Pengantar
Kata orang bijak, kalau suatu permasalahan atau sutu peristiwa itu ditulis, maka akan timbul pertanyaan berikutnya, yang mungkin perlu ditulis dan ditelusuri.
Tulisan ini merupakan rangkaian
dari tulisan terdahulu tentang sejarah hariang, yang implikasina bisa menjadi
bahan kajian dari sejarah mengenai desa sekitarnya. Penulis mungkin akan
mengatakan istilah ini dengan nama Istilah “Hariang efek” (mungkin salah dalam
penulisan). Karena tulisan ini akan membangkitkan pengkajian terhadap daerah
daerah yang berkaitan dengan sejarah desa Hariang ini. Mungkin mereka bisa
memprediksi sejak kapan kampung atau leumbur yang mereka diami itu didirikan.
Bapak Emut Muchtar dulu sebelum
timbul ide tentang suatu acara yang dinamakan “Medal Hariang”. Ia sangat sulit
untuk mencari momen yang pas kapan bisa membuat suatu acara yang dapat
membangkitkan semangat para warganya, sehingga dapat membangkitkan berbagai hal
baik perekonomian dan juga nantinya kesejahteraaan. Karena itu dicarilah suatu
momen yang berkaitan dengan lahirnya leumbur atau kampung itu sendiri,. Maka
lahirlah suatu acara pertama yang dinamakan “Medal Hariang”. Bapak Emut Muchtar
sangat percaya pada suatu kata kata bijak
jika identitas seseorang tergugah maka mereka akan berusaha untuk
bangkit.
Kembali lagi ke judul tulisan
ini, sebenarnya kapan proses berburu (moro Banteng) itu terjadi? Jika momen
atau peristiwa ini terungkap maka akan dengan mudah kita bisa memprediksi
sebenarnya kapan suatu daerah yang dikaitkan dengan sejarah Hariang itu
berdiri. Mungkin nantinya para penggiat sejarah di daerahnya akan mencari,
menyelidiki dan sebagainya daerahnya tersebut. Jadi disinilah sebanarnya
hebatnya yang dikatakan dengan istilah Hariang Efek tersebut.
MORO (BERBURU) BANTENG PARA BANGSAWAN SUMEDANG
Dikisahkan bahwa Sang Pangeran
Sumedang, karena akan mengadakan suatu perayaan, ia kemudian menyuruh para bangsawan dan juga mungkin
diukuti oleh sebagian tentaranya untuk berburu (moro) banteng di daerah
Conggeang, Buahdua dan Hariang sekarang, yang konon waktu itu merupakan hutan
belantara.
Diceritakan sebelumnya bahwa
dalam menyusun strategi berburu mereka berkumpul ditempat yang sekarang
dinamakan desa Narimbang. Karena
ditempat ini mereka menimbang nimbang mau ke arah mana mereka berburu. Kemudian
mereka menuruni daerah yang kontur tanahnya menurun yang dalam bahasa sunda
disebut cungging. Maka daerah inipun disebut Conggeang. Kemudian mereka ke sekitar buahdua sekarang yang
dinamakan Malanang, kemudian mereka
mangkal di suatu mata air suatu sungai
yang sekarang disebut Pangkalan.
Karena tidak mendapat hasil buruan meereka kemudian mereka mengingat ingat
(emut emut) kearah mana mereka akan melakukan perburuan. Dan mereka memutuskan
untuk menelusuri sungai dari hulu ke hilir. Sungai tempat ngemut ngemut ini kemudian dinamakan sungai Cimamut. Hingga perjalanan terhenti di
suatu tempat yang dinamakan leumbur Hariang
sekarang.
Kapan Peristiwa Moro Terjadi?
Tentang kapan terjadinya
peristiwa moro dan pada zaman pemerintahan siapa peristiwa ini terjadi. Untuk
menjawab hal tersebut ada pendekatan jawaban yang mungkin relatif bisa
dipertanggung jawabkan yaitu dengan menggunakan silsilah dari istana Sumedang
dan peristiwa peristiwa dari daerah yang berkaiatan dengan sejarah berdirinya
Leumbur Hariang.
Seperti kita ketahui Hariang
didirikan oleh Raden Wangsawijaya. Wangsawiajaya mempunyai istri yang bernama
Nyi Mas Bayun, putri dari istana Sumedang. Dalam silsilah yang ada di museum
Sumedang Nyi Mas Bayun merupakan putri dari Pangeran Rangga Gede, putra dari
Prabu Geusan Ulun.
Jadi jika menilik kepada sejarah Sumedang. Waktu perintah berburu,
kemungkinan masih di era Pangeran Rangga Gede berkuasa atau pada masa putranya
(Pangeran Rangga Gempol II), dan tidak mungkin di era Rangga Gempol III atau
Pangeran Panembahan.
Rangga Gede adalah mertua dari Wangsa Wijaya. Jadi sangat mungkin
perintah berburu di masa mertuanya. Atau mungkin juga perintah berburu di era
Rangga Gempol II atau Pangeran Bagus Weruh, yang merupakan saudara iparnya. Dan
jikapun terjadi di era Rangga Gempol III atau Pangeran Panembahan, yang
merupakan keponakannya, kemungkinan
besar di era awal kekuasaannya. Tetapi jika pun pendapat yang ketiga ini benar
berarti umur Wangsa Wijaya sudah mulai sepuh, dan tidak mungkin.
Dalam tradisi lisan sering kesulitan dalam menentukan urutan tahun.
Karena itu sejarah sering tumpang tindih. Dalam cerita lisan juga sangat sulit
di era siapa sebenarnya proses berburu tersebut. Karena bagi orang desa yang
dia tahu bahwa penguasa sumedang itu adalah gelarnya saja atau sebutannya saja,
yaitu pangeran. Rangga gempol I, Rangga gede, Rangga Gempol II, Rangga Gempol
III dan seterusnya selalu disebut dengan nama Pangeran.
Jadi dalam sejarah ada kemungkinan bahwa proses berburu terjadi di era
Pangeran Rangga Gede berkuasa, karena Buyut Malanang yang sezaman dengan
Wangsawijaya dikaitkan dengan penyambutan tentara Mataram dalam rangka
penyerangn Mataram ke Batavia yang bertahun 1625 hingga 1630 M. Zaman itu
berada di peralihan Rangga gede ke Dipati Ukur. Jadi jika di Malanang waktu
berburu belum ada kampung, dan mulai ada kampung di era setelah berburu. Jadi
kemungkinan besar bahwa proses berburu jusru terjadi di era Pangeran Rangga
Gede berkuasa atau malah sebelum tahun 1625 M.
(lanjut.............)
By Adeng Lukmantara bin Abah Olin
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Hariang Kab, Sumedang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar