Laman

Rabu, 04 Juni 2014

KERAJAAN SUMEDANG LARANG

Asal Usul

Sumedang larang pada awalnya merupakan sebuah kabuyutan /kabataraan yang didirikan oleh Prabu Aji Putih,. Dalam sejarah kerajaan Sunda atau Galuh disamping kekuasaan raja, juga ada suatu bentuk kekuasaan keagamaan yang diakui sebagai daerah yang sangat dihormati, dan punya otoritas dalam keagamaan, yang disebut dengan kabuyutan atau ada yang menyebut dengan kabataraan.

Ketika pusat kabuyutan sunda di karantenan gunung sawal berubah menjadi kerajaan Panjalu dibawah pimpinan Rangga Sakti, maka pada saat itu seolah sudah tidak ada lagi kabuyutan atau kabataraan di lingkungan kerajaan sunda Galuh. Karena itu Prabu Suryadewata sebelum keraton Galuh di pindahkan ke Pakuan (Bogor sekarang) memerintahkan kepada Prabu Aji Putih untuk mendirikan kabuyutan / pusat keagamaan di Tembong Agung.

Prabu Suryadewata merupakan raja Galuh, putra dari  Prabu  Ajiguna Wisesa, seorang Raja Sunda Galuh yang berkuasa dari tahun   1333 sampai dengan tahun 1340 M. Dalam Carita parahiyangan Prabu Ajiguna Wisesa ini disebut hanya tempat meninggalnya “Nu hilang di Kidding” (yang Hilang di Kidding). Prabu Ajiguna Wisesa mempunyai 3 orang anak, yaitu Prabu Ragamulya Luhur Prabawa ( mp. 1340-1350 M) atau terkenal dengan nama Sang Aki Kolot. Ia kemudian menggantikan tahtanya di kerajaan Sunda. Yang kedua Dewi Kiranasari merupakan anak kedua, yang menikah dengan Prabu Arya Kulon. Dan yang ketiga Prabu Suryadewata, merupakan  anak bungsu, yang kemuudian  diangkat  menjadi Raja (Ratu) Galuh.

Mendapat perintah raja kemudian Prabu Aji Putih mendirikan kabuyutan yang dinamai Tembong Ageung  di Leuwi Hideung (sekarang berada di kecamatan Darmaraja). Tembong Agung berarti Kelihatan besar / luhur (tembong berarti kelihatan, sedang agung berarti besar dan luhur). Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Kabuyutan Tembong Ageung  mengalami beberapa kali perubahan nama. Putra dari Aji putih yang bernama Prabu Tajimalela, yang kemudian menggantikannya sebagai penguasa kabuyutan, mengganti Tembong Ageung  dengan nama Himbar Buana, yang berarti menerangi alam.

Setelah melakukan pertapaan Prabu Tajimalela, seolah mengalami pencerahan, dan ia   berkata:” Insun medal insun madangan.” (artinya: Saya dilahirkan saya menerangi). Dan dari perkataan Tajimalela inilah kemudian nama Sumedang Larang diambil. Dengan demikian kata Sumedang berasal dari kata insun madangan yang disingkat Sumedang, yang  berarti saya menerangi, dan ada juga yang menulis berasal dari kata insun medal yang mengalami perubahan pengucapan. Sedang kata Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingannya.

PENGUASA
      Raja-raja yang berkuasa di Sumedang Larang, adalah:
  1. Prabu Aji Putih
  2. Prabu tajimalela
  3. Prabu Lembu Agung (Lembu Peteng Aji)
  4. Prabu gajah Agung
  5. Sunan Pagulingan
  6. Sunan Guling
  7. Sunan Tuakan
  8. Nyi Mas Ratu Patuakan
  9. Ratu Pucuk Umun
  10. Prabu Geusan Ulun (mp. 1578-1608 M)


