muhara, desa Leuwihideng,
kecamatan Darmaraja Sumedang). Disini ia melakukan perubahan tatanan
pemerintahan dan masyarakat, yang konon daerah ini sudah ada sejak abad ke-8 M.
Pengaruhnya semakin kuat sehingga kekuasaanya meluas hingga sepanjang walungan
(sungai) Cimanuk, hingga berdirinya kerajaan Tembong Ageung. Tembong Ageung berarti Kelihatan besar / luhur (tembong berarti
kelihatan, sedang ageung berarti besar dan luhur).
Kerajaan Tembong Ageung terletak di bukit
Tembong Ageung, dengan ibukota di Leuwi Hideung Darmarja sekarang. Prameswari prabu Aji Putih bernama Nyi Mas
Ratu Ratna Inten atau terkenal juga dengan nama Nyi Mas Dewi
Nawang Wulan, putri dari Jagat Jayanta Dari perkawinanya ia mempunyai anak yang bernama Tajimalela, yang
kemudian menggantikannya.
Setelah meninggal Prabu Aji Putih
dimakamkan di Astana Cipeueut, desa Cipaku Darmaraja.
1) Dalam cerita rakyat , Prabu Aji Putih dikatakan teah memeluk Islam, tetapi cerita ini harus diteliti dengan jelas.
2) Diceritakan dalam cerita rakyat bahwa
Dewi Nawang Wulan, putri Jagat Jayanta, terah (turunan) ménak (bangsawan)
Galuh, adalah putri cantik jelita yang pandai bernyanyi dan
menari. Ia sering bermimpi bertemu dengan jejaka ganteng keturunan raja.
Oleh karena itu, walaupun ada saudagar dari Galuh yang melamarnya, ia
menolak lamaran itu. Dewi Nawang Wulan percaya bahwa mimpinya bakal
menjadi kenyataan.
Singkat cerita,
mimpi Dewi Nawang Wulan menjadi kenyataan. Suatu hari tiba-tiba datang Prabu
Aji Putih melamar Dewi Nawang Wulan. Sang Dewi menerima lamaran itu, karena
Prabu Aji Putih memang laki-laki yang sering bertemu dalam mimpinya.
PRABU TAJIMALELA
Prabu
Tajimalela atau Batara Tuntang Buana (Prabu Agung Resi Cakrabuana), dianggap
sebagai pokok berdirinya kerajaan Sumedang
Larang. Ia meneruskan kekuasaan ayahnya, Prabu Guru Aji Putih.
Pada zamannya nama kerajaan kemudian
diganti dengan nama Himbar Buana, yang berarti Menerangi alam. Tetapi setelah
ia bertapa ia mengubahnya menjadi kerajaan Sumedang Larang, meskipun ibukotanya
tetap di daerah Leuwihideung Darmaraja.
Prabu
Tajimalela pernah berkata Insun medal
insun madangan.” (artinya: Saya dilahirkan saya menerangi) dari perkataan
Tajimalela inilah kemudian nama Sumedang Larang diambil. Dengan demikian kata
Sumedang berasal dari kata insun madangan yang disingkat Sumedang, yang berarti saya menerangi, dan ada juga yang
menulis berasal dari kata insun medal yang mengalami perubahan pengucapan.
Sedang kata Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingannya.
Prabu Tajimalela hidup sezaman
dengan Maharajara Sunda yang
bernama Luhur Prabawa (mp. 1340-1350 M).
Konon menurut cerita rakyat, pada zaman Tajimalela ini pertanian mencapai
kemajuannya. Ia sangat memperhatikan
bidang pertanian, sehingga disepanjang sungai Cimanuk terdapat tanah pertanian
yang sangat subur. Disamping itu, ia juga dalam bidang peternakan di Paniis
(Cieunteung) dan perikanan.di Pangerucuk (Situraja).
Situs peninggalan Prabu Tajimalela
berupa Lingga di situs gunung Lingga.
Suksesi
Prabu tajimalela mempunyai 2 orang putra,
Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung. Berdasar Layang Darmaraja, Prabu
Tajimalela memberi perintah kepada kedua
putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan
yang satunya lagi menjadi wakilnya. Tapi keduanya tidak bersedia, oleh karena
itu Prabu tajimalela memberi ujian
kepada keduanya, jika kalah harus jadi raja *).
Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang gunung
sangkan jaya), dan diperintahkan harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda
(duwegan). Tetapi gajah Agung karena merasa kehausan membelah duwegan (kelapa
muda) dan meminumnya, sehingga ia kemudian dinyatakan kalah. Dengan demikian Prabu
gajah Agung harus menjadi raja, tetapi harus mencari ibukota sendiri. Dan Lembu
Agung kemudian menjadi resi, tetapi ia tetap menjadi raja sementara di Leuwi
hideng untuk memenuhi wasiat tajimalela Karena itu Prabu lembu Agung kemudian terkenal dengan
nama Prabu Lembu Peteng Aji.
Disamping Prabu lembu
agung dan prabu gajah agung, ia juga mempunyai anak yang bernama Sunan Geusan
Ulun. Prabu Lembu Agung dan keturunannya tetap berada di Darmaraja, sedang
Sunan Geusan ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan brebes.
PRABU LEMBU AGUNG (LEMBU PETENG AJI)
Prabu lembu Agung
menggantikan posisi ayahnya sebagai Raja di kerajaan Tembong Agung, yang waktu
itu mulai terkenal dengan nama Sumedang. Nama sebenarnya Pangeran Jayabrata, dan setelah naik tahta bergelar Prabu Lembu
Agung. Ia merupakan putra pertama Tajimalela, yang lebih memilih menjadi resi
daripada jadi raja, karena itu ia terkenal dengan nama Prabu Lembu peteng aji.
Ia berkuasa jadi raja hanya untuk memenuhi
wasiat ayahnya, Prabu tajimalela. Setelah beberapa tahun berkuasa ia kemudian
menyerahkan kekuasaanya kepada adiknya, Prabu Gajah Agung.
Setelah meninggal ia dimakamkan di Astana
Gede, desa Cipaku kecamatan Darmaraja, Sumedang, letaknya kira-kira 500 meter
dari makam kakek dan neneknya, Prabu Guru Aji Putih dan Nyi Mas Ratu Ratna
Inten atau Nyi Mas Dewi Nawangwulan.
PRABU GAJAH AGUNG
Prabu Gajah Agung, menjadi raja Sumedang
Larang, menggantikan kakaknya, Prabu Lembu Peteng aji, yang memilih menjadi resi. Nama sebenarnya
adalah Pangeran Atmabrata, dan setelah menjadi raja ia bergelar Prabu Gajah
Agung.
Pada masanya, ibukota kerajaan
dipindahkan ke Ciguling (desa Pasanggrahan, Sumedang selatan sekarang). Ia
mempunyai anak yang bernama Pangeran Wirajaya, yang kemudian menggantikannya,
dengan gelar Sunan Pagulingan.
Setelah meninggal, Prabu Gajah Agung
kemudian dimakamkan di Kampung Cicanting, Desa Sukamenak, Kecamatan Darmaraja,
Sumedang.
SUNAN PAGULINGAN
Sunan Pagulingan atau Prabu Pagulingan
merupakan putra dari Prabu Gajah Agung. Nama sebenarnya Pangeran Wirajaya, dan
setelah menjadi raja bergelar Sunan
Pagulingan. Ia tinggal di Cipameumpeuk. Ia berkuasa dengan ibukota di Ciguling
(desa Pasanggrahan, Sumedang Larang).
Ia mempunyai 2 orang anak, yaitu Nyai
Ratu Ratnasih, dan terkenal dengan nama
Nyai Rajamantri, diperisteri oleh raja Pajajaran (raja Sunda), dan
Pangeran Mertalaya. Karena
Ratnasih menjadi prameswari maharaja Sunda, maka raja Sumedang
Larang jatuh kepada adiknya, Merlaya,
yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Guling.
Setelah wafat, ia dimakamkan di
Ciguling.
SUNAN GULING
Nama aslinya Pangeran Mertalaya, dan merupakan anak kedua dari Sunan Pagulingan.
