Dalam buku Sejarah Desa
Hariang yang disusun oleh bapak E.Sona seorang mantan kepala desa Hariang dari
tahun 1949-1969. Buku ini disusun kembali oleh Bapak Atnawi (mantan juru tulis/
sekretaris desa) dan diketik ulang di
era Bapak Kuwu Uda Wijaya (kepala desa tahun 1998-2006. Dikatakan bahwa pendiri
Leumbur Hariang adalah Wangsawijaya. Tetapi sebelum Wangsawijaya mendirikan
leumbur Hariang sudah ada tokoh yang bermukim di Leumbur Hariang tersebut, yang
kemudian terkenal dengan nama Embah Guriang.
Kita bersyukur bahwa di
Hariang ini sudah ada upaya untuk memulai sejarah kampungnya (leumbur-nya) secara
sistematis yang jarang ditemui di desa yang yang lainnya. Dalam buku ini
diungkapkan bahwa Leumbur Hariang atau wilayah desa Hariang sekarang ini
didirikan oleh Wangsawijaya pada tanggal 20 Mei 1665 M (Rabiul Akhir 1843 H). Dan saya juga bersyukur mempunyai orang tua (abah Olin) yang masih banyak hapal cerita yang diungkapkan turun temurun dari ayahnya, kakeknya, uyutnya dan seterusnya. Jadi seolah menjadi sinergi, karena dalam tulisan yang dibukukan pun masih banyak yang belum dibahas.
Menurut Buku Sejarah Desa
Hariang diungkapkan bahwa Embah Guriang
adalah seorang patih dari kerajaan Pajajaran yang lolos ketika Pajajaran jatuh.
Dalam buku ini diungkapkan bahwa yang menjadi Raja Pajajaran waktu itu adalah
Prabu Ciung Wanara III (Ciung Wanara Putra). Hal ini juga diperkuat oleh cerita
turun temurun dari Abah Olin dan juga Bapak Emut Muchtar yang mendapat cerita
dari ayahnya dan seterusnya, yang mengatakan bahwa Embah Guriang adalah seorang
patih Pajajaran
Bahkan diperjelas lagi
analisisnya oleh Bapak Emut Muchtar, yang mengatakan bahwa melihat pengaruh
dari Embah Guriang kemungkinan bahwa Embah Guriang ini adalah bekas pejabat
tinggi Pajajaran setingkat patih yang
lolos ketika ibukota Pakuan Pajajaran jatuh. Bapak Emut Muchtar adalah salah seorang intelektual asal Hariang
yang menetap di Jakarta tetapi tetap konsen terhadap pengkajian desa Hariang.
A..
Siapa Embah Guriang Itu?
Dalam tulisan ini penulis
akan menelusuri siapa sebenarnya Embah Guriang itu? Karena ada yang mengait
kaitkan Embah Guriang dengan petinggi Pajajaran yang konon mengungsi ke daerah
Hariang sekarang. Apakah benar Embah Guriang itu adalah mantan patih Pajajaran.
Menurut Sejarah Pakuan
ibukota kerajaan Pajajaran, jatuh oleh serangan pimpinan Sultan Maulana Yusuf
dari kesultanan Banten pada tahun 1579.
Dalam Pustaka Nusantara, tentang kejatuhan
ibukota kerajaan Pajajaran, Pakuan, disebutkan: ” Pajajaran sirna ing ekadasa suklapaksa
wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang sakakala” ( Pajajaran lenyap pada tanggal
11 bagian terang bulan wesaka tahun 1501 saka). Tanggal tersebut
bertepatan dengan 8 Mei 1579 M.
Dan
dalam
naskah Banten, serangan tentara banten ke pakuan, disebutkan: “ Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam
tepat pada awal bulan hari ahad tahun alif inilah tahun sakanya satu lima
kosong satu.”
Raja terakhir dari
Pajajaran bernama Prabu Nusa Mulya atau Prabu Suryakancana (Prabu Nusa Mulya merupakan sebutan yang ada dalam
naskah Carita Parahiyangan, tetapi dalam Naskah Wangsakerta dikenal dengan nama
Prabu Ragamulya Suryakancana).