PRABU AJI PUTIH
      Prabu resi Aji putih adalah seorang resi trah Galuh (masih keturunan bangsawan galuh), yang dianggap sebagi perintis dari kerajaan Sumedang Larang. Ia diyakini merupakan keturunan dari Aki Balangantrang, cucu Wretikandayun (pendiri kerajaan Galuh), dan merupakan inspirator dalam kudeta Ciung Wanara (Sang Manarah) di tanah  Galuh.
    Ia datang ke suatu kampung yang bernama Cipaku, yang letaknya di pinggir sungai Cimanuk (sekarang  adanya di kampung Muhara, desa Leuwihideng, kecamatan Darmaraja Sumedang). Disini ia melakukan perubahan tatanan pemerintahan dan masyarakat, yang konon daerah ini sudah ada sejak abad ke-8 M. Pengaruhnya semakin kuat sehingga kekuasaanya meluas hingga sepanjang walungan (sungai) Cimanuk, hingga berdirinya kerajaan Tembong Ageung. Tembong Ageung berarti Kelihatan besar / luhur (tembong berarti kelihatan, sedang ageung berarti besar dan luhur).
     Kerajaan Tembong Ageung terletak di bukit Tembong Ageung, dengan ibukota di Leuwi Hideung Darmarja sekarang.  Prameswari prabu Aji Putih bernama Nyi Mas Ratu Ratna  Inten  atau terkenal juga dengan nama Nyi Mas Dewi Nawang Wulan, putri dari Jagat Jayanta Dari perkawinanya ia mempunyai anak yang bernama Tajimalela, yang kemudian menggantikannya.
     Setelah meninggal Prabu Aji Putih dimakamkan di Astana Cipeueut, desa Cipaku Darmaraja.

1) Dalam cerita rakyat , Prabu Aji Putih dikatakan teah memeluk Islam, tetapi cerita ini harus diteliti dengan jelas.
2) Diceritakan dalam cerita rakyat bahwa Dewi Nawang Wulan, putri Jagat Jayanta, terah (turunan) ménak (bangsawan) Galuh, adalah putri cantik jelita yang pandai bernyanyi dan menari. Ia sering bermimpi bertemu dengan jejaka ganteng keturunan raja. Oleh karena itu, walaupun ada saudagar dari Galuh yang melamarnya, ia menolak lamaran itu. Dewi Nawang Wulan percaya bahwa mimpinya bakal menjadi kenyataan.

Singkat cerita, mimpi Dewi Nawang Wulan menjadi kenyataan. Suatu hari tiba-tiba datang Prabu Aji Putih melamar Dewi Nawang Wulan. Sang Dewi menerima lamaran itu, karena Prabu Aji Putih memang laki-laki yang sering bertemu dalam mimpinya.


PRABU TAJIMALELA
Prabu Tajimalela atau Batara Tuntang Buana (Prabu Agung Resi Cakrabuana), dianggap sebagai pokok  berdirinya kerajaan Sumedang Larang. Ia meneruskan kekuasaan ayahnya, Prabu Guru Aji Putih. Pada zamannya  nama kerajaan kemudian diganti dengan nama Himbar Buana, yang berarti Menerangi alam. Tetapi setelah ia bertapa ia mengubahnya menjadi kerajaan Sumedang Larang, meskipun ibukotanya tetap di daerah Leuwihideung Darmaraja.
Prabu Tajimalela pernah berkata Insun medal insun madangan.” (artinya: Saya dilahirkan saya menerangi) dari perkataan Tajimalela inilah kemudian nama Sumedang Larang diambil. Dengan demikian kata Sumedang berasal dari kata insun madangan yang disingkat Sumedang, yang  berarti saya menerangi, dan ada juga yang menulis berasal dari kata insun medal yang mengalami perubahan pengucapan. Sedang kata Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingannya.
Prabu Tajimalela  hidup sezaman  dengan  Maharajara Sunda yang bernama  Luhur Prabawa (mp. 1340-1350 M).
 Konon menurut cerita rakyat,  pada zaman Tajimalela ini pertanian mencapai kemajuannya. Ia sangat  memperhatikan bidang pertanian, sehingga disepanjang sungai Cimanuk terdapat tanah pertanian yang sangat subur. Disamping itu, ia juga dalam bidang peternakan di Paniis (Cieunteung) dan perikanan.di Pangerucuk (Situraja).
        Situs peninggalan Prabu Tajimalela berupa Lingga di situs gunung Lingga.

