Laman

Jumat, 24 Februari 2017

SEJARAH PEMERINTAHAN DI DESA HARIANG (REVISI)

Pengantar
Tulisan ini merupakan yang kedua tentang sejarah pemerintahan desa Hariang. Pada awalnya hanya berjudul Sejarah Desa Hariang. Jadi tulisan ini meneruskan tulisan sebelumnya, yang dirasa perlu untuk terus menerus memperbaikinya.

Yang menjadi motivasi dari tulisan tulisan ini adalah meneruskan sejarah tradisi orang hariang,  yang sangat menjaga kesinambungan dalam menjaga kelestarian sejarah. Meskipun dalam menyampaikan sejarah banyak yang diungkapkan secara lisan. Tetapi yang mengagumkan lagi adalah ternyata nenek moyang Hariang juga mengembangkan budaya tulis menulis dalam penulisan sejarah dan silsilah masyarakat Hariang. Tradisi ini memang langka dan jarang dimiliki oleh masyarakat sunda  lainnya. 

Konon dari 3 langkah untuk menjadi bangsa yang berperadaban,  sebenarnya orang Hariang telah mempunyai 2 langkah yang mungkin bisa dikembangkan, yaitu: kesinambungan sejarah dan yang kedua adalah tradisi tulis menulis. Dan hanya tinggal satu langkah lagi yaitu pemamfaatan ilmu pengetahuan dan tekhnologi untuk kehidupan.

Dalam tulisan tentang Sejarah Pemerintahan di Desa Hariang, kita akan mendapati evolusi ketika Hariang diresmikan sebagai pemerintahan di tingkat desa. Secara perlahan tetapi pasti kita mengetahui sejarah perkembangan desa dan masyarakatnya. Kita nantinya akan mendapati kapan sebenarnya ada sekolah di desa Hariang. Kapan perpajakan pertama kali dilaksanakan di desa Hariang. Dan juga kita akan mendapati tentang evolusi persawahan di hariang, yang awalnya "ngahuma" ke "sawah".


Tiada gading yang tidak retak. Tulisan ini mungkin banyak kekuarangannya. Tetapi dari kekurangan inilah kita mulai berpijak. Dan tulisan ini kebanyakan dikutip dalam buku Sejarah Desa Hariang, yang disusun oleh Bapak E. Sona yang disusun kembali oleh Bapak Atnawi, dan dibukukan di era Kuwu Uda Wijaya. Dan sumber lain di Internet dan wawancara dengan berbagai tokoh Hariang, seperti Bapak Emut Muchtar, Abah Olin, Sekdes Ganda dan lain lain


SEJARAH PEMERINTAHAN DI DESA HARIANG

A.. Letak Desa Hariang

Desa Hariang merupakan suatu desa yang ada di kecamatan Buahdua Kabupaten Sumedang.

Desa Hariang berada di sebelah utara kabupaten Sumedang. Dan berada di kecamatan Buahdua sebelah barat. Desa Hariang ini sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Tanjung kerta dan kecamatan Tanjungmedar. Sedang sebalah utara berbatasan dengan dengan kecamatan Surian. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cikurubuk dan Kecamatan Tanjungkerta. Sedang di timur berbatasan dengan desa Mekarmukti dan desa Citaleus.

Hariang merupakan desa terluas di kecamatan Buahdua setelah Desa Cilangkap. Hariang juga mempunyai posisi yang strategis, karena di lalui oleh jalan Kabupaten yang menghubungkan antar kecamatan (Tanjungkerta dan Buahdua). Disamping itu juga di Hariang terdapat jalan menuju kecamatan Surian (Desa Wanajaya) dan juga ke arah desa Mekarmukti.


Gbr. Lokasi Kabupaten Sumedang


Gbr. Kecamatan Yang Ada di Wilayah Kabupaten Sumedang

Gbr. Peta Desa Hariang


B.. Sejarah Hariang Menjadi Suatu Wilayah Desa 

Dalam buku Sejarah Desa Hariang dikatakan bahwa Hariang telah didirikan pada tanggal 20 Mei 1665 (Rabiul Akhir 1085 H) oleh Raden Wangsawijaya dan istrinya, Nyi Mas Bayun, bangsawan dari Sumedang Larang.