Prabu
Surya Kancana atau Prabu Nusa Mulya menjadi raja menggantikan ayahnya, Prabu Nikalendra pada
tahun 1567 M. Ia dianggap sebagai raja terakhir dari Pajajaran, yang
berkuasa dari tahun 1567 sampai
1579 M. Prabu Suryakanacana ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang (sekitar Kaduhejo, Kecamatan Menes pada
lereng Gunung Palasari). Oleh karena itu, ia dikenal pula
sebagai pucuk umun (panembahan) Pulasari
Zaman Prabu Suryakencana
ini memang Pajajaran sedang dalam titik yang terendah. Dan hal ini dikatakan
dalam Naskah Carita Parahiyangan:
Diganti ku Nusia Mulya. Lilana jadi ratu duawelas (!)
taun. Mimiti datangna perobahan. Buana lemes
nyusup ka nu kasar, timbul karusakan ti Islam. Perang ka
Rajagaluh, eleh Rajagaluh. Perang ka Kalapa eleh Kalapa. Perang ka Pakwan,
perang ka Galuh, perang ka Datar. Perang ka Ma(n)diri, perang ka Patege, perang
kaJawakapala, eleh Jawakapala. Perang ka Gegelang. Meuntas perang ka Salajo;
kabeheleh ku urang Islam.Kitu nu matak kabawah ka Demak jeung ti Cirebon.
Karena
kekalahan yang terus menerus ibukota Pakuan
Pajajaran sebenarnya telah ditinggalkan
oleh rajanya, sejak sang ayah (Prabu Nikalendra) berkuasa. Setelah kekalahan perang melawan
pasukan Maulana Yusuf dari Banten, Nikalendra yang waktu itu berkuasa mengungsi
ke Majaya, dan meninggalkan ibukota Pakuan. Dan penggantinya juga (Prabu Nusa
Mulya/ Prabu Suryakancana) diangkat
dalam pengungsian di pulosari, Pandeglang sekarang. Pakuan diserahkan kepada
senopati kerajaan yang kuat, diantaranya Jayaperkosa dan adik-adiknya.
Diakhir
masa kekuasaan Prabu Nikalendra, ibukota
Pakuan Pajajaran nyaris lumpuh dan tidak menjadi ibukota lagi, karena Sang Raja
Nikalendra mengungsi, setelah ibukota diserang bertubi-tubi. Banyak penduduknya
mengungsi ke luar daerah, termasuk para kerabat raja.. Sebagian penduduknya
menggungsi ke wilayah pantai selatan diantaranya ke cisolok dan Bayah,
dan juga banyak yang mengungsi ke timur, ke sumedang Larang dan lainnya. Dan
putra mahkota sendiri, Prabu Nusamulya mengungsi ke pulosari, pandeglang. Dan
disnilah ia kemudian diangkat menjadi raja.
Benteng Pakuan terkenal sangat
kokoh yang sulit ditembus. Setelah 12 tahun ditinggal raja, Pakuan masih bisa
bertahan, dan baru dapat dibobol Banten dengan penghianatan. Dalam naskah Banten diceritakan bahwa benteng Pakuan
baru dapat dibobol setelah terjadinya penghianatan.
Meskipun
Sultan Maulana Yusuf dapat menguasai ibukota Pakuan. Tetapi ia gagal
mendapatkan mahkota kebesaran Pajajaran. Menurut Sumber sejarah Sumedang Larang, ketika
peristiwa jatuhnya Pakuan terjadi, 4 orang kepercayaan Prabu Ragamulya Surya Kancana, yang dikenal dengan Kandaga Lante, berhasil
menyelamatkan atribut pakaian kebesaran maharaja Sunda, yang terdri dari:
mahkota emas simbol kekuasaan raja Pakuan, kalung bersusun 2 dan 3, serta
perhiasan lainnya, seperti benten, siger, tampekan dan kilat bahu.
