Laman

Minggu, 05 Februari 2017

MENGENAL 2 TOKOH PENDAHULU WANGSAWIJAYA: EMBAH GURIANG DAN DEMANG SURIAWACANA

Dalam buku Sejarah Desa Hariang yang disusun oleh bapak E.Sona seorang mantan kepala desa Hariang dari tahun 1949-1969. Buku ini disusun kembali oleh Bapak Atnawi (mantan juru tulis/ sekretaris desa)  dan diketik ulang di era Bapak Kuwu Uda Wijaya (kepala desa tahun 1998-2006. Dikatakan bahwa pendiri Leumbur Hariang adalah Wangsawijaya. Tetapi sebelum Wangsawijaya mendirikan leumbur Hariang sudah ada tokoh yang bermukim di Leumbur Hariang tersebut, yang kemudian terkenal dengan nama Embah Guriang.

Kita bersyukur bahwa di Hariang ini sudah ada upaya untuk memulai sejarah kampungnya (leumbur-nya) secara sistematis yang jarang ditemui di desa yang yang lainnya. Dalam buku ini diungkapkan bahwa Leumbur Hariang atau wilayah desa Hariang sekarang ini didirikan oleh Wangsawijaya pada tanggal 20 Mei 1665 M (Rabiul Akhir 1843 H). Dan saya juga bersyukur mempunyai orang tua (abah Olin) yang masih banyak hapal cerita yang diungkapkan turun temurun dari ayahnya, kakeknya, uyutnya dan seterusnya. Jadi seolah menjadi sinergi, karena dalam tulisan yang dibukukan pun masih banyak yang belum dibahas.

Menurut Buku Sejarah Desa Hariang diungkapkan bahwa  Embah Guriang adalah seorang patih dari kerajaan Pajajaran yang lolos ketika Pajajaran jatuh. Dalam buku ini diungkapkan bahwa yang menjadi Raja Pajajaran waktu itu adalah Prabu Ciung Wanara III (Ciung Wanara Putra). Hal ini juga diperkuat oleh cerita turun temurun dari Abah Olin dan juga Bapak Emut Muchtar yang mendapat cerita dari ayahnya dan seterusnya, yang mengatakan bahwa Embah Guriang adalah seorang patih Pajajaran

Bahkan diperjelas lagi analisisnya oleh Bapak Emut Muchtar, yang mengatakan bahwa melihat pengaruh dari Embah Guriang kemungkinan bahwa Embah Guriang ini adalah bekas pejabat tinggi Pajajaran  setingkat patih yang lolos ketika ibukota Pakuan Pajajaran jatuh. Bapak Emut Muchtar  adalah salah seorang intelektual asal Hariang yang menetap di Jakarta tetapi tetap konsen terhadap pengkajian desa Hariang.

A.. Siapa Embah Guriang Itu?

Dalam tulisan ini penulis akan menelusuri siapa sebenarnya Embah Guriang itu? Karena ada yang mengait kaitkan Embah Guriang dengan petinggi Pajajaran yang konon mengungsi ke daerah Hariang sekarang. Apakah benar Embah Guriang itu adalah mantan patih Pajajaran.

Menurut Sejarah Pakuan ibukota kerajaan Pajajaran, jatuh oleh serangan pimpinan Sultan Maulana Yusuf dari kesultanan Banten pada  tahun 1579.

Dalam Pustaka Nusantara,  tentang kejatuhan ibukota kerajaan Pajajaran, Pakuan, disebutkan: ” Pajajaran sirna  ing ekadasa suklapaksa wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang sakakala” ( Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan wesaka tahun 1501 saka). Tanggal tersebut bertepatan  dengan 8 Mei 1579 M.

Dan dalam naskah Banten, serangan tentara banten  ke pakuan, disebutkan: “ Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam  tepat pada awal bulan hari ahad tahun alif inilah tahun sakanya satu lima kosong satu.

Raja terakhir dari Pajajaran bernama Prabu Nusa Mulya  atau  Prabu   Suryakancana (Prabu Nusa Mulya merupakan sebutan yang ada dalam naskah Carita Parahiyangan, tetapi dalam Naskah Wangsakerta dikenal dengan nama Prabu Ragamulya Suryakancana).