Kakaknya, yang bernama Nyi Ratu Retnasih
diperistri raja pajajaran dengan gelar Nyi
Rajamantri, dan pindah ke ibukota Pakuan. Sehingga raja Sunda jatuh
kepadanya, dengan gelar Sunan Guling.
Ia berkuasa dengan ibukota di
Ciguling, (desa Pasanggrahan sekarang, Sumedang Selatan). Setelah meninggal. Ia
dimakamkan di Ciguling, dan tahta jatuh pada anaknya yang bernama Pangeran
Tirtakusuma, dan setelah menjadi raja bergelar Sunan Tuakan atau Sunan
Patuwakan.
SUNAN PATUAKAN
Sunan patuakan atau Tirtakusuma menjadi
penguasa Sumedang larang menggantikan ayahnya, Sunan Guling.
Ia dimakamkan di Heubeul Isuk, desa
Cinanggerang. Ia kemudian digantikan oleh anaknya, Sintawati yang terkenal
dengan nama Nyi Mas Patuakan.
NYI MAS PATUAKAN / SUNAN CORENDA
Nyi Mas Patuakan atau Sintawati menjadi raja Sumedang menggantikan ayahnya, Sunan
Patuakan. Sintawati menikah dengan Sunan Corenda (Sunan Corenda adalah raja Talaga, putra dari
Ratu Simbarkancana di kusumalaya, sedang Kusumalaya merupakan putra dari Dewa Niskala,
penguasa Galuh.
Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri yang bernama Nyi Mas Ratu Inten
Dewata (1530-1578 M), yang kemudian
menggantikannya, dan bergelar Ratu pucuk umun.
Sunan Corenda adalah
putra Sunan parung, cucu Prabu Ratu Dewata
RATU PUCUK UMUN
(1530-1578 M) / PANGERAN SANTRI
Ratu Pucuk umun atau ratu Inten Dewata naik tahta Sumedang Larang menggantikan
ibunya, Nyi Mas Ratu Patuakan dan ayahnya, Sunan Corenda. Ia merupakan
seorang keturunan rajaraja sumedang kuno, yang kemudian masuk Islam, dan
berkuasa bersama suaminya, Pangeran Santri memerintah Sumedang Larang. Pada masanya ibukota kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari
Ciguling ke Kutamaya.
Pada pertengahan abad
ke-16 M, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ia
sendiri kemudian masuk Islam dan menikah dengan Pangeran Kusumahdinata
(1505-1579 M), yang terkenal dengan nama Pangeran santri, atau Ki Gedeng Sumedang. Pangeran santri yang
memerintah Sumedang bersama istrinya, sambil menyebarkan islam ke seluruh
wilayah kerajaan.
Pangeran Santri adalah
putra dari pangeran Palakaran (Pangeran Pamalekaran / dipati tetarung), putra
arya dammar (sultan Palembang). Ibunya
Ratu Martasari (Nyi Mas ranggawuluung), anak Syekh Maulana Abdurrahman (Sunan Panjuman)
serta cicit dari Syekh Datuk Kahfi,
seorang ulama keturunan Arab Hdramaut,
yang berasal dari Mekah dan menyebarkan Islam di berbagai penjuru kerajaan
Sunda.
Pangeran Kusumah dinata terkenal dengan
nama Pangeran santri karena asalnya dari
pesantren dan pewrilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahannya tersebut,
berakhirlah masa kerajaan Hindu di
Sumedang Larang. Dan sejak itu menyebarlah Islam di seluruh penjuru Sumedang
larang.
Dari hasil pernikahan antara Pucuk Umun
dan Pangeran santri melahirkan 6 orang putra,yaitu
- · Pangeran Angkawijaya, yang kemudian dikenal dengan nama Prabu Geusan ulun, yang menggatikan menjadi raja Sumedang Larang. Ia merupakan raja Sumedang Larang terbesar dan terakhir kerajaan Sumedang Larang.
- · Kiai rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu dari Narimbang, supaya memeluk Islam.
- · Kiai Demang Watang di Walakung
- · Santowaan Wirakusumah yang keturunannya berada di pagaden dan Pamanukan Subang.