Suksesi
 Prabu tajimalela mempunyai 2 orang putra, Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung. Berdasar Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah  kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang satunya lagi menjadi wakilnya. Tapi keduanya tidak bersedia, oleh karena itu  Prabu tajimalela memberi ujian kepada keduanya, jika kalah harus jadi raja *).
 Kedua putranya diperintahkan  pergi ke Gunung Nurmala (sekarang gunung sangkan jaya), dan diperintahkan harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan). Tetapi gajah Agung karena merasa kehausan membelah duwegan (kelapa muda) dan meminumnya, sehingga ia kemudian dinyatakan kalah. Dengan demikian Prabu gajah Agung harus menjadi raja, tetapi harus mencari ibukota sendiri. Dan Lembu Agung kemudian menjadi resi, tetapi ia tetap menjadi raja sementara di Leuwi hideng untuk memenuhi wasiat tajimalela Karena itu  Prabu lembu Agung kemudian terkenal dengan nama Prabu Lembu Peteng Aji.
Disamping Prabu lembu agung dan prabu gajah agung, ia juga mempunyai anak yang bernama Sunan Geusan Ulun. Prabu Lembu Agung dan keturunannya tetap berada di Darmaraja, sedang Sunan Geusan ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan brebes.

PRABU LEMBU AGUNG (LEMBU PETENG AJI)
    Prabu lembu Agung menggantikan posisi ayahnya sebagai Raja di kerajaan Tembong Agung, yang waktu itu mulai terkenal dengan nama Sumedang. Nama sebenarnya Pangeran Jayabrata, dan setelah naik tahta bergelar Prabu Lembu Agung. Ia merupakan putra pertama Tajimalela, yang lebih memilih menjadi resi daripada jadi raja, karena itu ia terkenal dengan nama  Prabu Lembu peteng aji.
     Ia berkuasa jadi raja hanya untuk memenuhi wasiat ayahnya, Prabu tajimalela. Setelah beberapa tahun berkuasa ia kemudian menyerahkan kekuasaanya kepada adiknya, Prabu Gajah Agung.
     Setelah meninggal ia dimakamkan di Astana Gede, desa Cipaku kecamatan Darmaraja, Sumedang, letaknya kira-kira 500 meter dari makam kakek dan neneknya, Prabu Guru Aji Putih dan Nyi Mas Ratu Ratna Inten atau Nyi Mas Dewi Nawangwulan.

PRABU GAJAH AGUNG
     Prabu Gajah Agung, menjadi raja Sumedang Larang, menggantikan kakaknya, Prabu Lembu Peteng aji,  yang memilih menjadi resi. Nama sebenarnya adalah Pangeran Atmabrata, dan setelah menjadi raja ia bergelar Prabu Gajah Agung.
          Pada masanya, ibukota kerajaan dipindahkan ke Ciguling (desa Pasanggrahan, Sumedang selatan sekarang). Ia mempunyai anak yang bernama Pangeran Wirajaya, yang kemudian menggantikannya, dengan gelar Sunan Pagulingan.
       Setelah meninggal, Prabu Gajah Agung kemudian dimakamkan di Kampung Cicanting, Desa Sukamenak, Kecamatan Darmaraja, Sumedang.

SUNAN PAGULINGAN
        Sunan Pagulingan atau Prabu Pagulingan merupakan putra dari Prabu Gajah Agung. Nama sebenarnya Pangeran Wirajaya, dan setelah  menjadi raja bergelar Sunan Pagulingan. Ia tinggal di Cipameumpeuk. Ia berkuasa dengan ibukota di Ciguling (desa Pasanggrahan, Sumedang Larang).
        Ia mempunyai 2 orang anak, yaitu Nyai Ratu Ratnasih, dan terkenal dengan nama  Nyai Rajamantri, diperisteri oleh raja Pajajaran (raja Sunda), dan Pangeran  Mertalaya. Karena Ratnasih  menjadi prameswari  maharaja Sunda, maka raja Sumedang Larang  jatuh kepada adiknya, Merlaya, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Guling.
         Setelah wafat, ia dimakamkan di Ciguling.

