Laman

Minggu, 05 Juli 2015

AKAN SIRNANYA (TENGGELAMNYA) JEJAK PERADABAN SUMEDANG LARANG AWAL


 Sumedang sekarang merupakan  salah satu kabupaten di propinsi Jawa Barat. Orang luar sumedang mengenal kota ini karena makanan khasnya yang terkenal, Tahu Sumedang. Tahu sumedang ini juga menjadi brand dari restoran dan kedai tahu di berbagai kota di Kalimantan. Jika kita ke kota kota besar di kalimantan, kita akan dapati restoran dengan nama Tahu Sumedang. Dalam lagu,  nama sumedang juga diabadikan oleh musikus Doel Sumbang dalam lagunya,  dan menyebut kota sumedang sebagai kota leutik campereunik.

Nama Sumedang sebenarnya nama yang berproses secara evolusi dari nama nama sesuai dengan zamannya. Sumedang berproses dari nama awalnya Tembong ageung (artinya nampak besar/ kelihatan besar/ nampak agung)  yang mula pertama di bangun oleh Prabu Aji Putih, yang dianggap pendiri cikal bakal sumedang sekarang ini. Nama Tembong Ageung kemudian berubah menjadi Himbar Buana (artinya menerangi alam) pada era Prabu Taji Malela (putra Prabu Aji Putih). Prabu Tajimalela inilah yang dianggap berjasa dalam mengembangkan sumedang menjadi suatu daerah yang disegani.


Setelah Himbar Buana, kemudian namanya menjadi  Sumedang Larang di era setelah Prabu Taji Malela, Hal ini kemungkinan di era Prabu Lembu Agung atau Prabu Lembu Peteng Aji (putra pertama Tajimalela), sebagai sebuah penghormatan terhadap ucapan ayahnya (Prabu Tajimalela), ketika Prabu Tajimalela selesai bertapa. Prabu Tajimalela berkata Insun Medal Insun Madangan (Saya lahir untuk menerangi / mencerahkan).


Entah kapan nama sumedang Larang resmi dijadikan menjadi nama sebuah wilayah kerajaan, yang merupakan negara bagian kerajaan Sunda. Pada masa pengembara  sunda  yang terkenal pada akhir abad ke 15 M, Prabu Jaya Pakuan atau Bujangga manik, yang melewati gunung Tampomas dan Cipunagara yang merupakan wilayah wilayah Sumedang waktu itu. Sang Bujangga Manik tidak menyebut nama yang dilewatinya tersebut  dengan nama sumedang, tetapi menyebut nama Medang Kahiyangan. Jadi nama Sumedang Larang diakhir abad ke-15 Masehi masih belum dikenal, dan masih dikenal dengan nama Medang Kahiyangan. Hal ini juga diceritakan  dalam Naskah Carita parahiyangan yang masih menyebut Medang Kahiyangan. Penulis naskah Carita Parahiyangan tidak menyebut Sumedang untuk wilayah ini, tetapi masih menyebut Medang Kahiyangan. Naskah Carta Parahiyangan ditulis pada dekade akhir abad ke 16 M, jadi Sumedang sebagai suatu nama belum dikenal pada waktu itu. Dan masih dikenal dengan nama Medang Kahiyangan.


Dan nama Sumedang larang kemungkinan mulai terkenal di era Prabu Geusan Ulun yang menjadi raja. Karena ketika Pajajaran Burak  (Pajajaran Jatuh) pada tahunn 1579 M, mahkota kerajan Pajajaran diberikan kepada Prabu Geusan Ulun. Sehingga secara otomatis wilayah wilayah kerajaan pajajaran, yang bukan wilayah Banteun dan cirebon merupakan wilayah sumedang larang.


Tidak hanya nama sumedang yang berevolusi dari nama tembong ageung hingga nama sumedang larang, dan sekarang hanya merupakan sebuah kabupaten yang tidak begitu dominan, baik dalam kegiatan politik dan juga perkonomian.


Tetapi ibukota Sumedang juga berevolusi yang awalnya di sekitar Darmaraja (kampung Cipaku sekarang (sekarang adanya di kampung muara desa Leuwihideung)), di era Prabu Aji putih, Prabu Tajimalela dan Prabu Lembu Peteng Aji. Tetapi di era Prabu Gajah Agung, ibukota dipindahkan ke Ciguling (sekarang di sekitar desa Pasanggrahan , Sumedang Selatan), hingga anak Prabu Gajah Agung, yang bernama Wirajaya kemudian dikenal dengan nama Sunan Pagulingan.. Dan juga anak dari Sunan Pagulingan, yang bernama Pangeran Mertalaya dikenal dengan sunan Guling.


Ibukota di Ciguling berlangsung dari era Prabu Gajah Agung, berturut turut kemudian digantikan oleh Sunan Pagulingan, Sunan Guling, Sunan Patuakan, Nyi Mas Patuakakan (Sintawati) / Sunan Corenda, Nyi Mas Ratu Inten Dewata (Ratu Pucu Umun)/ Pangeran santri. Dan pada masa Prabu Geusan Ulun (Pangeran Angkawirya / Pangeran kusumahdinata 2) (mp. 1579-1608 m) dipindah ke Kutamaya.


Tidak hanya raja raja dan ibukota yang berevolusi, tetapi keyakinan orang Sumedang juga berevolusi, yang awalya beragama sunda wiwitan atau Hindu. Diyakini islam masuk ke Sumedang di era Sunan Corenda / Nyi Mas Patuakan berkuasa. Karena anaknya yang bernama Ratu Inten Dewata atau Ratu pucuk Umun (1530-1578 M) menikah dengan seorang muslim, yang bernama Pangeran Kusumah Dinata (1505-1579 M), dan terkenal dengan nama Pangeran santri atau Ki Gedeng Sumedang, cicit darii Syekh Datuk Kahfi.


Waduk Jatigede dan akan Tenggelamnya Jejak Peradaban Sumedang Larang Awal


Setelah mendapat restu dari penguasa Galuh waktu itu Prabu Suryadewata, Prabu Aji Putih, yang masih keturunan Aki Balangantrang, sang inspirator kudeta Ciung Wanara di Galuh,  kemudian mendirikan kabuyutan / kabataraan di sekitar kampung Cipaku yang letaknya di pinggir sungai Cimanuk (sekarang  adanya di kampung Muhara, desa Leuwihideung, Darmaraja). Sebelum kedatangan beliau, dikampung Cipaku ini konon telah ada sejak abad ke 8 M. Pengaruhnya semakin kuat sehingga kekuasaanya meluas hingga sepanjang walungan (sungai) Cimanuk, hingga berdirinya kerajaan Tembong Ageung. Tembong Ageung berarti Kelihatan besar / luhur (tembong berarti kelihatan, sedang ageung berarti besar dan luhur). Dengan ibukota di sekitar  Leuwi hideung  Darmaraja sekarang


Jatigede adalah bendungan / waduk terbesar kedua setelah Waduk jatiluhur, yang dibangun disekitar Darmaraja dan sekitarnya. Waduk ini nantinya akan menenggelamkan desa desa di sekitar 5 kecamatan (Darmaraja, Cadasngampar, situraja, Jatigede dan wado). Dan salah satunya adalah bekas ibukota  Sumedang Larang awal.


Karena bekas ibukota kerajaan, di sekitar daerah darmaraja sekarang banyak situs situs atau jejak jejak Sumedang larang awal. Dengan dmikian, jika proses genangan air waduk Jatigede yang akan menenggelamkan desa desa di 5 kecamatan sekitar Darmaraja (Kec. Darmaraja,Cadasngampar,  Jatigede, Situraja dan Wado) terjadi, maka akan tenggelam juga situs situs yang ada di tempat tempat itu, seiringn dengan tenggelamnya daerah tersebut.


Didaerah ini banyak situs situs pemakaman baik yang bergelar Prabu, dalem, aria, bahkan gelar yang lainnya seperti embah, eyang, buyut, dan lainnya. Gelar Prabu merupakan gelar raja atau turunannya. Gelar dalem adalah sebutan untuk bupati tempo dulu (abad ke-17 hingga awal abad ke-20). Sedang gelar aria digunakan oleh bupati paling tidak sampai dengan zaman pemerintahan Hindia Belanda (1808-1942). Sedang untuk gelar embah, eyang, buyut dan lainnnya menunjukan tokoh masyarakat  atau bekas pejabat negara. 


Misal di Situs Cipeueut, Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja terdapat tiga buah makam kuna, yang oleh masyarakat setempat diyakini bahwa makam tersebut  merrupakan makam Prabu Guru Aji Putih, makam Nyi Mas Ratu Inten (Nyi Mas Dewi Nawangwulan), dan makam Sanghiang Resi Agung. Mereka adalah raja dan tokoh penting Kerajaan Tembong Agung, cikal-bakal Kerajaan Sumedang Larang. 


Dan pada Situs Astana Gede di Kecamatan Darmaraja terdapat makam dengan tokoh yang dimakamkannya disebut prabu, dan ada juga yang bergelar dalem. Di Situs ini berupa bangunan teras berundak terdiri dari tiga teras. Teras paling atas berukuran lebih kecil, terdapat makam Embah Jalul, dan dua teras berikutnya terdapat makam Dalem Prabu Lembu Agung, dan makam Embah Dalem Demang Cipaku. Prabu Lembu Agung  adalah putra Prabu Tajimalela, cucu Prabu Guru Aji putih.

Dan banyak juga situs situs yang lainnya yang bertebaran disekitar Darmaraja, yang akan tenggelam seiring dengan tenggelamnya daerah daerah tersebut akibat genangan waduk Jatigede

  
(Lanjut)
By Adeng Lukmantara
Note: Tulisan ini sebagai salah satu turut berdukanya atas akan hilangnya sisa peradaban Sumedang Larang yang akan tergenang oleh oleh Bendungan jati Gede

Senin, 09 Februari 2015

IKUT SERTA DALAM MENGUNGKAP SISI SEJARAH SUNDA TEMPO DULU YANG TERSISA

Kata Pengantar

“Informasi yang sedikit adalah awal dari pencarian:". 

Dengan prinsip inilah tulisan  ini disusun. Karena  tidak mungkin selama ratusan tahun atau ribuan tahun nenek moyang kita tidak pernah memberikan jejak yang berarti dalam sejarah.

Kajian sejarah secara umum yang sangat menekankan tentang bukti sejarah. Untuk membuktikan sejarah, sejarah itupun perlu dicari perlu diselidiki, perlu diteliti sedemikian rupa sehingga akan didapat bukti sejarah yang akurat. Jika bukti tidak pernah dicari atau diteliti maka  bukti sejarah itu tidak akan didapat.

Para guru sejarah kita kebanyakan adalah sejarawan statis, yang hanya menerima bukti sejarah dari peneliti peneliti asing, , yang memang telah begitu berjasa dalam berbagai penelitian. Sehingga kita terjebak pada anggapan-anggapan yang kaku tentang sejarah, sehingga informasi sejarah seolah terkubur seiring dengan anggapan bahwa penelitian sejarah sudah dibakukan, seperti angggapan umum masyarakat kita,

Untuk mendapatkan bukti sejarah, berarti sejarah itu harus dicari, kemudian diselidiki dan juga diteliti sehingga kemudian didapatkan bukti. Suatu misal dalam sejarah bahwa sungai citarum merupakan sungai peradaban di tanah sunda. Harusnya ada penelitian aliran sungai citarum ini dari berbagai zaman. Dan Sekarang bukti sejarah membuktikan itu. Dengan ditemukan komplek percandian di batu jaya dan di cibuaya membuktikan hal itu. Itupun bukan hasil dari penelitian tetapi merupakan hasil dari kebetulan sejarah. Bukti bukti sejarah kebetulan didapat karena ada informasi dari para petani tentang gundukan bangunan di sekitar sawahnya. Nah disinilah kelemahan kita, bahwa semua bukti sejarah merupakan bukti kebetulan, bukan dari upaya pencarian. Dengan logika yang sangat sederhana, karena sangat tidak mungkin hidup ribuan tahun nenek moyang tidak pernah memberikan jejak sejarah sedikitpun

Dengan demikian merupakan tanggung jawab generasi sekarang untuk memulai menelitii sejarah kebudayaan kita, atau minimal mengumpulkan seluruh data data yang mungkin akan dijadikan awal dari penelitian sejarah ke depan.

Kesadaran akan sejarah harusnya mulai dibangkitkan kembali, karena suatu bangsa tanpa mengetehui sejarah masa lampaunya, hanya akan menjadi bangsa yang mengambang dan bangsa yang gampang hancur. Karena bagaimanapun pengalaman sebagai bangsa yang hebat akan menjadikan masa depan sebagai bangsa yang hebat juga.


I. HAL HAL MENGENAI SEJARAH SUNDA TEMPO DULU

1. Referensi Sejarah Yang  sedikit

Jika kia mau mengkaji sejarah, kita akan tahu bahwa sumber utama dalam pengkajian sejarah kita adalah sumber referensi sejarah yang sangat sedikit, baik sumber referensi utama atau primer maupun sekunder, yang diteliti oleh para ahli sejarah. Keengganan  ahli sejarah dalam menulis buku buku tentang sejarah dari bangsa ini, dapat dibuktikan begitu minimnya sumber refernsi yang berupa buku hasil dari tulisan para ahli yang sangat minim. Kebanyakan dari para pengajar sejarah tidak lebih dari ahli cerita lisan yang mengulang cerita dari hari ke hari dan hanya sedikit yang mengungkapkan dalam tulisan. Dan jika menulispun seolah menulis apa yang teleh ditulis oleh ahli sejarah sebelumnya

Dari minimnya hasil karya, Ahli  sejarah kita seolah  bukan ahli dalam meneliti, tetapi lebih cenderung hanya menceritakan kisah kisah buku yang sudah baku yang ditulis sebelumnya. Di negeri ini hanya sedikit ahli sejarah yang mau meneliti, mau menyelidiki dengan susah payah. Bangsa ini memang terlalu prgamatis, sehingga segala sesuatu harus ada hasilnya dalam waktu sekejap atau dapat dirasakan searang juga. Buktinya hanya sedikit hasil karya tulisan dari para ahli sejarah. Dan hanya sedikit yang menulis sejarah.

Kita harus acungi jempol pada ahli ahli sejarah sunda awal, semisal: Atja dan lainnya, yang meninggalkan jejak awal pengkajian sejarah sunda yang begitu komprehensif. Meskipun belum final, tetapi harusnya memberikan modal awal dalam pencarian dan pengkajian sejarah yang lebih universal. Karena dasar dasar seperti penerjemahan dan tafsirnya telah dimulai olehmereka, sehingga generasi berikutnya menyeldiki meneliti dan mencari lagi kemungkinan-kemungkinan bukti sejarah bisa di dapat dan diteliti.

Selain mereka, seolah ahli sejarah hanya terjebak pada pada pengulangan pengulangan sejarah yang ditulis oleh ahli sejarah sebelumnya, yang didasarkan berdasar keinginan dari para penguasa Sehingga kajian sejarah menjadi kajian sejarah statis, yang mengulang dari generasi ke generasi, tergantung pada guru sejarah yang mengajarkan

2.  Naskah Carita parahiyangan yang Belum dikenal Mayoritas Masyarakat Sunda

Paman saya seorang pemerhati sejarah kebudayaan asal sumedang, juga teman ketika di SMA dan menjadi pengajar ilmu sejarah di SMP, demikian juga guru guru sejarah lainnya yang dulu menjadi pengajar saya. Dan mungkin sya sendiri jika tidak mencari sendiri bahan bacaan atau data diinternet, mungkin hampir sama dengan mereka, menjadi orang yang tidak tahu tentang sejarah nenek moyangya,

 Dari semua itu  banyak sekali yang tidak mengetahui tentang Naskah Carita Parahiyangan, ataupun naskah naskah primer sejarah sunda lainnya seperti Naskah Bujangga Manik. Bagi mereka sumber sumber ini dianggap sebagai dongeng yang ditulis dengan cerita diulang ulang. Padahal Naskah naskah tersebut ditulis pada abad ke-16 M dan juga abad ke-15 M.

Naskah Carita Paahiyangan harusnya dikaji oleh para pemerhati sejarah dan menjadi awal dari pencarian yang lebih serius. Karena naskah ini merupakan naskah sejarah yang tersisa yang ada hingga kini.

Kebiasaan kita yang selalu mengekor dalam berbagai hal harus kita akhiri. Untuk membangun sejarah ke depan setidaknya harus membuat fondasi yang kuat sekarang ini dan belajar dari sejarah masa lampau.

Dalam mengkaji sejarah biasanya kita tidak pernah mengkaji dari sumber yang pertama, kita tidak pernah membaca naskah sejarah yang pertama. Sehinngga sejarah di negeri ini tidak terlepas dari sejarah kata si ini dan si anu.  Jadi sejarah kita lebih banyak berupa sejatrah kata kata yang penuh rekayasa, sehingga tidak pernah bisa membedakan antara sejarah dan dongeng, dan antara sejarah dan sejarah rekayasa yang tidak jauh dari kata dongeng itu sendiri.

2. Naskah Bujangga manik, Referensi Sejarah Penting Di Pulau Jawa
 Sekarang ini dalam mengungka sejarah masa lampau, atau  sejarah di abad ke 15 M, yntuk mengetahui kehidupan di tanah jawa diabad itu Naskah Bujangga Manik, telah dijadikan sumber pengkajian.  Karena naskah ini memberikan berita yang sangat penting dalam keh

(lanjut)

3. Mengkaji Aliran Sungai Citarum
Sungai citarum adalah sungai peradaban di tataran sunda. Harusnya kita mulai menyelidiki tentang aliran sungai citarum dari masa ke masa. Karena dengan meneliti aliran sungai ini, kemungkinan besar akan didapat sisa sisa peradaban sunda.

Kebanyakan dari bukti sejarah dalam sejarah peradaban sunda karena kebetulan, bukan karena penelitian. Harusnya ada ahli sungai citarum di tataran sunda. Karena sungai ini merupakan sungai peradaban dari dulu hingga kini. Sekarang saja sungai citarum telah menjadi sungai peradaban, karena di sepanjang sungai ini telah dibangun sumber energi listrik yang sangat besar, yang membuat urat nadi kehidupan bangsa ini bisa bergerak dan mengalir dengan begitu lancar.

Disamping Sumber energi listrik terbesar berasal dari aliran sungai ini. Sungai ini juga merupakan sumber air minum. Tidak bisa dibayangkan jika terjadi sesatu dengan aliran sungai ini, negeri ini terutama di pulau jawa akan gelap gulita dan akan kekurangan sumber air minum, atau setidaknya bangsa ini akan kembali ke bangsa terbelakang. Atau sumber dana yang dibutuhkan oleh bangsa ini untuk mensuplay energi listrik akan begitu besar, bahkan mungkin akan menguras sumber APBN negeri ini, terutama wilayah ibukota Jakarta dan sekitarnya. Ketidakpedulian terhadap aliran sungai ini akan mengakibatkan kerugian yang amat besar bagi bangsa ini, karena begitu besar peranannya baik pada peradaban tempo dulu apalagi sekarang.

Kembali lagi ke pengkajian sejarah sungai citarum ini, sangat penting untuk diungkap. Karena sungai ini menjadi sungai peradaban terutama di zaman tempo dulu.  Kerajaan Taruma Negara di abad ke -5 M menunjukan hal tersebut. Bukti bukti sejarah menunjukan hal tersebut. Dan sungai ini memegang peraan yang begitu besar dalam urat nadi kehidupan tiap zaman.

Setidaknya, kemungkinan besar akan didapat sisa sisa peradaban nenek moyang uran sunda di aliran sungai ini.  Suatu misal dengan iemukannya komplek percandian di Cibuaya dan  di karawang menunjukan hal tersebut.

Bukti sejarah di aliran sungai citarum bukan akibat dari hasil penelitian, tetapi lebih cenderung kepada hasil kebetulan. Karena ada laporan dari para petani di lokasinya yang menemukan gundukan berupa batu bata yang tertata rapi.

4, Mengkaji Alran Sungai Ciliwung & Sungai Cipakancilan

Dalam tulisan Bujangga manik sungai cipakancilan dan sungai ciliwung banyak sekali disebut. Setidaknya di sekitar hulu sungai ciliwung dan sungai cipakancilan inilah letak ibukota kerajaan Sunda terdapat.

Dalam kisah perjalanannya baik yang pertama maupun yang kedua, telah begitu banyak menginformasikan tentang letak ibukota kerajaan Sunda. Bujangga Manik dalam perjalanannya ke arah timur Jawa dan bali menceritakan dengan jelas tentang lokasi ibukota ini. Ia pergi dari rumahnya, alunn alun besar dan istana dengan jelas diceritakan. Dan jalan yang dilalui dan juga tempat tempat yang dilalui juga menunjukan hal tersebut.

Penulis tidak pernah membaca dan mengetahui, apakah sudah ada yang melakukan penelitian terhadap lokasi ibukot berdasar dari tulisan Bujangga Manik ini.

(lanjut)