- · Santowaan Cikeruh
- · Santowaan Awi Luar.
Ratu pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean gede kota
Sumedang.
PRABU GEUSAN ULUN (mp. 1579-1608 M).
Pangeran Geusan Ulun menjadi raja
Sumedang Larang menggatikan ayah dan ibunya, Pangeran Santri dan Ratu Pucuk
Umun pada tahun 1579 M. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukotanya.
Nama sebenarnya adalah Pangeran
Angkawirya, dan kemudian bergelar Pangeran Kusumahdinata 2. Pangeran
Angkawijaya dilahirkan 3 Sukrapaksasrawamummasa 1480 Caka atau 3 Dzulkaidah 965
H Bertepatan dengan 20 Juli 1558 M.
Geusan Ulun
dinobatkan jadi raja 1578 menggantikan ayahnya dan dikukuhkan pada 13
Angklapaksa Asyiyimasa 1502 Caka atau 10 dzulkaidah 998 H atau 18 November
1580.
Ketika Kerajaan Pajajaran runtuh, kekuasaan Kerajaan
Sumedang Larang dipegang oleh Pangeran Santri. Dan setahun setelah Pajajaran
jatuh, Pangeran santri menyerahkan kekuasaan pada anaknya, Pangeran Angkawirya.
Penobatan Pangeran Angkawirya dilakukan oleh hampir seluruh rakyat pajajaran,
setelah kerajaan itu jatuh karena
serangan tentara Banten, yang dipimpin oleh Sultan Maulana Yusuf.
Gelar Prabu Geusan Ulun diberikan oleh rakyat
Pajajaran, Geusan berarti Tempat, sedang ulun berarti bernaung, atau mengabdi.
Penobatannya itu ditandai dengan diserahkannya mahkota kebesaran “Binokasih”
yang terbuat dari emas bertahtahkan intan berlian pemberian Prabu Siliwangi
Raja Pajajaran. Mahkota diserahkan oleh empat Kandagalante atau panglima perang
yaitu Mbah Jayaperkosa (Sanghiyang Hawu), Mbah Nanganan (Batara
Wiyatiwiradijaya), Mbah Terongpeot (Batara Pancarbuana) dan Mbah Kondanghapa
Jatuhnya Pajajaran
Pada masanya kerajaan Pajajaran Galuh
Pakuan sedang dalam masa kehancurannya, yang diserang oleh Banten dibawah
pimpinan Sultan Maulana Yusuf. Dan pada
tahun 1579 M (8 Mei 1579 M), ibukota Pajajaran, Pakuan, runtuh.
Sebelum peristiwa jatuhnya Pakuan
terjadi, Prabu Ragamulya Surya Kencana, Raja Pajajaran terakhir mengutus 4
orang kepercayaannya, yang dikenal dengan Kandaga Lante, yang terdiri dari:
Sanghiyang Hawu (Jaya perkosa), Batara Adipati Wiradijaya (Nangganan),
Sanghiyang Kondanghapa dan Batara Pencar Buang (Terong peot) dan berhasil menyelamatkan atribut pakaian
kebesaran maharaja Sunda, yang terdri dari: mahkota emas simbol kekuasaan raja
Pakuan, kalung bersusun 2 dan 3, serta
perhiasan lainnya, seperti benten, siger, tampekan dan kilat bahu.
Atribut-atribut kebeesaaran tersebut
kemudian diserahkan kepada raden Angkawijaya yang kemudian naik tahta Sumedang
larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (mp. 1579-1601 M).
Meskipun tempat penobatan raja, Palangka
Sriman di Pakuan diboyong ke Banten oleh Maulana Yusuf, tetapi ia tidak bisa
memboyong mahkota kebesaran Sunda. Sehingga Sumedang Larang lah yang tetap
dianggap sebagai penerus kemaharajan
Sunda terakhir.
Prabu Geusan Ulun adalah raja terbesar dan
terakhir. Penerusnya, rangga Gempol I yang masih berdarah Cirebon kemudian
bergabung dengan mataram, sehingga Sumedang Larang berubah statusnya dari
kerajaan menjadi kabupatian.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Sumedang Larang
meliputi Kuningan, Garut, Bandung, Tasik
dan Sukabumi (wilayah Priangan). Kecuali Galuh (Ciamis). Pada masanya kerajaan
Sumedang mengalami kemajuan yang pesat
dibidang sosial, budaya , agama, militer dan pemerintahan.