SUNAN GULING
   Nama aslinya Pangeran Mertalaya, dan merupakan anak kedua dari Sunan Pagulingan. Kakaknya, yang bernama Nyi Ratu Retnasih diperistri raja pajajaran dengan gelar Nyi Rajamantri, dan pindah ke ibukota Pakuan. Sehingga raja Sunda jatuh kepadanya, dengan gelar Sunan Guling.
     Ia berkuasa dengan ibukota di Ciguling, (desa Pasanggrahan sekarang, Sumedang Selatan). Setelah meninggal. Ia dimakamkan di Ciguling, dan tahta jatuh pada anaknya yang bernama Pangeran Tirtakusuma, dan setelah menjadi raja bergelar Sunan Tuakan atau Sunan Patuwakan.

SUNAN PATUAKAN
      Sunan patuakan atau Tirtakusuma menjadi penguasa Sumedang larang menggantikan ayahnya, Sunan Guling.
     Ia dimakamkan di Heubeul Isuk, desa Cinanggerang. Ia kemudian digantikan oleh anaknya, Sintawati yang terkenal dengan nama Nyi Mas Patuakan.

NYI MAS PATUAKAN / SUNAN CORENDA
     Nyi Mas Patuakan atau Sintawati menjadi raja Sumedang menggantikan ayahnya, Sunan Patuakan. Sintawati menikah dengan Sunan Corenda  (Sunan Corenda adalah raja Talaga, putra dari Ratu Simbarkancana di kusumalaya, sedang Kusumalaya merupakan putra dari Dewa Niskala, penguasa Galuh.
     Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai  seorang putri yang bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata  (1530-1578 M), yang kemudian menggantikannya, dan bergelar Ratu pucuk umun.    
    Sunan Corenda adalah putra Sunan parung, cucu Prabu Ratu Dewata

RATU PUCUK UMUN  (1530-1578 M) / PANGERAN SANTRI
        Ratu Pucuk umun atau ratu Inten Dewata  naik tahta Sumedang Larang menggantikan ibunya, Nyi Mas Ratu Patuakan dan ayahnya, Sunan Corenda.  Ia merupakan  seorang keturunan rajaraja sumedang kuno, yang kemudian masuk Islam, dan berkuasa bersama suaminya, Pangeran Santri memerintah Sumedang Larang.  Pada masanya ibukota  kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.
      Pada pertengahan abad ke-16 M, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ia sendiri kemudian masuk Islam dan menikah dengan Pangeran Kusumahdinata (1505-1579 M), yang terkenal dengan nama Pangeran santri, atau  Ki Gedeng Sumedang. Pangeran santri yang memerintah Sumedang bersama istrinya, sambil menyebarkan islam ke seluruh wilayah kerajaan.
    Pangeran Santri adalah putra dari pangeran Palakaran (Pangeran Pamalekaran / dipati tetarung), putra arya dammar (sultan Palembang). Ibunya  Ratu Martasari (Nyi Mas ranggawuluung), anak  Syekh Maulana Abdurrahman (Sunan Panjuman) serta  cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama  keturunan Arab Hdramaut, yang berasal dari Mekah dan menyebarkan Islam di berbagai penjuru kerajaan Sunda.
     Pangeran Kusumah dinata terkenal dengan nama Pangeran santri karena  asalnya dari pesantren dan pewrilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahannya tersebut, berakhirlah  masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Dan sejak itu menyebarlah Islam di seluruh penjuru Sumedang larang.
     Dari hasil pernikahan antara Pucuk Umun dan Pangeran santri melahirkan 6 orang putra,yaitu
  1. ·         Pangeran Angkawijaya, yang kemudian dikenal dengan nama Prabu Geusan ulun, yang menggatikan menjadi raja Sumedang Larang. Ia merupakan  raja Sumedang Larang terbesar dan terakhir kerajaan Sumedang Larang.
  2. ·         Kiai rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu dari Narimbang, supaya memeluk Islam.
  3. ·         Kiai Demang Watang di Walakung
  4. ·         Santowaan  Wirakusumah yang keturunannya berada di pagaden dan Pamanukan Subang.
  5. ·         Santowaan Cikeruh
  6. ·         Santowaan Awi Luar.