Dan  Hariang menjadi suatu desa didirikan pada tanggal 12 April 1843 Masehi, pada masa Sumedang dipimpin oleh Bupati  Pangeran Surya Kusuma Adinata. Dan yang diangkat menjadi kepala desa atau "kuwu" pertama adalah Ungkas Wangsa Wijaya. Setelah Ungkas berhenti kemudian diganti oleh Sarwian, dan seterusnya.  

Sejak berdirinya pada tanggal 12 April 1843, hingga tahun 2017 (dalam kurun waktu 174 tahun) desa Hariang telah mengalami pergantian kepemimpinan sebanyak 20 kali yaitu 16 kepala desa  definitif dan  4 penjabat kepala desa. 

Kepala desa atau Kuwu yang telah memerintah desa Hariang sebagai berikut:

1.  Ungkas Wangsa Wijaya (mp. 1843-1869)
2. Sarwian (mp. 1869-1877 M)
3. Ahi Asta Praja (1877-1894 M)
4. Wira Praja (1894- 1899)
5. Jaya Praja (1899- 1909)
6. Mulyani Wangsa Praja (1909-1914)
7. Adi Wijaya (1914- 1928)
8. Astra Praja (1928- 1945)
9. Enja (1945- 1947)
10. Astra Praja II (1947- 1948)
11. Ato Wiharja (ORTD) (1949) 
12. E.Sona (1949- 1969)
13. Sukarya (Pj) (1969- 1970)
14. S.Endih (1970- 1980)
15. Engkos Kosim (Pj) (1980-1981)
16. Koko.S (1981- 1989)
17. Engkan Kuswara (1989- 1990)
18. Danu.K (1990- 1998)
19. Uda Wijaya (1998- 2006)
20. T. Rustandi (2006- 2012); Sekarang T Rustandi untukmasa jabatan yang kedua kalinya (2012- 2018).


C.. Sejarah Kepemimpinan Kepala Desa (Kuwu) Hariang dan Perannya 

1.  Ungkas Wangsa Wijaya (mp. 1843-1869)

Ungkas merupakan kepala desa atau kuwu Hariang pertama, yang diangkat pada masa upati Sumedang diperintah oleh Pangeran Surya Kusuma Adinata.

 Ia adalah anak dari uyut Mudaran. Ia merupakan anak pertama dari 6 bersaudara. Dalam silsilah Ungkas termasuk generasi ke-7 dari silsilah urang Hariang, dengan silsilah sebagai berikut: Ungkas bin Mudaran bin Mukram bin Soma bin Akung bin Wangsa Dirana bin Taruna diwangsa bin Wangsa Wijaya. 

Ia memerintah desa hariang selama 25 tahun. Ia berhenti jadi kuwu (kepala desa) karena diangkat menjadi Petinggi (perwakilan camat) di lingkungan desa hariang ke barat. Dan pada tahun 1877 tingkat patinggi dibubarkan, sehingga setelah itu ia berhenti di pemerintahan. Pada tahun itu juga  kuwu sarwian berhenti juga.

Ungkas terkenal akan pengaruhnya yang cukup menonjol. Ia sendiri seorang yang kuat, gagah, sakti dan ahli dalam menggunakan senjata (ngabedil). enurut cerita ia hanya perlu 1 kali tembakan untuk menembak (ngabedil) badak yang cukup kuat. Padahal konon orang lain yang menembak badak tersebut, meskipun menembak lebih dari 2 atau 3 kali badak tersebut masih tetap bisa lari.

2. Sarwian (mp. 1869-1877 M)

Sarwian diangkat menjadi kuwu yang kedua (lurah manten), Ia tinggal di Tonjong. dalam silsilah ia tidak termasuk turunan Urang Hariang, tetapi ia menikah dengan Nyi Etet putra Asikin. Istrinya masih merupakan turunan Urang Hariang.  Pasangan suami istri ini termasuk orang yang paling kaya di desanya. Konon ia kalau menghitung uang dari pagi hingga  sore.

Ia memerintah hariang selama delapan tahun, dari tahun 1869 hingga 1877 Masehi, dan digantikan oleh Ahi Asta Praja.

3. Ahi Asta Praja (1877-1894 M)

Ahi Asta Praja merupakan kuwu (kepala desa) ke-3, yang memerintah selama 17 tahun  dari tahun 1877 hingga 1894 Masehi. Ia merupakan putra dari Uyut Enas, dan ia  menikah dengan Nyi Uti.