Atribut-atribut kebeesaaran tersebut kemudian diserahkan kepada raden
Angkawijaya, putra Pangeran Santri
dan Ratu
Inten Dewata (1530-1579 M) yang kemudian naik tahta Sumedang larang dengan
gelar Prabu Geusan Ulun (mp. 1579-1601 M).
Empat
Kandaga Kante merupakan para pejabat tinggi Pajajaran yang terdiri dari: Jaya Perkosa (Embah Sanghiyang Hawu ), Batara Adipati
Wiradijaya (Embah Nangganan), Sanghiyang
Kondanghapa dan Batara Pencar Buang (Embah Terong peot). Pimpinan dari Kandaga Lante itu adalah Jaya Perkosa.
Karena itu Jaya Perkosa ini kemungkinan adala seorang Patih Pajajaran.
Dengan
demikian, Sumedang Larang mewarisi kekuasaan Pajajaran yang belum dikuasai oleh
kesultanan Cirebon dan kesultanan Banten.
Dari
kisah diatas diungkapkan bahwa para pejabat tinggi Pajajaran diungkapkan dalam sejarah adalah
ada 4 orang yang meloloskan diri ke Sumedang Larang dengan membawa mahkota.
Jika Embah Guriang dikatakan patih Pajajaran berarti kemungkinan bahwa Embah
Guriang merupakan salah seorang dari 4
kandaga Lante tersebut.
Jaya
Perkosa adalah pimpinan dari 4 kandaga lante tersebut. Apakah Embah Guriang itu
adalah Embah Jaya Perkosa. Karena dalam sejarahnya Embah Jaya Perkosa, ketika
habis menghadang pasukan kesultanan Cirebon, ia sangat kecewa karena Prabu Geusan Ulun telah menyerahkan
daerah Sindangkasih atau Majalengka sekarang ke kesultanan Cirebon.
Ia
sangat kecewa karena perjuangannya selama itu tidak dihargai. Dia menyelamatkan
mahkota Pajajaran diberikan kepada Prabu Geusan Ulun dengan harapan bisa
merebut kembali seluruh kekuasaan Pajajaran.
Karena itu konon Embah Jaya Perkosa yang waktu itu merupakan Patih dari
kerajaan Sumedang Larang, cadu untuk mengabdi lagi kepada kekuasaan setelahnya,
dan ia pergi entah kemana. Dalam istilah lama sering dikatakan ngahiyang.
Meskipun
ada tanda di dayeuh Luhur yang berkaitan
dengan Embah Jaya Perkosa. Tetapi itu dalam hubungannya dengan tanda ketika
keberadaan dia dalam perang melawan Cirebon, bukan tempat ia meninggal. Tidak
diungkapkan Embah jaya Perkosa pergi kemana, setelah ia mundur dari jabatannya
sebagai patih.
Dari kisah kisah tersebut, jika memang Embah Guriang itu patih, apakan Embah Guriang itu sama dengan tokoh Embah Jaya Perkosa, yang pergi dari istana Sumedang Larang.
Tetapi ada yang berkaiatan dengan tokoh Embah Guriang ini, yang masih beragama sebelumnya (belum jelas Hindu, budha atau kepercyaan Sunda tempo dulu). . Sedang Jaya Perkosa setelah lolos dari Pakuan, ia kemudian diangkat jadi patih atau senopati di kerajaan Sumedang Larang yang beragama Islam. Atau ada kemungkinan tokoh lain atau pejabat tinggi lain selain jabatan Kandaga Lante.
Dari kisah kisah tersebut, jika memang Embah Guriang itu patih, apakan Embah Guriang itu sama dengan tokoh Embah Jaya Perkosa, yang pergi dari istana Sumedang Larang.
Tetapi ada yang berkaiatan dengan tokoh Embah Guriang ini, yang masih beragama sebelumnya (belum jelas Hindu, budha atau kepercyaan Sunda tempo dulu). . Sedang Jaya Perkosa setelah lolos dari Pakuan, ia kemudian diangkat jadi patih atau senopati di kerajaan Sumedang Larang yang beragama Islam. Atau ada kemungkinan tokoh lain atau pejabat tinggi lain selain jabatan Kandaga Lante.
Dan
dalam buku Sejarah Desa Hariang,
dikatakan bahwa Embah Guriang merupakan
patih Pajajaran di era Raja terakhir yang bernama Prabu Ciung Wanara III (Ciung
Wanara Putra).
Jika
dikaitkan dengan sejarah baik dalam Naskah Carita Parahiyangan atau Naskah
Wangsakerta tidak ditemukan raja Pajajaran yang bernamaPrabu Ciung Wanara III
atau Ciung Wanara Putra. Seperti diungkapkan diatas bahwa Raja Pajajaran terakhir
bernama Prabu Nusa Mulya atau Prabu Ragamulya Suryakancana.
1.. Keterkaitan Antara Embah Guriang dengan Berdirinya
Leumbur Hariang
Jika
melihat selisih waktu antara jatuhnya Pajajaran pada tahun 1579 dengan
berdirinya leumbur Hariang yang dikatakan dalam buku Sejarah Desa Hariang pada
tahun 1665, tepatnya tanggal 20 Mei 1665), terdapat rentang waktu sekitar 86
tahun. Adalah suatu hal yang tidak mungkin.
Jika
melihat data tersebut, adalah tidak mungkin Embah Guriang itu adalah patih
Pajajaran. Karena selisih waktu yang begitu jauh. Jika hal ini benar berarti
Embah Guriang itu hidupnya lebih dari 100 tahun atau kemungkinan usianya diatas
120 tahunan ketika ia meninggal.
Penulis
belum mendapat data yang jelas dimana dasar perhitungan bahwa Wangsawijaya
mendirikan leumbur Hariang pada tahun 1665 atau tepatnya tanggal
20 Mei 1665 M (Rabiul Akhir 1843 H). Apakah Wangsa Wijaya sebelumnya pernah ke wilayah Hariang,
sehingga ia kemudian menetapkan hatinya untuk membuat perkampungan di desa
Hariang ini.
Dalam buku Sejarah Desa
Hariang tersebut diatas tidak menceritakan hal ini. Karena itu angka tahun 1665 untuk berdirinya
kampung Hariang mungkin dipertanyakan.
Dan kemungkinan lebih tua dari tahun tersebut. Karena ada silsilah yang keliru
dari silsilah Nyi Mas Bayun, yang
merupakan istri dari Wangsa Wijaya.
Dalam buku Sejarah Desa
Hariang dikatakan bahwa Wangsawijaya merupakan putra Mbah dalem Gajah Agung,
bupati Bandung pertama yang bergelar Tumenggung Wira Angun Angun. Dan istrinya
Nyi Mas bayun merupakan putri Embah Dalem Panembahan atau kemungkinan Pangeran
Panembahan dan bergelar Pangeran Rangga Gempol III. Dikatakan bahwa
Wangsawijaya kawin dengan Nyi Mas Bayun pada tahun 1663 M.
Sedang dalam silsilah dari
kerajaan Sumedang, dikatakan bahwa Nyi Mas Bayun merupakan putri dari Pangeran
Rangga Gede, yang merupakan kakek dari Pangeran Panembahan atau Pangeran Rangga
Gempol III. Hal ini diungkapkan juga oleh bapak Emut Muchtar ketika bahwa tidak
ada turunan Rangga Gempol III atau Pangeran Panembahan yang bernama Nyi Mas
Bayun.
Dalam silsilah keturunan
Sumedang Nyi Mas Bayun merupakan putra Pangeran Rangga Gede, dan merupakan bibi
dari Pangeran Panembahan atau Pangeran Rangga Gempol III.