Prabu Surya Kancana atau Prabu Nusa Mulya menjadi raja  menggantikan ayahnya, Prabu Nikalendra pada tahun 1567 M. Ia dianggap sebagai  raja terakhir dari Pajajaran, yang  berkuasa dari tahun 1567 sampai 1579 M.  Prabu Suryakanacana  ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang (sekitar Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari). Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai pucuk umun (panembahan) Pulasari

Zaman Prabu Suryakencana ini memang Pajajaran sedang dalam titik yang terendah. Dan hal ini dikatakan dalam Naskah Carita Parahiyangan:

Diganti ku Nusia Mulya. Lilana jadi ratu duawelas (!) taun. Mimiti datangna perobahan. Buana lemes nyusup ka nu kasar, timbul karusakan ti Islam. Perang ka Rajagaluh, eleh Rajagaluh. Perang ka Kalapa eleh Kalapa. Perang ka Pakwan, perang ka Galuh, perang ka Datar. Perang ka Ma(n)diri, perang ka Patege, perang kaJawakapala, eleh Jawakapala. Perang ka Gegelang. Meuntas perang ka Salajo; kabeheleh ku urang Islam.Kitu nu matak kabawah ka Demak jeung ti Cirebon.

Karena kekalahan yang terus menerus ibukota  Pakuan Pajajaran sebenarnya  telah ditinggalkan oleh rajanya, sejak sang ayah (Prabu Nikalendra)  berkuasa. Setelah kekalahan perang melawan pasukan Maulana Yusuf dari Banten, Nikalendra yang waktu itu berkuasa mengungsi ke Majaya, dan meninggalkan ibukota Pakuan. Dan penggantinya juga (Prabu Nusa Mulya/ Prabu Suryakancana)  diangkat dalam pengungsian di pulosari, Pandeglang sekarang. Pakuan diserahkan kepada senopati kerajaan yang kuat, diantaranya Jayaperkosa dan adik-adiknya.

Diakhir masa kekuasaan Prabu Nikalendra,  ibukota Pakuan Pajajaran nyaris lumpuh dan tidak menjadi ibukota lagi, karena Sang Raja Nikalendra mengungsi, setelah ibukota diserang bertubi-tubi. Banyak penduduknya mengungsi ke luar daerah, termasuk para kerabat raja.. Sebagian penduduknya menggungsi ke wilayah pantai selatan  diantaranya ke cisolok dan Bayah, dan juga banyak yang mengungsi ke timur, ke sumedang Larang dan lainnya. Dan putra mahkota sendiri, Prabu Nusamulya mengungsi ke pulosari, pandeglang. Dan disnilah ia kemudian diangkat menjadi raja.

Benteng Pakuan terkenal sangat kokoh yang sulit ditembus. Setelah 12 tahun ditinggal raja, Pakuan masih bisa bertahan, dan baru dapat dibobol Banten dengan penghianatan.  Dalam naskah Banten diceritakan bahwa benteng Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadinya penghianatan. 

Meskipun Sultan Maulana Yusuf dapat menguasai ibukota Pakuan. Tetapi ia gagal mendapatkan mahkota kebesaran Pajajaran. Menurut Sumber sejarah Sumedang Larang, ketika peristiwa jatuhnya Pakuan terjadi, 4 orang kepercayaan Prabu Ragamulya Surya Kancana,  yang dikenal dengan Kandaga Lante, berhasil menyelamatkan atribut pakaian kebesaran maharaja Sunda, yang terdri dari: mahkota emas simbol kekuasaan raja Pakuan,  kalung bersusun 2 dan 3, serta perhiasan lainnya, seperti benten, siger, tampekan dan kilat bahu. Atribut-atribut  kebeesaaran tersebut kemudian diserahkan kepada raden Angkawijaya, putra Pangeran Santri dan Ratu Inten Dewata (1530-1579 M) yang kemudian naik tahta Sumedang larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (mp. 1579-1601 M).
Empat Kandaga Kante merupakan para pejabat tinggi Pajajaran yang terdiri dari: Jaya Perkosa (Embah Sanghiyang Hawu ), Batara Adipati Wiradijaya (Embah Nangganan), Sanghiyang Kondanghapa dan Batara Pencar Buang (Embah Terong peot). Pimpinan dari Kandaga Lante itu adalah Jaya Perkosa. Karena itu Jaya Perkosa ini kemungkinan adala seorang Patih Pajajaran.