Tetapi ketika dianggap sebagai penerus
kekuasaan dari Pajajaran, luas wilayahnya semakin luas. Di barat berbatasan dengan sungai Cisadane, di timur
berbatasan dengan sungai Cipamali (brebes, purwekerto, cilacap, Banyumas), kecuali
Cirebon dan jayakarta, batas utara laut Jawa dan selatannya samudra hindia.
Konflik Dengan Cirebon
Dalam upayanya memperdalam agama Islam,
Prabu Geusan Ulun pernah ke Demak, yang diikuti oleh 4 perwira utamanya yang
disebut kandaga lante. Setelah dari Demak, ia mampir di Cirebon Disini ia
bertemu dengan penguasa Cirebon, Panembahan Ratu.
Prabu Geusan Ulun terkenal mempunyai perilaku yang santun,
disamping sangat tampan, sehingga
disenangi penduduk Cirebon, termasuk prameswari Panembahan Ratu, yang bernama
Ratu Harisbaya. Sang ratu sangat tertarik dan jatuh cinta pada Geusan Ulun, sehingga ketika
rombongan Prabu Geusan Ulun pulang ke
Sumedang, ia dengan tanpa sepengetahuannya ikut rombongan. Karena mengancam
akan bunuh diri, akhirnya ia di bawa pulang ke Sumedang.
Karena kejadian ini Panembahan Ratuu marah
besar dan mengirim pasukan untuk merebut
kembali ratu Harisbaya, sehingga terjadi
perang antara Cirebon dan Sumedang.
Dengan penengah sultan Agung dari Mataram
yang meminta agar panembahan ratu menceraikan ratu Harisbaya, yang aslinya
berasal dari Pajang-Demak yang dinikahkan oleh sultan Agung dengan Panembahan
Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat
menyerahkan wilayah barat sungai
Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon.
Karena peperangan itu pula ibukota
Sumedang larang dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut dengan
Dayeuh Luhur.
Prameswari dan Putra Putri Prabu Geusan
Ulun
Prabu
Geusan Ulun memiliki 3 orang istri, yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng
Waru, putri Sunan Pada. Yang kedua adalah Ratu Harisbaya, yang berasal dari
Pajang Demak, dan yang ketiga adalah Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut, ia memiliki 20 orang anak.
Dari Istrinya Nyi Mas Cukang Gedeng Waru
Dari Istrinya Nyi Mas Cukang Gedeng Waru
- Pangeran rangga Gede, yang
merupakan cikal bakal bupati Sumedang.
- Raden Aria Wiraraja 1
- Kiai Kadu Rangga Gede
- Kiai Rangga Patra kalana di Cunduk kayu
- Kiai Aria Rangga Pati di Haur koneng
- Kiai Ngabehi Watang
- Nyi Mas Demang Cipaku
- Nyi Mas Ngabehi Martayuda di Ciawi
- Nyi Mas RanggaWiratama di Cibeureum
- Raden Rangga Nitinagara di Pagaden dan Pamanukan
- Nyi Mas Rangga pamade
- Nyi Mas Dipati Ukur di Bandung
- Pangeran Tumenggung Tegal Kalong
- Kiai Demang Cipaku di dayeuh Luhur
Dari Istrinya ratu Harisbaya
- Raden Suriadiwangsa, II (Rangga Gempol 1)
Dari Istrinya Nyi Mas Pasarean.
- Raden Kartajiwa.
- Raden Mangunrana
- Raden Tampangkil
- Nyi aden Sumalintang
- Nyi Raden Nustawiyah
Penutup
Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir
Sumedang larang, karena penguasa
selanjutnya memilih menjadi
bagian dari Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati) pada
masa pemerintahan rangga Gempol I pada tahun 1620 M.
(By Adeng Lukmantara, dari berbagai sumber)
(By Adeng Lukmantara, dari berbagai sumber)