Dengan demikian apakah
benar Wangsa Wijaya menikah dengan Nyi Mas Bayun pada tahun 1663, dua tahun sebelum mendirikan
kampung Hariang. Dan apakah benar hari
medal Hariang pada tahun 1665. Hal ini akan lebih jelas lagi akan diceritakan pada judul berikutnya, yang berjudul “ Kapan Wangsa Wijaya bertemu pertama kali
dengan Embah Guriang?”.
B.. Demang Suria Wacana
Selain Embah Guriang yang sangat dihormati oleh Wangsawijaya adalah Demang Suriawacana. Suatu tokoh yang sering dikaitkan dengan keturunan dari Majapahit.
Demang Suria Wacana atau sekarang terkenal dengan nama
Mbah Demang Suria Wacana bertempat tinggal di Hariang di sekitar yang disebut
Haur Koneng sekarang, suatu daerah yang masih masuk wilayah hariang, antara Hariang
dan Wanajaya. Tidak diketahui asal usulnya, dan ia sendiri tidak mempunyai
keturunan. Ia sangat dihormati oleh keluarga Wangsa wijaya, bahkan dianggap
saudara dan sepuh (dituakan) sendiri.
Demang Suria Wacana ketika meninggal di era yang
berkuasa di Hariang adalah putra dari Wangsa Wijaya, yang bernama Taruna
Diwangsa. Ia dimakamkan di suatu tempat yang dinamakan Haur Koneng sekarang.
Menurut pendapat dari Buku Sejarah Desa Hariang, diungkapkan bahwa Demang Suria Wacana
adalah bekas pejabat dari Majapahit. Hal ini juga diungkapkan oleh Abah Olin yang mengatakan bahwa Demang Suriawacana adalah bekas patih kerajaan Majapahit.
Pendapat ini sangat diragukan dan tidak
mungkin. Karena Majapahit sudah hilang ratusan tahun dalam peradaban sejak ibukotanya jatuh ke
tangan Demak diakhir abad ke-15 M. Sedang Wangsa Wijaya hidup pada abad 17 M, Suatu
rentang waktu yang sangat jauh 200 tahun) dan tidak mungkin. Jadi sangat jelas bahwa Demang Suryawacana bukan patih majapahit, seperti yang diungkapkan oleh orang tua terdahulu.
Sebenarnya kita bisa menentukan di zaman kapan ia hidup. Dengan gelar Demang didepananya menunjukan suatu gelar yang biasa digunakan dalam gelar gelar penguasa di Zaman Mataram Islam. Jadi kemungkinan Demang Suriawacana adalah salah seorang pendatang dari wilayah timur atau Jawa Timur. Ia kemungkinan merupakan salah satu pimpinan ,prajurit Mataram yang ikut dalam penyeerangan terhadap Batavia yang gagal. Karena banyak tentara Mataram yang tidak kembali akibat kekalahan dalam perang melawan Belanda di Batavia. Atau ada kemungkinan bahwa Demang Suryawacana masih kerabat dari Wangsawijaya atau Nyi Mas Bayun (masih dalam penelusuaran), karena istilah demang juga sudah digunakan di Sumedang setelah Pangeran Rangga Gempol I berkuasa, dan menjadikan sebagai bawahan Mataram.
Jika memang ia berasal dari Jawa Timur maka kemungkinan masih ada kaitan silsilah dengan eks. kerajaan Majapahit, yang memang sudah musnah diakhir abad ke-15 M. Jadi jika mengaitkan dengan jabatan patih Majapahit adalah suatu kekeliruan. Disamping gelar Demang didepannya menunjukan bahwa ia merupakan salah satu pejabat di era kerajaan Mataram.
Sebenarnya kita bisa menentukan di zaman kapan ia hidup. Dengan gelar Demang didepananya menunjukan suatu gelar yang biasa digunakan dalam gelar gelar penguasa di Zaman Mataram Islam. Jadi kemungkinan Demang Suriawacana adalah salah seorang pendatang dari wilayah timur atau Jawa Timur. Ia kemungkinan merupakan salah satu pimpinan ,prajurit Mataram yang ikut dalam penyeerangan terhadap Batavia yang gagal. Karena banyak tentara Mataram yang tidak kembali akibat kekalahan dalam perang melawan Belanda di Batavia. Atau ada kemungkinan bahwa Demang Suryawacana masih kerabat dari Wangsawijaya atau Nyi Mas Bayun (masih dalam penelusuaran), karena istilah demang juga sudah digunakan di Sumedang setelah Pangeran Rangga Gempol I berkuasa, dan menjadikan sebagai bawahan Mataram.
Jika memang ia berasal dari Jawa Timur maka kemungkinan masih ada kaitan silsilah dengan eks. kerajaan Majapahit, yang memang sudah musnah diakhir abad ke-15 M. Jadi jika mengaitkan dengan jabatan patih Majapahit adalah suatu kekeliruan. Disamping gelar Demang didepannya menunjukan bahwa ia merupakan salah satu pejabat di era kerajaan Mataram.
(Lanjut....)
By Adeng Lukmantara bin Abah Olin
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Asal Desa Hariang Kab. Sumedang(Sumber: Dari berbagai sumber)
puuun,,,, abah
BalasHapusCobi talungtik,,,
1. Guryang (Guriang) tina kecap Guru Hyang,, jabatan pandita resmi karajaan di tatar pasundan,,,,
2. Haryang Bangah ( Hariang Banga / ariya, aria ) ,, Haryang gelar putra2 Panjalu,,, teu mustahil turunan ti prabu Haryang Lembu Sampulur II, teu mustahil anjeunna ramana Arya Kuda Panjalu nu di istilahkeun banteng nu di poro ti Narimbang nu di talukeun ku Rangga Haji putrana P. Santri nu d bantos ku para pamoro ,,,
3. Demang / demung Suria Wacana, aya kaitan sareng Cakra Dewa ( Lembu Sampulur V ) Ci Taman, kaitan sareng Majapait, tiasa di paluruh turunan R. Baribin nu kenging suaka ti karajaan Galuh waktos Majapait runtag,,,
4. Umbul Asta Manggala Wira angun angun,, janten bupati pangkat tumenggung saparantos tiasa ngoroyok dipati Ukur,,, upami di talungtik aya kmgkinan2, R. Wangsa Wijaya mukim d Hariang,, kangge ngawaskeun pamarentahan Sumedang (tugas ti Mataram),,, atanapi nyingkahan konflik politik balas dendam ti turunan ukur, kenging suaka ti Sumedang.
5. Siliwangi sareng sunan Giri,,, eta gelar sanes nami hiji jalmi,,,, patilasan nu d daerah Narimbang, nuduhkeun tmpat nu kantos ka sorang atanapi,, aya jalmi nu di tugaskeun kalayan nyandak panji Siliwangi,,, sunan Giri, gelar pangawasa gunung,,,,
6. Cacagati aya oge nu nyebat Sacapati,,, eta gelar papatih Sumedang,,,, tiasa janten eta makamna Rangga Haji raina Geusan Ulun,,,,
7. Hariang ngadeg leres tebih ti sateuacan zaman Geusan Ulun,,, buktosna,, batuan andesit sareng megalitik nu aya di gn. Hariang,,, eta nuduhkeun zaman nu lgkung kolot tibatan nu ayeuna di yakini,,,,
8. Ngumpulna sesepuh2 Sumedang di gn. Harendong, tiasa mibanda kamunkinan,,, sapalih ti ptra2 Sumedang khususna turunan Cukang Gedeng Waru, teu satuju Sumedang tunduk ka Mataram,,, panyambutan2 pasukan Mataram di wewengkon Sumedang ngakibatkeun pasukan Mataram jalur tengah telat ngumpul di Batavia,,, aya naon tah ?
Puuuun tabepuuuuun
Punteun nembe di bales Bp. Ranggamantri, nuhun masukannnya.
HapusDupi pusaka anu di aman keun aya kaitan nana sareng mahkota simbol kajayaan sumedang ( Makota Binokasih)?
BalasHapus