Dengan demikian, Sumedang Larang mewarisi kekuasaan Pajajaran yang belum dikuasai oleh kesultanan Cirebon dan kesultanan Banten.

Dari kisah diatas diungkapkan bahwa para pejabat tinggi  Pajajaran diungkapkan dalam sejarah adalah ada 4 orang yang meloloskan diri ke Sumedang Larang dengan membawa mahkota. Jika Embah Guriang dikatakan patih Pajajaran berarti kemungkinan bahwa Embah Guriang merupakan salah seorang dari  4 kandaga Lante tersebut.

Jaya Perkosa adalah pimpinan dari 4 kandaga lante tersebut. Apakah Embah Guriang itu adalah Embah Jaya Perkosa. Karena dalam sejarahnya Embah Jaya Perkosa, ketika habis menghadang pasukan kesultanan Cirebon, ia sangat kecewa  karena Prabu Geusan Ulun telah menyerahkan daerah Sindangkasih atau Majalengka sekarang ke kesultanan Cirebon.
Ia sangat kecewa karena perjuangannya selama itu tidak dihargai. Dia menyelamatkan mahkota Pajajaran diberikan kepada Prabu Geusan Ulun dengan harapan bisa merebut kembali seluruh  kekuasaan Pajajaran. Karena itu konon Embah Jaya Perkosa yang waktu itu merupakan Patih dari kerajaan Sumedang Larang, cadu untuk mengabdi lagi kepada kekuasaan setelahnya, dan ia pergi entah kemana. Dalam istilah lama sering dikatakan ngahiyang.

Meskipun ada tanda di dayeuh Luhur  yang berkaitan dengan Embah Jaya Perkosa. Tetapi itu dalam hubungannya dengan tanda ketika keberadaan dia dalam perang melawan Cirebon, bukan tempat ia meninggal. Tidak diungkapkan Embah jaya Perkosa pergi kemana, setelah ia mundur dari jabatannya sebagai patih. 

Dari kisah kisah tersebut, jika memang Embah Guriang itu patih, apakan Embah Guriang itu sama dengan tokoh Embah Jaya Perkosa, yang pergi dari istana Sumedang Larang.

Tetapi ada yang berkaiatan dengan tokoh Embah Guriang ini, yang masih beragama sebelumnya (belum jelas Hindu, budha atau kepercyaan Sunda tempo dulu). . Sedang Jaya Perkosa setelah lolos dari Pakuan, ia kemudian diangkat jadi patih atau senopati di kerajaan Sumedang Larang yang beragama Islam. Atau ada kemungkinan tokoh lain atau pejabat tinggi lain selain jabatan Kandaga Lante. 

Dan dalam buku Sejarah  Desa Hariang, dikatakan bahwa Embah Guriang  merupakan patih Pajajaran di era Raja terakhir yang bernama Prabu Ciung Wanara III (Ciung Wanara Putra).

Jika dikaitkan dengan sejarah baik dalam Naskah Carita Parahiyangan atau Naskah Wangsakerta tidak ditemukan raja Pajajaran yang bernamaPrabu Ciung Wanara III atau Ciung Wanara Putra. Seperti diungkapkan diatas bahwa Raja Pajajaran terakhir bernama Prabu Nusa Mulya atau Prabu Ragamulya Suryakancana.

1.. Keterkaitan Antara Embah Guriang dengan Berdirinya Leumbur Hariang

Jika melihat selisih waktu antara jatuhnya Pajajaran pada tahun 1579 dengan berdirinya leumbur Hariang yang dikatakan dalam buku Sejarah Desa Hariang pada tahun 1665, tepatnya tanggal 20 Mei 1665), terdapat rentang waktu sekitar 86 tahun. Adalah suatu hal yang tidak mungkin.

Jika melihat data tersebut, adalah tidak mungkin Embah Guriang itu adalah patih Pajajaran. Karena selisih waktu yang begitu jauh. Jika hal ini benar berarti Embah Guriang itu hidupnya lebih dari 100 tahun atau kemungkinan usianya diatas 120 tahunan ketika ia meninggal.

Penulis belum mendapat data yang jelas dimana dasar perhitungan bahwa Wangsawijaya mendirikan leumbur Hariang pada tahun 1665 atau tepatnya tanggal 20 Mei 1665 M (Rabiul Akhir 1843 H). Apakah Wangsa  Wijaya sebelumnya pernah ke wilayah Hariang, sehingga ia kemudian menetapkan hatinya untuk membuat perkampungan di desa Hariang ini.