     Ratu pucuk Umun  dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean gede kota Sumedang.

PRABU GEUSAN ULUN (mp. 1579-1608 M).

      Pangeran Geusan Ulun menjadi raja Sumedang Larang menggatikan ayah dan ibunya, Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun pada tahun 1579 M. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukotanya.
       Nama sebenarnya adalah Pangeran Angkawirya, dan kemudian bergelar Pangeran Kusumahdinata 2. Pangeran Angkawijaya dilahirkan 3 Sukrapaksasrawamummasa 1480 Caka atau 3 Dzulkaidah 965 H Bertepatan dengan 20 Juli 1558 M.
Geusan  Ulun dinobatkan jadi raja 1578 menggantikan ayahnya dan dikukuhkan pada 13 Angklapaksa Asyiyimasa 1502 Caka atau 10 dzulkaidah 998 H atau 18 November 1580.
Ketika Kerajaan Pajajaran runtuh, kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang dipegang oleh Pangeran Santri. Dan setahun setelah Pajajaran jatuh, Pangeran santri menyerahkan kekuasaan pada anaknya, Pangeran Angkawirya. Penobatan Pangeran Angkawirya dilakukan oleh hampir seluruh rakyat pajajaran, setelah kerajaan itu jatuh  karena serangan tentara Banten, yang dipimpin oleh Sultan Maulana Yusuf.
Gelar Prabu Geusan Ulun diberikan oleh rakyat Pajajaran, Geusan berarti Tempat, sedang ulun berarti bernaung, atau mengabdi. Penobatannya itu ditandai dengan diserahkannya mahkota kebesaran “Binokasih” yang terbuat dari emas bertahtahkan intan berlian pemberian Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Mahkota diserahkan oleh empat Kandagalante atau panglima perang yaitu Mbah Jayaperkosa (Sanghiyang Hawu), Mbah Nanganan (Batara Wiyatiwiradijaya), Mbah Terongpeot (Batara Pancarbuana) dan Mbah Kondanghapa

Jatuhnya Pajajaran
     Pada masanya kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya, yang diserang oleh Banten dibawah pimpinan Sultan Maulana Yusuf.  Dan pada tahun 1579 M (8 Mei 1579 M), ibukota Pajajaran, Pakuan, runtuh.
       Sebelum peristiwa jatuhnya Pakuan terjadi, Prabu Ragamulya Surya Kencana, Raja Pajajaran terakhir mengutus 4 orang kepercayaannya, yang dikenal dengan Kandaga Lante, yang terdiri dari: Sanghiyang Hawu (Jaya perkosa), Batara Adipati Wiradijaya (Nangganan), Sanghiyang Kondanghapa dan Batara Pencar Buang (Terong peot) dan  berhasil menyelamatkan atribut pakaian kebesaran maharaja Sunda, yang terdri dari: mahkota emas simbol kekuasaan raja Pakuan,  kalung bersusun 2 dan 3, serta perhiasan lainnya, seperti benten, siger, tampekan dan kilat bahu. Atribut-atribut  kebeesaaran tersebut kemudian diserahkan kepada raden Angkawijaya yang kemudian naik tahta Sumedang larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (mp. 1579-1601 M).
     Meskipun tempat penobatan raja, Palangka Sriman di Pakuan diboyong ke Banten oleh Maulana Yusuf, tetapi ia tidak bisa memboyong mahkota kebesaran Sunda. Sehingga Sumedang Larang lah yang tetap dianggap sebagai  penerus kemaharajan Sunda terakhir.
     Prabu Geusan Ulun adalah raja terbesar dan terakhir. Penerusnya, rangga Gempol I yang masih berdarah Cirebon kemudian bergabung dengan mataram, sehingga Sumedang Larang berubah statusnya dari kerajaan menjadi kabupatian.
    