Diceritakan bahwa Ki asta adalah seorang yang gagah dan sakti. Terkenal kuat, sehingga ia bisa mencabut pohon beringin. Konon kekuatannya menyamai Uyut Siluman generasi sebelumnya, dan kadang terlalu dibesar-besarkan katanya bisa terbang juga. Konon karena ingin bisa terang Ki Asta bertapa ke Gunung geulis. Bersamaan dengannya juga ikut seorang yang bernama Kalsim, yang mempunyai tujuan yang sama. Ki Asta bertapa hampir dipuncak disela-sela batu besar, sedang Kalsim lebih bawahnya.

Pada masa Ahi asta Praja Desa Hariang waktu itu terdiri dari: Kampung Hariang aya 72 suhunan (rumah), Kampung Waregu ada 9 suhunan (rumah) dan Kampung Tonjong ada 27 suhunan (rumah). Jumlah penduduknya tidak diceritakan berapa jumlahnya.

Konon pada masa Ahi Asta praja ini, antar kampung tidak aman, bahkan kadang saling mengancam. Terutama kalau ada yang menyenangi wanita kampung yang lainnya, maka pemuda itu akan dikejar-kejar. jika pemuda itu pemberani maka akan terjadi perkelahian, dan jika tidak berani maka mereka kadang melarikan diri.

4. Wira Praja (1894- 1899)

Wirapraja adalah menantu dari Ungkas Wangsawijaya. Ia aslinya orang Tanjungkerta. Ia pada awalnya menikah dengan orang Tanjungkerta Nyi Empik, tetapi kemudian menikah dengan Nyi Enong putra dari Ungkas (kepala desa pertama).

Pada zaman Wirapraja ini di wilayah sumedang dan sekitarnya terjadi suatu peristiwa pemberontakan yang dipimpin oleh Ibu Tewang. Ibu tewang adalah orang keturunan Cirebon, yang membangun pusat pemberontakannya di pinggir Mata air Cieurih di hutan sebalh timur kampung Sanca. Ibu tewang mempunyai pasukan dengan senjata gada, tumbak, panah, bandring bahkan senjata (bedil) totog. Panglima pasukan Ibu Tewang disebut Elang. Ealang itu disamping memimpin pasukan juga mempunyai tugas sebagai penerang dan juga mendidik rakyat, urusan negara dan agama. Mereka membuat gara gara supaya masyarakat kampung yang dilaluinya menjadi pengikutnya dan juga merubah agamanya, sesuai dengan ajarannya. Ada dua elang yang terkenal dimasa itu, yaitu Elang Asma dan Elang Daspa.

Karena perkembangannya pesat, kemudian ia membangun markas baru di blok Cicadas yang disebut Metawati (nama ini sampai sekarang). Ibu Tewang ini kemudian memasuki wilayah Sumedang. Dan mereka memasuki daerah Hariang melalui jalan desa Wanasari, untuk mempengaruhi masyarakat Hariang.

Konon Elang Asma dan Ealang Daspa datang ke Hariang.  Tetapi masyarakat Hariang kebanyakan meninggalkan kampung, dan tinggal di kebun kebunnya, karena mereka tidak mau mengabdi ke elang elang etrsebut.

Dan hal ini terdengar hingga Sumedang, karena itu pemerintah Sumedang kemudian melakukan tindakan penangkapan penangkapan pengikut Ibu Tewang tersebut, termasuk elang elangnya. Banyak pengikutnya yang dihukum bahkan hingga seumur hidup. Kepala Desa Wirapraja juga ditangkap, karena dianggap berkomplot (karena tidak melaporkan keberadaan elang pengikut Ibu Tewang yang memasuki Hariang).

Wirapraka mendapat hukuman selama 5 tahun dan di penjara di Medan Sumatra Utara.

5. Jaya Praja (1899- 1909)

Jaya Praja menjadi kepala desa 10 tahun.  Pada awalnya ia menikah dengan Nyi Omoh kakanya dari Isad. Tetapi kemudian ia menikah lagi dengan Nyi Ulti putri Ungkas (kepala desa pertama).

Pada zamannya tidak ada peristiwa keributan, aman tentram. Pada zamannya ia mulai membangkitkan lagi pemahaman terhadap agama Islam, yang telah dikotori oleh paham elang elang Ibu Tewang. Pada zamannya mesjid seolah penuh oleh orang yang menunaikan solat berjamaah, dan juga tabligh. Sehingga konon mereka pulang dari mesjid rata rata sekitar jam 11-an malam. Pada zamannya anak anak begitu antusias belajar mengaji kita b Al Qur’an.