Dalam buku Sejarah Desa Hariang tersebut diatas tidak menceritakan hal ini.  Karena itu angka tahun 1665 untuk berdirinya kampung Hariang mungkin  dipertanyakan. Dan kemungkinan lebih tua dari tahun tersebut. Karena ada silsilah yang keliru dari silsilah Nyi Mas Bayun, yang  merupakan istri dari Wangsa Wijaya.

Dalam buku Sejarah Desa Hariang dikatakan bahwa Wangsawijaya merupakan putra Mbah dalem Gajah Agung, bupati Bandung pertama yang bergelar Tumenggung Wira Angun Angun. Dan istrinya Nyi Mas bayun merupakan putri Embah Dalem Panembahan atau kemungkinan Pangeran Panembahan dan bergelar Pangeran Rangga Gempol III. Dikatakan bahwa Wangsawijaya kawin dengan Nyi Mas Bayun pada tahun 1663 M.

Sedang dalam silsilah dari kerajaan Sumedang, dikatakan bahwa Nyi Mas Bayun merupakan putri dari Pangeran Rangga Gede, yang merupakan kakek dari Pangeran Panembahan atau Pangeran Rangga Gempol III. Hal ini diungkapkan juga oleh bapak Emut Muchtar ketika bahwa tidak ada turunan Rangga Gempol III atau Pangeran Panembahan yang bernama Nyi Mas Bayun.

Dalam silsilah keturunan Sumedang Nyi Mas Bayun merupakan putra Pangeran Rangga Gede, dan merupakan bibi dari Pangeran Panembahan atau Pangeran Rangga Gempol III.
Dengan demikian apakah benar Wangsa Wijaya menikah dengan Nyi Mas Bayun  pada tahun 1663, dua tahun sebelum mendirikan kampung Hariang.  Dan apakah benar hari medal Hariang pada tahun 1665. Hal ini akan lebih jelas lagi akan diceritakan  pada judul berikutnya, yang berjudul “ Kapan Wangsa Wijaya bertemu pertama kali dengan Embah Guriang?”.


B.. Demang Suria Wacana

Selain Embah Guriang yang sangat dihormati oleh Wangsawijaya adalah Demang Suriawacana. Suatu tokoh yang sering dikaitkan dengan keturunan dari Majapahit.

Demang Suria Wacana atau sekarang terkenal dengan nama Mbah Demang Suria Wacana bertempat tinggal di Hariang di sekitar yang disebut Haur Koneng sekarang, suatu daerah yang masih masuk wilayah hariang, antara Hariang dan Wanajaya. Tidak diketahui asal usulnya, dan ia sendiri tidak mempunyai keturunan. Ia sangat dihormati oleh keluarga Wangsa wijaya, bahkan dianggap saudara dan sepuh (dituakan) sendiri.

Demang Suria Wacana ketika meninggal di era yang berkuasa di Hariang adalah putra dari Wangsa Wijaya, yang bernama Taruna Diwangsa. Ia dimakamkan di suatu tempat yang dinamakan Haur Koneng sekarang.


Menurut pendapat dari Buku Sejarah Desa Hariang, diungkapkan bahwa Demang Suria Wacana adalah bekas pejabat dari Majapahit. Hal ini juga diungkapkan oleh Abah Olin yang mengatakan bahwa Demang Suriawacana adalah bekas patih kerajaan Majapahit.

Pendapat ini sangat diragukan dan tidak mungkin. Karena Majapahit sudah hilang ratusan tahun dalam peradaban sejak ibukotanya jatuh ke tangan Demak diakhir abad ke-15 M. Sedang Wangsa Wijaya hidup pada abad 17 M, Suatu rentang waktu yang sangat jauh  200 tahun) dan tidak mungkin. Jadi sangat jelas bahwa Demang Suryawacana bukan patih majapahit, seperti yang diungkapkan oleh orang tua terdahulu.

Sebenarnya kita bisa menentukan di zaman kapan ia hidup. Dengan gelar Demang didepananya menunjukan suatu gelar yang biasa digunakan dalam gelar gelar penguasa di Zaman Mataram Islam. Jadi kemungkinan Demang Suriawacana adalah salah seorang pendatang dari wilayah timur atau Jawa Timur. Ia kemungkinan merupakan salah satu pimpinan ,prajurit Mataram yang ikut dalam penyeerangan terhadap Batavia yang gagal. Karena banyak tentara  Mataram yang tidak kembali akibat kekalahan dalam perang melawan Belanda di Batavia. Atau ada kemungkinan bahwa Demang Suryawacana masih kerabat dari Wangsawijaya atau Nyi Mas Bayun (masih dalam penelusuaran), karena istilah demang juga sudah digunakan di Sumedang setelah Pangeran Rangga Gempol I berkuasa, dan menjadikan sebagai bawahan Mataram.

Jika memang ia berasal dari Jawa Timur maka kemungkinan masih ada kaitan silsilah dengan eks. kerajaan Majapahit, yang memang sudah musnah diakhir abad ke-15 M. Jadi jika mengaitkan dengan jabatan patih Majapahit adalah suatu kekeliruan. Disamping gelar Demang didepannya menunjukan bahwa ia merupakan salah satu pejabat di era kerajaan Mataram.   

(Lanjut....)

By Adeng Lukmantara bin Abah Olin
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Desa Hariang Kab. Sumedang

(Sumber: Dari berbagai sumber)

3 komentar:

  1. puuun,,,, abah

    Cobi talungtik,,,
    1. Guryang (Guriang) tina kecap Guru Hyang,, jabatan pandita resmi karajaan di tatar pasundan,,,,
    2. Haryang Bangah ( Hariang Banga / ariya, aria ) ,, Haryang gelar putra2 Panjalu,,, teu mustahil turunan ti prabu Haryang Lembu Sampulur II, teu mustahil anjeunna ramana Arya Kuda Panjalu nu di istilahkeun banteng nu di poro ti Narimbang nu di talukeun ku Rangga Haji putrana P. Santri nu d bantos ku para pamoro ,,,
    3. Demang / demung Suria Wacana, aya kaitan sareng Cakra Dewa ( Lembu Sampulur V ) Ci Taman, kaitan sareng Majapait, tiasa di paluruh turunan R. Baribin nu kenging suaka ti karajaan Galuh waktos Majapait runtag,,,
    4. Umbul Asta Manggala Wira angun angun,, janten bupati pangkat tumenggung saparantos tiasa ngoroyok dipati Ukur,,, upami di talungtik aya kmgkinan2, R. Wangsa Wijaya mukim d Hariang,, kangge ngawaskeun pamarentahan Sumedang (tugas ti Mataram),,, atanapi nyingkahan konflik politik balas dendam ti turunan ukur, kenging suaka ti Sumedang.
    5. Siliwangi sareng sunan Giri,,, eta gelar sanes nami hiji jalmi,,,, patilasan nu d daerah Narimbang, nuduhkeun tmpat nu kantos ka sorang atanapi,, aya jalmi nu di tugaskeun kalayan nyandak panji Siliwangi,,, sunan Giri, gelar pangawasa gunung,,,,
    6. Cacagati aya oge nu nyebat Sacapati,,, eta gelar papatih Sumedang,,,, tiasa janten eta makamna Rangga Haji raina Geusan Ulun,,,,
    7. Hariang ngadeg leres tebih ti sateuacan zaman Geusan Ulun,,, buktosna,, batuan andesit sareng megalitik nu aya di gn. Hariang,,, eta nuduhkeun zaman nu lgkung kolot tibatan nu ayeuna di yakini,,,,
    8. Ngumpulna sesepuh2 Sumedang di gn. Harendong, tiasa mibanda kamunkinan,,, sapalih ti ptra2 Sumedang khususna turunan Cukang Gedeng Waru, teu satuju Sumedang tunduk ka Mataram,,, panyambutan2 pasukan Mataram di wewengkon Sumedang ngakibatkeun pasukan Mataram jalur tengah telat ngumpul di Batavia,,, aya naon tah ?
    Puuuun tabepuuuuun

    BalasHapus
    Balasan
    1. Punteun nembe di bales Bp. Ranggamantri, nuhun masukannnya.

      Hapus
  2. Dupi pusaka anu di aman keun aya kaitan nana sareng mahkota simbol kajayaan sumedang ( Makota Binokasih)?

    BalasHapus