Wilayah Kekuasaan
      Wilayah kekuasaan Sumedang Larang meliputi  Kuningan, Garut, Bandung, Tasik dan Sukabumi (wilayah Priangan). Kecuali Galuh (Ciamis). Pada masanya kerajaan Sumedang mengalami kemajuan yang pesat  dibidang sosial, budaya , agama, militer dan pemerintahan.
     Tetapi ketika dianggap sebagai penerus kekuasaan dari Pajajaran, luas wilayahnya semakin luas. Di barat  berbatasan dengan sungai Cisadane, di timur berbatasan dengan sungai Cipamali (brebes, purwekerto, cilacap, Banyumas), kecuali Cirebon dan jayakarta, batas utara laut Jawa dan selatannya samudra hindia.

Konflik Dengan Cirebon
     Dalam upayanya memperdalam agama Islam, Prabu Geusan Ulun pernah ke Demak, yang diikuti oleh 4 perwira utamanya yang disebut kandaga lante. Setelah dari Demak, ia mampir di Cirebon Disini ia bertemu dengan penguasa Cirebon, Panembahan Ratu.
      Prabu Geusan Ulun  terkenal mempunyai perilaku yang santun, disamping  sangat tampan, sehingga disenangi penduduk Cirebon, termasuk prameswari Panembahan Ratu, yang bernama Ratu Harisbaya. Sang ratu sangat tertarik dan jatuh cinta  pada Geusan Ulun, sehingga ketika rombongan  Prabu Geusan Ulun pulang ke Sumedang, ia dengan tanpa sepengetahuannya ikut rombongan. Karena mengancam akan bunuh diri, akhirnya ia di bawa pulang ke Sumedang.
     Karena kejadian ini Panembahan Ratuu marah besar dan mengirim pasukan untuk  merebut kembali  ratu Harisbaya, sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang.
     Dengan penengah sultan Agung dari Mataram yang meminta agar panembahan ratu menceraikan ratu Harisbaya, yang aslinya berasal dari Pajang-Demak yang dinikahkan oleh sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat  menyerahkan wilayah  barat sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon.
     Karena peperangan itu pula ibukota Sumedang larang dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut dengan Dayeuh Luhur.

Prameswari dan Putra Putri Prabu Geusan Ulun
     Prabu  Geusan Ulun memiliki 3 orang istri, yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada. Yang kedua adalah Ratu Harisbaya, yang berasal dari Pajang Demak, dan yang ketiga adalah Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut, ia memiliki  20 orang anak.

Dari Istrinya Nyi Mas Cukang Gedeng Waru
  1. Pangeran rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang.
  2. Raden  Aria Wiraraja 1
  3. Kiai Kadu Rangga Gede
  4. Kiai Rangga Patra kalana di Cunduk kayu
  5. Kiai Aria Rangga Pati di Haur koneng
  6. Kiai Ngabehi Watang
  7. Nyi Mas Demang Cipaku
  8. Nyi Mas Ngabehi Martayuda di Ciawi
  9. Nyi Mas RanggaWiratama di Cibeureum
  10. Raden Rangga Nitinagara di Pagaden dan Pamanukan
  11. Nyi Mas Rangga pamade
  12. Nyi Mas Dipati Ukur di Bandung
  13. Pangeran Tumenggung Tegal Kalong
  14. Kiai Demang Cipaku di dayeuh Luhur
Dari Istrinya ratu Harisbaya 
  1. Raden Suriadiwangsa, II (Rangga Gempol 1)
Dari Istrinya Nyi Mas Pasarean.
  1. Raden Kartajiwa.
  2. Raden  Mangunrana
  3. Raden Tampangkil
  4. Nyi aden Sumalintang
  5. Nyi Raden Nustawiyah

Penutup

      Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Sumedang larang, karena penguasa  selanjutnya memilih menjadi  bagian dari Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati) pada masa pemerintahan rangga Gempol I pada tahun 1620 M.


(By Adeng Lukmantara, dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar