Sumedang
sekarang merupakan salah satu kabupaten di propinsi Jawa Barat. Orang
luar sumedang mengenal kota ini karena makanan khasnya yang terkenal, Tahu
Sumedang. Tahu sumedang ini juga menjadi brand dari restoran dan kedai tahu di
berbagai kota di Kalimantan. Jika kita ke kota kota besar di kalimantan, kita
akan dapati restoran dengan nama Tahu Sumedang. Dalam lagu, nama sumedang
juga diabadikan oleh musikus Doel Sumbang dalam lagunya, dan
menyebut kota sumedang sebagai kota leutik campereunik.
Nama Sumedang
sebenarnya nama yang berproses secara evolusi dari nama nama sesuai dengan
zamannya. Sumedang berproses dari nama awalnya Tembong ageung (artinya nampak
besar/ kelihatan besar/ nampak agung) yang mula pertama di bangun oleh
Prabu Aji Putih, yang dianggap pendiri cikal bakal sumedang sekarang ini. Nama
Tembong Ageung kemudian berubah menjadi Himbar Buana (artinya menerangi
alam) pada era Prabu Taji Malela (putra Prabu Aji Putih). Prabu Tajimalela
inilah yang dianggap berjasa dalam mengembangkan sumedang menjadi suatu daerah
yang disegani.
Setelah Himbar Buana, kemudian namanya menjadi Sumedang Larang di era setelah Prabu Taji Malela, Hal ini kemungkinan di era Prabu Lembu Agung atau Prabu Lembu Peteng Aji (putra pertama Tajimalela), sebagai sebuah penghormatan terhadap ucapan ayahnya (Prabu Tajimalela), ketika Prabu Tajimalela selesai bertapa. Prabu Tajimalela berkata Insun Medal Insun Madangan (Saya lahir untuk menerangi / mencerahkan).
Entah kapan nama sumedang Larang
resmi dijadikan menjadi nama sebuah wilayah kerajaan, yang merupakan negara
bagian kerajaan Sunda. Pada masa pengembara sunda yang terkenal
pada akhir abad ke 15 M, Prabu Jaya Pakuan atau Bujangga manik, yang melewati
gunung Tampomas dan Cipunagara yang merupakan wilayah wilayah Sumedang waktu
itu. Sang Bujangga Manik tidak menyebut nama yang dilewatinya tersebut
dengan nama sumedang, tetapi menyebut nama Medang Kahiyangan. Jadi nama
Sumedang Larang diakhir abad ke-15 Masehi masih belum dikenal, dan masih
dikenal dengan nama Medang Kahiyangan. Hal ini juga diceritakan dalam
Naskah Carita parahiyangan yang masih menyebut Medang Kahiyangan. Penulis
naskah Carita Parahiyangan tidak menyebut Sumedang untuk wilayah ini, tetapi
masih menyebut Medang Kahiyangan. Naskah Carta Parahiyangan ditulis pada dekade
akhir abad ke 16 M, jadi Sumedang sebagai suatu nama belum dikenal pada waktu
itu. Dan masih dikenal dengan nama Medang Kahiyangan.
Dan nama Sumedang larang kemungkinan mulai terkenal di era Prabu Geusan Ulun yang menjadi raja. Karena ketika Pajajaran Burak (Pajajaran Jatuh) pada tahunn 1579 M, mahkota kerajan Pajajaran diberikan kepada Prabu Geusan Ulun. Sehingga secara otomatis wilayah wilayah kerajaan pajajaran, yang bukan wilayah Banteun dan cirebon merupakan wilayah sumedang larang.
Tidak hanya nama sumedang yang
berevolusi dari nama tembong ageung hingga nama sumedang larang, dan sekarang
hanya merupakan sebuah kabupaten yang tidak begitu dominan, baik dalam kegiatan
politik dan juga perkonomian.
Tetapi ibukota Sumedang juga
berevolusi yang awalnya di sekitar Darmaraja (kampung Cipaku sekarang (sekarang adanya di kampung muara desa Leuwihideung)), di era Prabu Aji putih, Prabu
Tajimalela dan Prabu Lembu Peteng Aji. Tetapi di era Prabu Gajah Agung, ibukota
dipindahkan ke Ciguling (sekarang di sekitar desa Pasanggrahan , Sumedang
Selatan), hingga anak Prabu Gajah Agung, yang bernama Wirajaya kemudian dikenal
dengan nama Sunan Pagulingan.. Dan juga anak dari Sunan Pagulingan, yang
bernama Pangeran Mertalaya dikenal dengan sunan Guling.