Pada zamannya juga mulai ada perubahan perilaku menanam padi, dari ngahuma ke model sawah. Perubahan itu karena ada instruksi dari pemerintah Sumedang. Pada awalnya katanya mereka selalu merugi atau gagal panen. Hingga akhirnya datang bupati Sumedang yang bernama Pangeran Kusuma Adinata ke Hariang. Sang bupati juga langsung mengajari dan mempraktekan penanaman pohon buah buahan di sisi jalan desa seperti buah Randu, Jambe, Asem dan lainnya.

Pada waktu itu kepala desa dari Surian, Wanasari, Citaleus, Cikurubuj, Boros dan juga Hariang kumpul selama seminggu di Hariang untuk belajar aturan mengenai gerakan menanam biji buah buahan di tiap tiap desa, yang harus ditanam dipinggir jalan desa.

Sang Pangeran mememrintahkan penghijauan di tiap desa untuk menanam berbagai pohon buah buahan di pinggitr jalan, di tanah tanah pangangonan (tempat mengembala), tanah milik yang miring, hal itu untuk mencegah longsor.

6. Mulyani Wangsa Praja (1909-1914)

Pada awalnya ia menikah dengan Ny Timoh, kemudian menikah dengan Nyi Ugi putri dari Latip.

Mata pencaharian masyarakat Hariang waktu itu bertani, tetapi masih model ngahuma. Karena model nyawah masih belum untung alias selalu rugi.

Pada zamannya pendidikan umum  mulai dibuka. Pada masanya ada perintah dari pemerintah Sumedang supaya rakyat bisa membaca dan menulis huruf latin yang waktu itu sering disebut huruf Walanda (belanda). Pemerintah waktu itu memberikan uang yang disebarkan ke desa desa agar dibelikan tanah untuk membangun sekolah. Sekolahnya terdiri dari 3 sekat, karena waktu sekolah hanya sampai kelas 3 (3 tahun), yang kemudian dikenal dengan sekolah desa, yang komplit dengan gurunya.

Sekolah di Hariang pertama kali selesai dibangun pada  tanggal 27 Februari 2012.  Bayaran sekolah tiap murid adalah 10 sen tiap bulan. Buku dan alat tulis disediakan di sekolah. Dan batasan anak sekolah berumur 12 tahun.  Jadi umur diatas 12 tahun tidak boleh sekolah.

Masyarakat Hariang adalah 100 persen orang islam. Karena itu di generasiny asebelum ada sekolah masyarakat waktu itu bisa menulis memakai bahasa arab.
Hingga Mulyani Wangsa Praja maslaha kebudayaan dan juga kesenian dari zaman Wangsawijaya hingga zamannya tetap dipertahankan dan masih rame dipertunjukan seperti: Calung rentet, Angklung, Terbang, Celempung, Suling, Karinding dan seterusnya.

7. Adi Wijaya (1914- 1928)


Ia merupakan kepala desa Hariang yang ke-7, yang berkuasa selama 14 tahun. Ia menikah dengan Nyi Pioh putri dari Ny Jumisah.

Pada masanya mulai ada pemungutan pajak tanah milik rakyat. Demikian juga pajak usaha bagi para pedagang. Hal ini mulai dilaksanakan pada tahun 1927.

Dan peristiwa penting dizamannya adalah terjadinya kebakaran besar pada tahun 1914, tidak lama setelah ia diangkat jadi kepala desa. Kebakaran itu melalap 18 rumah dan juga Leuit (rumah penyimpanan beras). Kebakaran ini merupaka yang terbesar dan pertama.

Pada tahun itu juga ada berita terjadinya perang dunia I. Masyarakat mengetahui hal itu karena ada pengumuman dari negara ke desa desa.

Ia dikatakan sebagai orang yang tangkas. Kampung kampung yang ada di bawah desa Hariang sangat bersih. Jalan jalan desa bagus dan sisi jalan tidak boleh ada pohon yang menutupi jalan (ngaroyom). Jadi keleihatan bersih dan tampak jelas dari kejauahan (ngemplong). Dan meskipun hujan jalannya juga tidak becek. Permusuhan antar kampung mulai berkurang.