Ibukota di Ciguling berlangsung dari
era Prabu Gajah Agung, berturut turut kemudian digantikan oleh Sunan
Pagulingan, Sunan Guling, Sunan Patuakan, Nyi Mas Patuakakan (Sintawati) /
Sunan Corenda, Nyi Mas Ratu Inten Dewata (Ratu Pucu Umun)/ Pangeran santri. Dan
pada masa Prabu Geusan Ulun (Pangeran Angkawirya / Pangeran kusumahdinata 2)
(mp. 1579-1608 m) dipindah ke Kutamaya.
Waduk Jatigede dan akan Tenggelamnya
Jejak Peradaban Sumedang Larang Awal
Setelah mendapat restu dari penguasa
Galuh waktu itu Prabu Suryadewata, Prabu Aji Putih, yang masih keturunan Aki
Balangantrang, sang inspirator kudeta Ciung Wanara di Galuh, kemudian
mendirikan kabuyutan / kabataraan di sekitar kampung Cipaku yang letaknya di
pinggir sungai Cimanuk (sekarang adanya di kampung Muhara, desa
Leuwihideung, Darmaraja). Sebelum kedatangan beliau, dikampung Cipaku ini konon
telah ada sejak abad ke 8 M. Pengaruhnya
semakin kuat sehingga kekuasaanya meluas hingga sepanjang walungan (sungai)
Cimanuk, hingga berdirinya kerajaan Tembong Ageung. Tembong
Ageung berarti Kelihatan besar / luhur (tembong berarti kelihatan, sedang
ageung berarti besar dan luhur). Dengan ibukota di
sekitar Leuwi hideung Darmaraja sekarang
Jatigede adalah bendungan / waduk
terbesar kedua setelah Waduk jatiluhur, yang dibangun disekitar Darmaraja dan
sekitarnya. Waduk ini nantinya akan menenggelamkan desa desa di sekitar 5
kecamatan (Darmaraja, Cadasngampar, situraja, Jatigede dan wado). Dan salah
satunya adalah bekas ibukota Sumedang Larang awal.
Karena bekas ibukota kerajaan, di
sekitar daerah darmaraja sekarang banyak situs situs atau jejak jejak Sumedang
larang awal. Dengan dmikian, jika proses genangan air waduk Jatigede yang akan
menenggelamkan desa desa di 5 kecamatan sekitar Darmaraja (Kec. Darmaraja,Cadasngampar,
Jatigede, Situraja dan Wado) terjadi, maka akan tenggelam juga situs
situs yang ada di tempat tempat itu, seiringn dengan tenggelamnya daerah
tersebut.
Didaerah ini banyak situs situs pemakaman baik yang bergelar Prabu, dalem,
aria, bahkan gelar yang lainnya seperti embah, eyang, buyut, dan lainnya. Gelar
Prabu merupakan gelar raja atau turunannya. Gelar dalem adalah sebutan untuk
bupati tempo dulu (abad ke-17 hingga awal abad ke-20). Sedang gelar aria
digunakan oleh bupati paling tidak sampai dengan zaman pemerintahan Hindia
Belanda (1808-1942). Sedang untuk gelar embah, eyang, buyut dan lainnnya
menunjukan tokoh masyarakat atau bekas pejabat negara.
Misal di Situs Cipeueut, Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja
terdapat tiga buah makam kuna, yang oleh masyarakat setempat diyakini bahwa
makam tersebut merrupakan makam Prabu Guru Aji Putih, makam Nyi Mas
Ratu Inten (Nyi Mas Dewi Nawangwulan), dan makam Sanghiang Resi Agung. Mereka
adalah raja dan tokoh penting Kerajaan Tembong Agung, cikal-bakal Kerajaan
Sumedang Larang.
Dan pada Situs Astana
Gede di Kecamatan Darmaraja terdapat makam dengan tokoh yang dimakamkannya
disebut prabu, dan ada juga yang bergelar dalem. Di Situs ini berupa bangunan teras
berundak terdiri dari tiga teras. Teras paling atas berukuran lebih kecil, terdapat makam Embah Jalul, dan dua teras
berikutnya terdapat makam Dalem Prabu Lembu Agung, dan makam Embah Dalem Demang
Cipaku. Prabu Lembu Agung adalah putra
Prabu Tajimalela, cucu Prabu Guru Aji putih.
Dan banyak juga situs situs yang lainnya yang bertebaran disekitar Darmaraja, yang akan tenggelam seiring dengan tenggelamnya daerah daerah tersebut akibat genangan waduk Jatigede
(Lanjut)
By Adeng Lukmantara
Note: Tulisan ini sebagai salah satu turut berdukanya atas akan hilangnya sisa peradaban Sumedang Larang yang akan tergenang oleh oleh Bendungan jati Gede