Karena prestasinya ini, Hariang begitu terkenal, sehingga Sang Pangeran Sumedang sering ke Hariang. Terutama ketika mendidik kepala kepala desa di 7 desa (termasuk Hariang), dalam rangka mengajar menanam tanaman, dan sawah (melak nandur). Kegiatan ini selalu diadakan di hariang.

Bupati Sumedang waktu itu bergelar Pangeran terakhir, yaitu Pangeran Surya Atmaja. Pangeran Surya Atmaja berkuasa dari tahun 1883 hingga 1919.  Ketikz berkata di depan 7 kepala desa yang mengikuti pertemuan dengan Sang Pangera, yang dilaksanakan di Hariang. Sang Pangeran berkata bahwa setelahnya tidaka akan ada bupati bergelar pangeran lagi, dan menurutnya bahwa dialah bupati bergelar Pangeran terakhir. Karena itu katanya mumpung ada disini di Hariang “kaula hakan ku sarerea sing beak”. Maksudnya menurutnya bahwa ilmu yang ia miliki tentang pertanian yang dipelajarinya di Belanda agar bisa diserap dan dipelajari semuanya.

Dalam hal pertanian terutama menanam padi (nyawah) ada 3 mangsa (periode), yaitu mangsa kapat tebarna (menanam) harus tangga 1 Oktober.  Kalau mansa katiga (halodo/ kemarau) harus tebar (menanam) tanggal 1 juni sampai 15 Juni. Dan jika sawah sawah yang dekat dengan sungai yang kemungkinan terancam banjir, maka menanamnya (tebarnya bisa dimajukan pada tanggal 20 mei. Dan terakhir yaitu mangsa rendeng (musim hujan), tebarnya (menanam padi) tanggal 10 Desember sampai 20 Desember. Kalau jenis padi huma (ngahuma) dianjurkan sudah ngasek (menanam) pada bulan November.

Sang Pangeran sampai menekankan dan menginngatkan kepada kepala kepala desa agar jangan sekali kali merubah waktu tersebut, “Supaya Seuweu putu kaula sareubeuh dahar.”

Pada tahun 1919 Kanjenga Pangeran Surya Atmaja meninggal dan digantikan oleh Adipati Arya Kusuma Dilaga yang berkuasa dari tahun 1919 hingga 1937, ataukemudian dikenal dengan sebutan Daleum Bentang.

Pada tahun 1922 -1923 rakyat di Kabupaten Sumedang diharuskan berjaga jaga di jalan luaran kampung setiap malam, karaean di kota Sumedang ada keributan kecilyang disebut Sarikat Rakyat (SR). Semua kampung harus berjaga jaga agar golongan ini agar tidak memasuki kampung. Hal ini berlangsung selama 3 bulan. Dan seterusnya desa aman tentram.

8. Astra Praja (1928- 1945)

Astra Praja pada awalanya adalah jurutulis desa. Ia menjadi kepala desa Hariang dari tahun 1928 hingga 1945 (17 tahun).  Ia menikah dengan Nyi Enah putri Aki Elas.

Pada zamannya jumlah penduduk ada 924 orang, dan  231 rumah. Luas bawahan desa hariang lebih dari 390 hektar (sedang tahun 1915 bawahan desa Hariang 470 hektar)

Pada zamannya, tahun 1928 mulai diadakan pengukuran pengukuran tanah milik raktyat, tanah milik pemerintah desa (parabon) 

9. Enja (1945- 1947)

10. Astra Praja II (1947- 1948)

11. Ato Wiharja (ORTD) (1949) 

12. E.Sona (1949- 1969)

13. Sukarya (Pj) (1969- 1970)

14. S.Endih (1970- 1980)

15. Engkos Kosim (Pj) (1980-1981)

16. Koko.S (1981- 1989)

17. Engkan Kuswara (1989- 1990)

18. Danu.K (1990- 1998)

19. Uda Wijaya (1998- 2006)

20. T. Rustandi (2006- 2012); Sekarang T Rustandi untukmasa jabatan yang kedua kalinya (2012- 2018).

(lanjut....)

By: Adeng Lukmantara bin Abah Olin
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang kabupaten Sumedang

Sumber:
E.Sona dan Atnawi, Sejarah Desa Hariang, 2004

Internet:
Wikipedia
Dll